Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Puluh

"Cewek tuh unik, ya? Kalau dikasih makanan, mood-nya langsung bagus."

*****

Karena terbawa emosi, aku melangkah cepat menuju gedung perpustakaan umum kampusku. Mungkin mengerjakan revisi dari Pak Rizal bisa mengalihkan emosi-emosi negatifku, seperti ketika aku patah hati dan menjadikan pekerjaan freelance sebagai pengalihan. Di siang hari tentu saja perpustakaan dipenuhi mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas. Menemukan satu meja yang kosong pun sudah untung. Namun, ketika laptop sudah dinyalakan dan tugas akhirku sudah di depan mata, tanganku justru tidak mau bergerak.

Begini, aku pun tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku memiliki beberapa ide di kepalaku, tetapi ragu untuk menuangkannya ke dalam bentuk gambar. Di otakku, mungkin ide-ide itu terlihat brilian, tetapi aku tidak tahu bagaimana pendapat Pak Rizal. Terlebih lagi kurang dari dua minggu lagi, aku akan berhadapan dengan lima dosen penguji dengan lima pemikiran berbeda. Bagaimana jika tidak ada satu pun penguji yang menyukai hasil desainku?

Berhubung perpustakaan sedang ramai, aku jadi kehilangan konsentrasi. Suara bisikan dan obrolan, serta mahasiswa yang berlalu lalang, semua itu adalah distraksi bagiku. Kututup kembali laptopku dan keluar dari gedung perpustakaan. Tujuanku selanjutnya adalah kedai kopinya Aruna, tetapi sama saja dengan perpustakaan, tempat itu pun ramai dipenuhi pengunjung dan driver ojol.

"Sori, Mik. Kamu datang di jam makan siang, sih. Meja yang ada stop kontaknya udah penuh semua." ucap Aruna di meja kasir.

Aku mengembuskan napas pasrah. "Ya sudah, aku pulang dulu. Kalau udah sepi chat aku, ya!"

Gadis berpipi tembam itu mengacungkan jempol. "Siap, Mik!"

Ketika telah sampai di kost, aku masih berusaha mengerjakan tugas akhirku. Aku kesal dengan kritik dan revisi dari Pak Rizal yang rasanya tidak kunjung habis. Rasanya ingin membuktikan diri bahwa aku pantas mendesain bangunan hotel yang baik dan membuat pria itu terkesan. Namun, di saat yang bersamaan aku pun merasa cemas. Di bimbingan selanjutnya, revisi apa lagi yang harus kukerjakan? Di sidang selanjutnya, kritik apa lagi yang akan kuterima? Aku tidak ingin dipermalukan lagi.

Pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku hingga membentuk benang kusut yang sulit terurai. Lagi-lagi, aku menutup laptop dan mengembuskan napas panjang. Aku beranjak dari meja belajar dan berjalan menuju balkon lantai dua kamar kostku. Aku memejamkan mata ketika angin sejuk membelai wajahku lembut. Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Melihat orang-orang yang melintas di jalanan dan arsitektur rumah-rumah yang cantik rupanya bisa membuat suasana hatiku menjadi lebih baik. Mungkin tidak ada salahnya jika aku menjadikan hari ini hari libur tanpa tugas akhir, kan?

Aku menunduk. Pandanganku tertuju pada teras kost. Di sana, terdapat kucing liar berbulu putih-jingga yang cukup tebal. Senyumku melebar. Aku berbalik badan, meninggalkan balkon dan turun ke lantai satu untuk menemui mahkluk berbulu dan menggemaskan itu.

"Rapunzel!" sapaku ketika sampai di teras.

Kucing itu mendongak dan mengeong, lalu berlari kecil dan menggosokkan kepalanya ke betisku. Aku berjongkok, mengelus-elus bulunya yang tebal dan halus. Rapunzel adalah kucing liar yang sering mampir ke kost. Entah apakah ia benar-benar liar, atau mempunyai pemilik di suatu tempat. Binatang imut ini tampak sehat dan terawat. Dengan seenaknya aku menamainya Rapunzel karena bulunya yang lebat.

"Aduh ..., aku belum sempat beli wet food. Maaf, ya. Besok aku beli deh. Oke?" lirihku. Rapunzel mengeong sekali. Lalu, aku menggendongnya dan membawanya untuk duduk di sofa satu dudukan di teras.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku mengambilnya dari dalam saku dan membaca pesan yang masuk.

Aruna
Udah agak sepi nih
Mau ke sini, nggak?

Mika
Nggak dulu deh, Run
Udah nggak mood ngerjain TA

Aruna
Ya sudah
Kalau perlu bantuan chat aku aja, ya

Aku mendesah panjang. Kusimpan kembali benda elektronik itu di saku celana.

Sepanjang sore, aku bersantai di teras kost bersama Rapunzel. Ada penghuni kost lain yang berlalu lalang di teras. Beberapa dari mereka menyapaku dan turut bermain bersama Rapunzel, tetapi tidak lama. Setelah puas mengisi energi dan mood, mereka pergi dan kembali melakukan aktivitas masing-masing. Matahari yang awal mulanya terik kini mulai menghangat. Langit yang semula berwarna biru kini menjadi jingga, pertanda sang surya akan tenggelam tidak lama lagi.

Rapunzel telah meninggalkan kost sekitar lima menit yang lalu, sedangkan aku masih duduk di sofa. Baru saja aku beranjak dan hendak berbalik untuk masuk, terdengar suara mesin motor matic di balik pintu pagar kost dan getaran singkat di ponselku. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat ketika membaca preview pesan di notification bar.

Mahardika
Teh Mika
Aku di depan kost

Untuk sesaat, aku merasa sedikit panik sampai-sampai otakku nyaris blank. Namun, aku tidak boleh membiarkan tamu menunggu terlalu lama,'kan? Kuputuskan untuk menbukakan pagar dan menemui adik tingkatku itu.

Dika masih mengenakan pakaian yang sama seperti ketika aku menemuinya saat bimbingan. Cowok itu berdiri di depan Vespa-nya sambil tersenyum lebar.

"Kayaknya kamu harus kurang-kurangi kebiasaan tiba-tiba muncul di depan kost cewek, deh," sindirku.

"Loh? Ini, 'kan, kost campur? Ya suka-suka aku, dong," balasnya. "Lagian, cuma ketemu Teh Mika doang."

"Terserah," ucapku cuek. "Ngapain ke sini?"

Cowok itu mengambil kantong plastik yang menggantung di kemudi motornya, kemudian menyerahkannya padaku. "Mau ngasih ini buat Teteh."

Ketika aku menerima dan melihat isi bungkusan plastik itu, aku merasa familier. "Ini, 'kan, lychee tea dan croissant dari coffee shop-nya Runa?"

"Iya. Kata Teh Runa, itu makanan favorit Teteh."

Aku mendongak pada Dika. "Runa ngasih ini buat aku?"

"Emmm ..., iya," balas Dika, tetapi entah mengapa cowok itu terlihat ragu.

Senyumku mengembang. Tadinya, aku masih ingin bersikap ketus pada cowok itu. Namun, setelah ia bersusah payah datang ke mari sebagai kurir, rasanya tidak etis jika tetap kulakukan. "Makasih, ya," ucapku tulus.

"Iya, sama-sama." Dika mengangguk dan tersenyum kecil.

Untuk beberapa detik ke depan, kami diliputi kecanggungan. Tidak ada yang bicara lagi saat itu. Dika mengusap-usap tengkuknya, lalu aku memalingkan pandangan darinya.

"Emmm ... karena udah jauh-jauh ke sini ... temenin aku makan croissant, yuk!" Aku menunjuk dua sofa di teras kost. "Duduk di situ."

Dika melongok dari sisi lain pagar dan melihat-lihat teras yang sepi, kemudian mengangguk. "Iya, boleh."

Setelah memarkirkan Vespa-nya di dalam garasi kost, kuajak Dika duduk di sofa tempat aku dan Rapunzel bersantai beberapa saat lalu. Cowok itu menyadari adanya bulu-bulu halus di permukaan sofa dan bertanya soal keberadaan kucing atau anjing. Kuceritakan saja soal Rapunzel. Tidak terasa langit sudah mulai menggelap, tetapi kami masih asyik mengobrol sambil menikmati kudapan khas Prancis itu.

Setelah dipikir-pikir, saat aku ingin menarik diri dari lingkungan atau ketika berada dalam suasana hati yang tidak bagus, Dika selalu mengulurkan tangannya duluan, tidak peduli apakah aku bersikap baik atau buruk padanya. Mengingat perlakuanku tadi siang, aku jadi merasa bersalah. Seharusnya, aku tidak melampiaskan rasa rendah diriku pada cowok itu.

"Sori ya, Dik," ucapku.

"Apanya?"

"Tadi siang aku jutek-jutek nggak jelas ke kamu."

Dika mengangguk. "Nggak apa-apa kok, Teh. Sekarang udah membaik, 'kan, perasaannya?"

"Udah." Kemudian aku kembali menggigit dan mengunyah croissant di tanganku.

Cowok itu menopang pipi, mengamatiku mengunyah sambil terkekeh. "Cewek tuh unik, ya? Kalau dikasih makanan, mood-nya langsung bagus."

"Bukannya cowok juga kayak gitu?" tanyaku.

"Kalau cowok tuh bisa karena banyak hal. Tidur, main game, nongkrong, ngerokok buat yang suka ngerokok. Tapi kalau cewek tuh beda. Nggak ada yang bisa nolak makanan sebagai mood booster-nya mereka."

Aku nyengir. "Iya, sih. Habisnya gimana lagi? Kayak ada kebahagiaan tersendiri kalau makan enak. Bisa langsung lupa sama hal-hal yang bikin bad mood."

"Emangnya tadi siang bad mood karena apa sih, Teh?" tanya cowok itu.

Langsung kuceritakan saja kegundahan dan kekhawatiranku tentang tugas akhir, dimulai dari revisi dari Pak Rizal dan kekhawatiranku soal sidang selanjutnya. Kali ini, aku merasa lebih nyaman membicarakan perasaanku pada cowok itu. Setelah Dika berkali-kali menceritakan soal dirinya padaku, aku merasa cowok itu telah menyimpan kepercayaan padaku. Artinya, aku juga harus percaya padanya, 'kan?

"Bentar. Kalau nggak salah ingat, Teteh pernah kerja freelance di perusahaan konsultan, 'kan?" tanya Dika.

Aku mengangguk. "Konsultan kecil, sih, nggak besar-besar banget."

"Apa Teteh ngerasa secemas ini sebelum setor kerjaan ke atasan?"

Kali ini aku menggeleng. "Anehnya nggak."

"Kenapa bisa? Sedangkan Teteh ngerasa cemas setengah mati sama omongan Pak Rizal dan dosen penguji?"

Tidak langsung kubalas pertanyaanya Dika. Aku merenung cukup lama untuk mencari jawabannya. Kenapa, ya? Padahal, pekerjaannya sama-sama ngedesain interior, revisinya juga mirip-mirip. Harusnya aku lebih takut sama kritik dari atasan karena berhubungan dengan gaji dan kinerja. Sedangkan tugas akhir itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan pekerjaan.

"Apa atasan Teteh sering ngasih kritik atau revisi dengan kata-kata yang nggak nyaman?" tanya Dika lagi.

"Nggak. Justru mereka baik banget. Culture di perusahaannya pun positif banget, nggak toksik sama sekali," balasku. "Revisi dari atasanku itu sebenarnya sama banyaknya. Namun, mereka nggak menyalahkan aku kalau berbuat kesalahan. Mereka dengan sabar membimbingku supaya kinerjaku semakin bagus. Nggak jarang juga aku dipuji karena kerjaanku yang nggak seberapa."

"Pak Rizal juga bukan tipe dosen yang suka ngomong seenaknya. Dia nggak pelit pujian. Aku ngerasa nyaman bimbingan sama dia," ujar Dika.

"Iya. Aku juga, kok."

"Terus, kenapa Teteh cemas?"

"Sebenarnya lebih takut dibantai dosen penguji di ruang sidang, sih. Takut nilainya jelek, Dik ...," lirihku. "Kalau banyak revisi dari Pak Rizal, artinya kerjaanku jelek, dan nanti pasti dibantai. Terus, dapat nilai jelek, deh."

"Kenapa Teteh takut dapat nilai jelek? Teteh pernah dapat nilai di bawah C dan ngulang?" tanya Dika lagi.

Aku menggeleng. "Nggak pernah, kecuali matkul Pra Tugas Akhir. Aku memang sengaja mengundurkan diri, jadinya dapat E dan ngulang dua kali."

"Kalau kayak gini, kayaknya ada satu hal yang bikin Teteh takut kalau dapat nilai jelek. Apa pun itu, Teteh harus berdamai dengan hal itu."

Lalu teras kostku terdengar sunyi setelah aku tidak lagi menjawab pertanyaan Dika. Otakku masih berusaha keras mencari jawabannya.

Setelah dipikir-pikir, mengapa sejak zaman sekolah dulu aku selalu sensitif dengan nilai akademik, ya?

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

29 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro