Tiga Belas
Ujian tengah semester kulalui dengan baik berkat bantuan Aruna dan Zarfan. Meskipun begitu, Pak Rizal mengakan bahwa ide-ideku cukup berisiko jika tidak dieksekusi dengan baik. Mahasiswa lain mendesain interior berdasarkan target pasar yang sudah ada, seperti Dika yang mendesain resort Javakarta yang terkenal sebagai 'resort para artis'. Dika hanya tinggal menyesuaikan fasilitas dan gaya desainnya sesuai kebutuhan public figure; interior yang nyaman, mewah, dan Instagram-able. Salah satu tujuannya agar public figure yang terbiasa membuat vlog bisa syuting dengan nyaman di sana. Bagian terbaiknya, Dika tidak perlu memikirkan budget untuk desainnya, karena public figure pasti akan membayar berapa pun harga kamarnya.
Namun, hotel Grand Atlantica yang baru bertujuan menarik pasar dewasa muda dan pasutri muda. Dari segi desain dan fungsi, tentu berbeda dengan hotel Grand Atlantica yang sekarang, desainnya masih klasik dan old fashioned. Sehingga, aku harus pandai-pandai menganalisis keinginan generasi muda. Tentu, mereka ingin desain yang Instagram-able, mengingat generasi Z dan milenial juga senang membuat vlog, atau hanya sekadar mengunggah Instastory dengan latar yang cantik. Namun, aku harus memikirkan rancangan kamar dengan budget yang sesuai baik untuk pihak hotel maupun wisatawan.
Permasalahan lain yang kuhadapi pasca ujian tengah semester adalah absennya Pak Rizal di kampus. Hampir dua minggu lamanya beliau pergi ke Surabaya untuk penelitian yang dilakukannya. Walaupun begitu, beliau masih menyempatkan diri untuk melakukan bimbingan melalui Zoom call, seperti yang Dika dan aku lakukan saat ini.
Aku duduk di kamar kost, menghadap laptop yang kuletakkan di atas meja belajar. Waktu menunjukkan pukul dua siang, sudah hampir dua puluh menit Dika mempresentasikan hasil laporannya melalui Zoom. Selama Dika bimbingan dengan Pak Rizal, aku mengatur mic dan kamera dalam keadaan mati. Tanganku sibuk bermain ponsel.
"Sejauh ini isinya sudah bagus, tapi kalau di dalam laporan, kamu harus mengacu pada studi literatur, ya. Saya tahu track record kamu dari semester pertama. Mungkin kamu langganan dapat nilai A di mata kuliah studio karena ide-ide kamu, tapi kalau ngomongin Pra Tugas Akhir, kamu harus lebih teoritis." Terdengar suara Pak Rizal dari speaker laptop.
Aku melirik layar laptop sebentar. Ternyata, Dika pinter juga, ya. Aku udah ngeremehin dia di awal.
Meskipun mataku terfokus pada ponsel, aku masih bisa mendengar perkataan Pak Rizal. "Saya ingin kamu menambah buku-buku literatur lagi untuk daftar pustakanya, ya, Dika."
"Kalau dari e-book atau jurnal boleh, Pak?" tanya Dika.
"Kalau ada yang bisa diakses secara gratis boleh. Tapi kamu tahu sendiri, 'kan, kalau buku-buku literatur dan jurnal di internet kebanyakan berbayar?" balas Pak Rizal.
"Iya sih, Pak." Dika diam sebentar. "Jadi ... lebih amannya berbentuk buku fisik, ya?"
"Iya. Buku-buku di perpustakaan kita juga bagus, kok. Tapi kalau mau lebih lengkap, kamu bisa ke DISARPUS Bandung atau ke perpustakaan umum ITB." Jeda sebentar. "Mika, kamu juga, ya!"
Ketika pria itu menyebut namaku, aku tersentak. Panik, aku meletakkan kembali ponsel di atas meja lalu bersiap menyalakan mic.
"Mika?" tanya pria itu lagi.
Aku menyalakan mic. "Iya, Pak?"
"Kamu sama Dika, tolong dilengkapi lagi daftar pustakanya, ya!" perintah Pak Rizal.
"Siap, Pak!" ucapku sebelum mematikan kembali mic.
Sekarang, giliranku bimbingan. Aku mempresentasikan hasil pekerjaanku selama satu minggu ke belakang. Meskipun ide-ideku cukup berisiko, aku bersungguh-sungguh dengan pilihanku, dan aku ingin Pak Rizal serta para dosen penguji pun merasakan keseriusanku.
"Karena kamu menargetkan wisatawan di kategori yang berbeda, saya ingin kamu cari-cari referensi dari hotel lain yang banyak dikunjungi anak muda. Kamu bisa observasi lagi kebutuhan dan kegiatan pengunjung di hotel tersebut. Nggak apa-apa walaupun berbeda dengan Grand Atlantica. Kamu bisa tambahin hasil surveinya di bab dua." Pak Rizal merespons hasil pekerjaanku.
"Harus survei lagi, Pak? Kalau survei lewat website aja gimana?" tanyaku.
"Kalau lengkap datanya silakan. Yang penting nanti waktu sidang, kamu bisa mempertanggungjawabkan pekerjaan kamu."
Aku menelan ludah. Setengah jam kemudian, bimbingan pun berakhir. Setelah Pak Rizal meninggalkan Zoom meeting, hanya tersisa aku dan Dika di dalam room. Ketika aku hendak menekan opsi leave meeting, Dika tiba-tiba menyalakan mic.
"Teh! Sebentar! Jangan off dulu!" serunya.
Aku turut menyalakan mic. "Kenapa, Dik?"
"Aku boleh lihat daftar pustaka punya Teteh, nggak? Sekalian ... apa aja buku-buku yang Teteh kutip teorinya."
Yah, mengapa tidak? Aku memperlihatkan halaman daftar pustakaku pada Dika, serta gambar-gambar dari sampul buku yang kugunakan sebagai literatur.
"Wah ... Teteh dapet dari mana buku-buku ini?" tanya Dika. Dari nada suaranya, ia terlihat kagum.
"Sebagian punya sendiri, kayak Human Dimension and Interior Space, sebagian lagi minjem temen. Masih belum lengkap semua, sih," jawabku. Iya, sebagian bukunya sudah pasti minjem ke Zarfan.
"Boleh aku pinjem buku Human Dimension and Interior Space?"
Aku mengernyit. "Emang kamu nggak punya?"
Dika cengengesan. "Nggak, soalnya mahal. Mau fotokopi, tapi jadinya ngebajak buku. Biasanya kalau kuliah studio, aku selalu minjem punya temen."
Aku menepuk dahi mendengar penjelasan Dika. Bagaimana bisa anak seperti ini langganan dapat nilai A di kuliah studio, sedangkan buku literatur yang terbilang wajib saja dia tidak punya? Memang, sih, buku ini tidak selalu dipakai, tetapi seharusnya semua mahasiswa punya.
Aku mengembuskan napas pasrah. "Ya sudah, nanti kalau ketemu aku pinjemin."
"Teteh pernah ke perpus ITB, nggak?" tanya Dika.
"Kalau perpus umumnya belum. Waktu awal semester, pernahnya ke perpus FSRD sama Arsitektur buat nyari denah hotel."
"Besok siang coba ke sana, yuk? Nggak ada jadwal kuliah, 'kan?" tanya Dika.
Aku mengernyit, tidak langsung mengiyakan ajakannya. Untung saja aku mematikan kamera, sehingga Dika tidak bisa melihat wajah heranku. Bagaimana tidak? Rasanya, kami belum sedekat itu untuk pergi bersama ke tempat yang berada di luar kampus.
"Ngapain ke perpus ITB? Kalau mau minjem buku harus pakai kartu mahasiswa ITB," balasku.
"Kartu mahasiswa doang sih gampang! Aku punya teman di Teknik Sipil ITB. Aku bisa pinjem punya dia," jawab Dika santai.
"Aduh ... mager banget. Lagian kenapa harus ITB? Kenapa nggak perpus kampus kita?"
"Soalnya kalau ke perpus kampus nanti dilihat anak-anak. Nggak mau, 'kan, gosipnya jadi makin parah?" Dika menimpali.
"Ah, bener juga kamu." Aku mengangguk setuju. "Boleh, deh. Lagian, di sana buku-bukunya pasti lebih lengkap. Aku masih perlu buku yang ngebahas akustik suara buat dinding kamar hotelnya."
"Oke, besok ketemuan di depan kampus sehabis makan siang, ya! Jangan lupa bawa helm!"
"Eh, bentar!" seruku. "Janjian di depan ITB aja deh, gimana? Aku bisa naik Go-Jek, kok." Bisa gawat kalau teman-temannya melihatku dan Dika boncengan di satu motor.
"Oke siap, Teh!"
Aku keluar dari Zoom setelah menyetujui titik pertemuan dengan Dika. Sesudah mematikan laptop, aku mengambil ponsel dan melihat notifikasi. Banyak pesan yang masuk, baik dari grup maupun ruang personal, tetapi tidak ada pesan dari Zarfan. Ketika membuka ruang obrolan, aku melihat Zarfan belum membaca pesanku sejak pagi. Aku pun memutuskan untuk mengiriminya pesan lagi.
Mika Gianina
Pusing banget deh, Zar
Masa Pak Rizal bilang aku harus survei hotel lain lagi😭
Aku melewati sisa siang ini dengan mengetik laporan hingga sore hari. Setelahnya, aku mampir ke coffee shop Aruna sendirian untuk menikmati semangkuk ayam salted egg dan segelas lychee tea. Tak terasa matahari telah tenggelam di cakrawala, aku pulang ke kost setelah langit sudah menggelap. Beberapa kali kucek ponselku. Tetap tidak ada pesan dari Zarfan.
Sesampainya di kost, aku menghabiskan waktu menonton drama Korea untuk menjernihkan pikiran. Semester ini, aku memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan freelance apa pun, karena mengerjakan laporan Pra TA ternyata membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Beberapa jam berlalu tanpa terasa dan mataku mulai berat. Ketika jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah sebelas, aku mematikan laptop dan menarik selimut. Kini, kegelapan sudah menyebar ke seluruh penjur kamar, hanya lampu meja di atas nakas saja sumber pencahayaan yang menemani tidurku. Kesadaranku perlahan-lahan berpindah ke alam mimpi.
Aku terbangun keesokan harinya tanpa mengingat apa pun yang kuimpikan. Kegiatan yang kulakukan pertama kali sebelum turun dari ranjang adalah mengecek ponsel. Mataku menjadi segar setelah melihat nama Zarfan di kolom notifikasi. Meskipun begitu, mendapat balasan dari cowok itu tidak membuatku sepenuhnya senang. Sebulan yang lalu, Zarfan tidak pernah membalas pesanku lebih dari dua jam. Sekarang, waktu telah mencuri cowok itu dariku. Cowok itu mulai sibuk dengan kegiatannya. Padahal, mulai S-2 saja belum.
Zarfan
Maaf baru bisa cek WA, Mik
Aku baru selesai latihan soal-soal TOEFL
Kok harus survei lagi?😱
Kenapaaa?
Zarfan
Udah tidur ya, Mik?
Ya sudah, ceritanya besok aja yaaa
Good night
Aku keluar dari ruang obrolan dan kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Mood-ku untuk berkeluh kesah sudah tidak ada, dan aku sudah tidak berhasrat menceritakan apa pun pada Zarfan. Jika kubalas pun, cowok itu mungkin baru membalasnya pada jam makan siang, atau bahkan sore hari. Suasana hatiku untuk mengobrol tentu sudah berbeda dibandingkan dengan pagi ini.
Namun, aku tidak ingin membuat Zarfan menunggu. Kuambil kembali ponselku dan mengirimkan pesan singkat padanya.
Mika Gianina
Ya gitu deeeh
Nanti kalau ketemu aku ceritain
Fokus aja sama les
Semangatttt
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
30 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro