Tiga
Setelah mendapat pesan dariku, Zarfan tidak banyak bertanya. Ia langsung mengajakku bertemu di kedai kopi Aruna keesokan harinya. Aku menyetujui ajakannya karena jadwal kuliahku cukup longgar, berhubung hanya mengambil satu mata kuliah saja di semester ini. Siang ini, kedai kopi cukup ramai oleh pesanan online, membuat Aruna sibuk membantu karywannya menyiapkan pesanan.
"Jadi, kamu mau ngambil judul apa?" Zarfan yang duduk di hadapanku bertanya setelah menyeruput es kopi susu.
"Kamu inget nggak, restoran Italia yang sering kita datangi waktu semester lima? Yang letaknya di dekat Jalan Asia Afrika?" Aku bertanya balik.
"Hmmm ... La Pizzeria n' Pasta?" jawab Zarfan.
Kemudian aku mengangguk. "Iya, yang sering kita datangi bareng Aruna dan Selena."
Zarfan bergeming sejenak. "Tapi Mik, kita nggak boleh ngedesain restoran buat Pra Tugas Akhir. Lahannya terlalu kecil. Harus minimal tiga lantai, 'kan?" ujar cowok itu.
"Siapa bilang aku mau ngedesain La Pizzeria n' Pasta? Kamu nggak ingat bangunan restoran itu nyatu sama hotel bintang empat?"
Zarfan bergeming sejenak, sepertinya berusaha mengingat-ingat. Kemudian, wajahnya berubah cerah. "Oh, hotel Grand Atlantica?"
Aku mengangguk antusias. "La Pizzeria n' Pasta itu terkenal banget, bahkan orang-orang Jabodetabek yang ke Bandung aja rela menginap di Grand Atlantica cuma buat beli piza! Tapi kamu inget nggak, kalau akses dari hotel ke restoran itu ribet banget? Kita harus keluar gedung dulu, mengitari parkiran, baru sampai di sana! Mana dulu nggak ada room delivery. Kalau mau, kita harus pesan lewat Go-Food yang harganya lebih mahal. Nggak tahu deh, kalau sekarang."
"Terus, hotel itu juga punya spa dan gym yang areanya sempit. Layout ruang publiknya pun kurang tertata, banyak lahan yang terbuang. Hmmm ... sayang, padahal bintang empat." Zarfan menambahkan.
"Kok kamu tahu banyak?"
"Tujuh tahun lalu, tim arsitek di kantor lamaku pernah dapat proyek perluasan hotel Grand Atlantica. Aku pernah lihat berkasnya. Waktu itu budget dari pihak hotel nggak banyak, jadi tim arsitek nggak menggarap semua bangunan. Lagian, hotelnya sepi. Baru-baru ini aja hotel itu laku gara-gara banyak orang luar Bandung yang menginap buat nyoba makan di La Pizzeria n' Pasta. Kalau aja interiornya bisa lebih nyaman dan tertata, hotel itu bisa sama viralnya kayak La Pizzeria n' Pasta."
"Menurutmu gimana, Zar, kalau aku ngambil judul Hotel Bintang Empat di Bandung? Benchmarking dari hotel Grand Atlantica?" tanyaku dengan senyum lebar.
"Bisa dicoba sih, Mik," lirih Zarfan sambil mengelus dagu. "Udah bisa ngajuin judul, belum?"
"Bisa. Aku harus nulis judul dan permasalahan yang harus diselesaikan di selembar kertas, terus diserahkan ke Pak Salman paling lambat hari Kamis," jawabku.
"Apa yang diserahkan hari kamis, Mik?" Aruna datang ke meja kami dan meletakkan chicken salted egg rice bowl serta lychee tea yang kupesan. Kemudian, cewek itu duduk di bangku kosong sebelah Zarfan. Selama beberapa menit ke depan, Zarfan menceritakan semua obrolan kami, dimulai dari ideku yang ingin mengambil bangunan hotel bintang empat sebagai judul dan permasalahan yang ada di hotel Grand Atlantica.
Aruna mengangguk. "Menurutku oke banget! Permasalahan yang Zarfan dan kamu jabarkan tadi sudah cukup menarik. Kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan."
Aku menggeleng. "Belum semua. Aku tetap harus survei lapangan dan wawancara."
"Iya ... maksudku, kamu punya sedikit gambaran soal permasalahan di hotel itu. Nggak 'nol' banget," balas Aruna.
"Setelah survei lapangan dan wawancara, pasti kamu dapat banyak permasalahan lain. Bisa banget buat dibahas di laporan," ujar Zarfan sambil mengambil garpu dan mencuri daging ayam salted egg milikku.
Aku melotot. Karena kesal, kutampar tangan cowok itu. "Heh! Ngapain comot-comot?" seruku. Zarfan meringis, mengelus-elus punggung tangannya.
"Beli, Zar! Jangan nyomot rice bowl punya Mika!" seru Aruna.
"Iya, beli! Hitung-hitung beramal buat Runa!" Aku turut berseru.
"Iya, iya. Chicken salted egg satu deh, Run. Jangan lama ya, masaknya!" perintah cowok itu.
"Kamu pikir ini KFC? Tinggal sat-set-sat-set beres?" keluh Aruna. Cewek tembam berambut panjang itu beranjak dari bangkunya dan kembali menuju dapur terbuka untuk menyiapkan pesanan Zarfan.
"Banyakin saus salted egg-nyaaa!" seru Zarfan.
"Iyaaa, Bawel!" Aruna balas berseru tanpa memalingkan pandangan.
"Oke, oke, balik lagi ke topik Pra Tugas Akhir kamu." Zarfan mengalihkan atensi kembali padaku. "Kebetulan, supervisor Grand Atlantica itu kenalannya arsitek senior di kantor lamaku. Nanti sampai rumah aku coba hubungi dia buat minta izin ke supervisor-nya. Kalau dibolehin, kamu bisa pergi buat survei lapangan. Gimana?"
"Boleh banget, Zar!" seruku ceria. Pipiku terasa menghangat akibat luapan kebahagiaan. "Salted egg sama es kopi susu yang kamu pesan hari ini aku yang bayar, deh!"
"Nggak usah," tolak Zarfan datar.
"Loh, kenapa? Kamu, 'kan, udah bantuin aku."
"Traktir seloyang piza ukuran large aja sesudah kita survei." Ekspresi Zarfan berubah menjadi lebih menyebalkan dari sebelumnya. "Di La Pizzeria n' Pasta."
Dengan refleks aku menampar lengan atas cowok itu. Zarfan meringis lagi sambil mengelus-elus bisepnya. "Pinter, ya, milih yang mahal!" sindirku. Kemudian aku kembali berucap, tetapi lebih lirih. "Eh, tapi nggak apa-apa, sih. Kalau kamu bisa bantu aku buat dapat izin dari supervisor-nya, udah lumayan banget. Ya sudah, boleh deh. Seloyang aja, ya!"
"Iya, Mik," ujar Zarfan dengan suara yang lebih pelan dan berat, entah mengapa membuatku merasakan sesuatu yang lain. Cowok itu tersenyum, menatapku lekat. Tanpa sadar, senyumku turut mengembang. Kami tidak saling melempar kata untuk beberapa saat kedepan. Kilasan masa lalu berputar di otakku, layaknya kaset rekaman yang seenaknya berputar sendiri tanpa diperintahkan.
Aruna yang tiba-tiba duduk di sebelah Zarfan menyadarkan kami berdua dari lamunan. Refleks, kami menoleh ke arahnya. "Pesanan Zarfan nanti diantar sama karyawanku ke sini. Oke, oke. Jadi gimana? Mika mau survei lapangan?"
Untuk sejenak, tidak ada yang menjawab karena kami masih terkejut dengan kedatangan Aruna yang begitu mendadak. Zarfan berkedip, kemudian mengangguk dan buru-buru menjawab. "Iya. Aku ada kenalan yang bisa bantu Mika."
Selanjutnya, obrolan mengalir seperti biasa. Di tengah percakapan, sesekali aku melirik Zarfan, kemudian buru-buru mengalihkan pandangan ketika cowok itu pun menaruh atensi padaku.
*****
Rabu malam, aku sibuk berkutat dengan laptop. Ditemani cahaya temaram dari lampu belajar dan sekantong keripik kentang, aku duduk di meja belajar. Usulan judul Pra Tugas Akhirku harus diserahkan ke Pak Salman besok. Meskipun sudah makan malam satu jam lalu, lambungku selalu menyisakan ruang untuk keripik kentang. Sambil sesekali mencomot cemilan asin dan gurih itu, kesepuluh jariku mengetuk-ngetuk keyboard.
Aku melirik ponsel di atas meja ketika layarnya menyala. Di sana, tertera nama Zarfan dan ikon bergambar telepon hijau. Aku berhenti mengetik dan mengambil ponsel, menjawab panggilan cowok itu dan meletakkannya ke telinga.
"Kenapa, Zar?" tanyaku.
"Belum tidur?" Zarfan balik bertanya.
"Kamu kira aku anak SMP? Sekarang masih jam delapan malam!"
Zarfan terkekeh. "Kamu inget nggak, zaman kuliah dulu kamu tidur sesuka hati. Kapan aja dan di mana aja. Kadang, kamu tidur jam delapan, terus bangun jam satu malam buat begadang ngerjain tugas sampai subuh."
Aku cengengesan. "Sekarang udah nggak kayak gitu lagi, kok. Kapok banget gara-gara sempat insomnia sampai seminggu."
"Iya, Mik, jangan dibiasain lagi, ya. Nggak baik buat badan," ujar Zarfan sok bijak. "Anyway, sibuk nggak?"
"Lagi ngetik usulan judul Pra TA. Nggak terlalu, sih. Kenapa? Tumben nelpon." Aku mengapit ponsel dengan telinga dan bahu, lalu mengambil tisu untuk mengelap jari-jariku yang penuh dengan MSG dan remah keripik kentang.
"Lagi males ngetik, Mik, jadi ngomong langsung aja."
Aku terkekeh. "'Kan, bisa VN aja?"
"Ya sudahlah, nanggung! Mau ngasih tahu, kalau arsitek senior kenalanku udah dapat izin dari supervisor Grand Atlantica, tapi dia izin pakai namaku. Kalau mau, Sabtu ini kita survei lapangan bareng-bareng."
Aku tidak dapat menahan senyum bahagiaku. "Yang bener, Zar?"
"Uh hum."
"Aku ajak Aruna juga, ya?"
"Iya, boleh." Jeda sebentar. "Siapin aja pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya mau kamu tanyain ke supervisor-nya. Sekalian siapin juga apa aja yang mau disurvei, supaya nggak bulak-balik."
"Ah, iya juga. Aku belum kepikiran mau survei apa selain masalah-masalah yang kita sebutin kemarin," lirihku.
"Coba kamu minta daftar pertanyaan Pra TA-nya Aruna. Pasti beda, tapi setidaknya bisa jadi acuan. Nanti aku coba cari-cari punyaku juga, deh." ujar Zarfan di seberang telepon. "Oh iya, usulan judulnya dikumpulin kapan? Besok?"
"Iya, Zar."
"Ya sudah, nggak apa-apa, kumpulin dulu aja ke Pak Salman. Senin depan, permasalahan yang ada di lapangan bisa kamu tambahin ke usulan judulnya."
"Oke!" seruku ceria.
"Good luck ya, Mik. Semoga bisa di-acc!"
Setelah percakapan berakhir, aku memutus panggilan telepon. Sambil tersenyum, aku mengirimkan pesan pada Aruna. Cewek itu juga sama bersemangatnya sepertiku. Wajar saja, setelah ia lulus kuliah, kami jarang bertemu di tempat lain selain kedai kopi. Sudah setahun lebih pula kami tidak berkumpul bersama Zarfan dan mengunjungi restoran piza favorit kami.
Akhirnya, usulan judul Pra Tugas Akhirku selesai dan aku merasa sangat yakin pihak dosen akan menyetujui judul yang kuambil. Dengan senyum lebar yang tidak kunjung pudar, aku menutup laptop dan merebahkan diri ke ranjang. Sambil menutup mata, aku menarik selimut. Entah kapan terakhir kali aku merasa sangat bersemangat seperti ini ketika memikirkan kuliah. Ah, mungkin saat masih menjadi mahasiswa baru? Rasanya sudah lama sekali. Sudah terlalu lama aku menelantarkan pendidikanku, dan kini aku akan memperbaiki semuanya.
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
21 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro