Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan Belas

Kalau mau minta nasihat atau saran pada seseorang, dengarkan seperti apa perkataannya, bukan melihat siapa orangnya.

*****

Setelah Dika meninggalkan kasir dan dirasa tidak bisa mendengar percakapan kami, aku berbisik cukup keras pada Aruna. "Run?"

"Apa?" tanyanya sambil mengusap wajah. "Ya ampun, aku malu banget!" Cewek itu mendongak dan memperlihatkan wajahnya padaku. "Mukaku merah, nggak?"

"Nggak. Kamu kenapa, sih? Salah minum obat?"

Aruna mencondongkan tubuh dan balas berbisik. "Kamu bilang Dika mukanya standar? Itu mah, ikemen! Spek Yamazaki Kento! Dulu waktu rambutnya masih pendek aku sering lihat dia di himpunan, tapi nggak tahu namanya siapa."

"Ih, dasar wibu! Yamaken dari mana coba?" balasku sewot, masih berbisik.

"Wah gila, Mik. Waktu rambutnya gondrong, gantengnya jadi sepuluh kali lipat!" bisik Aruna, sedikit heboh.

"Kamu jangan suka sama dia, ya!"

Aruna menggeleng cepat. "Nggak kok, Mik, tenang aja! Walaupun Dika tipe aku banget, aku nggak tertarik sama brondong." Cewek itu tersenyum jahil dan menepuk pundakku beberapa kali. "Lagian, mana mungkin aku nikung kamu."

"Aku nggak suka dia!" bisikku ketus sambil menepis tangan Aruna. "Maksudku, kelakuannya nggak normal! Aku nggak mau kamu ketularan gila gara-gara PDKT sama dia!"

"Nggak boleh gitu, Mik ...." Aruna menggodaku. "Nanti karma."

Karena kesal, aku melengos pergi dari mesin kasir, meninggalkan Aruna yang masih terkikik geli. Dengan kasar aku mendaratkan bokong di kursi salah satu meja, tepat di hadapan Dika. Kubuka laptopku di atas meja dan kuseruput lychee tea yang kubiarkan di atas meja sejak tadi, sampai-sampai esnya sudah mencair.

"Kenapa, Teh? Kayaknya bad mood banget?" tanya Dika setelah mengalihkan fokus dari laptopnya.

Aku mendongak dan berkata dengan ketus. "Diem!" Kusipitkan kedua mata ketika menatap wajah cowok itu untuk meninggalkan kesan sinis. "Semuanya gara-gara kamu!"

Dika mengangkat kedua alis. Cowok itu tidak terlihat kaget ketika aku berbicara ketus. "Kok, jadi aku?"

Aku membuka mulut, tetapi tidak ada satu pun kata yang terlontar. Yang jelas, semua ini salahnya! Gosip tentangku beredar di kalangan adik tingkat, semua ini salahnya! Aruna pun menggodaku karenanya! Hal-hal ajaib yang kualami di tahun ajaran ini semuanya gara-gara Dika! Namun, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan hal itu padanya. Dengan berat hati, kututup kembali mulutku rapat-rapat.

Cowok itu terkekeh. Ketika kualihkan pandangan ke laptop, sudut mataku menangkap Dika mencondongkan tubuh, kemudian menopangkan pipinya ke buku-buku jarinya yang terkepal. Ketika mendongak kembali, aku melihat cowok itu tersenyum manis padaku. Mendadak, kedua pipiku terasa hangat.

"Kalau Teteh marah-marah gemesin gini, aku jadi pengen ngejahilin terus, loh," ujarnya dengan suara lebih pelan dan berat dari biasanya. Kemudian, cowok itu menyeringai.

"Apaan, sih?" balasku ketus, lalu kembali menaruh atensi pada laptop. Membalas ucapannya akan membuat semua makin parah. Cowok di hadapanku ini sulit ditebak. Aku tidak tahu apa yang akan ia katakan jika aku membalas lagi. Bisa saja perkataanya makin menjadi dan aku akan terus terpancing, 'kan?

Menghindari perang mulut dengan Dika adalah solusi terbaik untuk sekarang.

Aku kembali menyeruput lychee tea. Namun, mendadak dadaku berdebar kencang. Dengan cepat aku meletakkan minuman itu di atas meja dan refleks menyentuh dada. Kutatap gelas plastik itu dengan kedua mata membulat. Teh memang mengandung kafein, tapi ... masa bisa bikin deg-degan juga?

*****

Meja yang kutempati hening. Selama berjam-jam, aku dan Dika fokus pada laporan di laptop masing-masing. Kurasakan matahari tidak seterik sebelumnya, kedai kopi Aruna pun mulai dipenuhi pengunjung dan driver ojol. Sore hari memang jam sibuk untuk kedai kopi ini. Kulirik Aruna dan karyawannya yang tiada henti melayani para pelanggan. Ketika mereka selesai membuat pesanan, selalu ada pesanan lain yang masuk. Mereka hampir tidak memiliki waktu istirahat.

Aku sudah berhenti mengetik sejak beberapa puluh menit yang lalu. Kulirik Dika yang berada di hadapanku. Jemari cowok itu masih sibuk menari di atas keyboard. Sejujurnya, aku masih kesulitan menemukan tema dan gaya untuk interior hotelku. Perdebatan kami beberapa jam lalu membuatku enggan untuk bertanya. Padahal, tujuan awal kami mengunjungi kedai kopi Aruna adalah untuk membahas laporan Pra Tugas Akhirku, 'kan? Kukira dengan berselancar di internet aku akan mendapat jawaban yang kuinginkan. Namun, referensi yang semakin banyak justru membuatku semakin pusing.

Sambil menatap Dika, aku menggigit bibir. Aku tidak ingin membuang-buang waktu seperti ini, tetapi gengsiku terlalu besar untuk meminta pendapat. Tanpa diduga-duga, Dika mendongak ke arahku. Buru-buru aku menunduk, berpura-pura fokus pada laporan. Ah, sial! Kenapa harus balik ngelihatin, sih?

"Kenapa, Teh?" tanyanya. Aku masih bergeming. Kemudian, cowok itu kembali bertanya, "Oh, iya. Bukannya kemaren Teteh bilang mau nanya soal desain hotelnya?"

Aku bernapas lega karena cowok itu lumayan peka dengan keinginanku. Kalau sudah begini, aku bisa langsung bertanya tanpa menurunkan harga diriku, 'kan? Kuputar laptopku sembilan puluh derajat agar cowok itu dapat melihat layarnya. "Emmm ... jadi, hotel Grand Atlantica itu konsep desain awalnya klasik-"

"Bentar!" Dika memotong ucapanku sambil menyipit ke arah layar. Cowok itu beranjak, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di kursi kosong samping kananku dan memutar laptopku menghadap ke arah kami. "Nah, kalau gini, 'kan, posisinya enak. Tadi layarnya nggak kelihatan karena sinar matahari."

Kemudian, aku menjelaskan seperti apa konsep interior hotel Grand Atlantica dan keinginanku untuk mendesain ulang dengan gaya yang berbeda. Aku ingin desain yang dapat diterima generasi Z dan milenial, mayoritas wisatawan yang menginap. Ditambah lagi dengan keberadaan restoran La Pizzeria n' Pasta yang memiliki interior yang 'kekinian'. Aku ingin wisatawan yang datang tidak hanya tertarik membeli piza, tetapi juga tertarik untuk menginap di Grand Atlantica.

Dika mengangguk paham sambil menopang pipi. "Oke ... terus, apa yang Teteh bingungin?"

Aku membuka website Pinterest di Chrome, lalu menunjukkan gambar-gambar interior yang menginspirasiku. "Aku bingung banget. Banyak hotel-hotel kekinian yang punya desain sederhana, minimalis, bukan gaya klasik yang banyak ornamennya kayak hotel Grand Atlantica sekarang. Jujur, desain interior Grand Atlantica itu old fashioned banget, tapi itulah identitas mereka. Kalau aku membuat interior yang kekinian, yang disukai generasi muda, identitas Grand Atlantica akan hilang."

"Hmmm ... boleh aku lihat kayak gimana desain Grand Atlantica yang sekarang?" tanya Dika.

Aku memperlihatkan foto-foto hasil survei lapangan di awal semester, juga website hotel Grand Atlantica. Selama beberapa menit, Dika terlihat berusaha memahami seperti apa ruangan dan gaya interior hotel bintang empat itu.

"Hmmm ... kayaknya Teteh harus berhenti nyari inspirasi di Pinterest. Nanti malah makin pusing," ujar Dika sambil menggulir trackpad, mengeluarkan tab Chrome yang menampilkan website Pinterest.

"Terus aku harus gimana?" tanyaku.

Dika kembali pada foto-foto di website hotel Grand Atlantica. "Teteh nggak harus terpaku sama gaya desainnya." Cowok itu mengetuk-ngetuk layar laptopku. "Fokus aja sama pemilihan material dan warnanya."

Cowok itu menoleh padaku. Dika pasti berharap aku akan mengatakan sesuatu, tetapi jujur saja, aku masih belum mengerti apa maksud dari perkataannya. Cowok gondrong itu pun terkekeh. Ia menarik napas, lalu kembali pada foto-foto di website. "Kalau Teteh perhatikan, Grand Atlantica itu banyak memakai ornamen kayu di kamarnya. Lalu, mereka nggak memakai granit untuk lantainya. Hanya lantai keramik. Color palette-nya cenderung netral. Ada sedikit warna maroon yang menonjol."

Aku mengangguk. Lalu, Dika menoleh padaku. "Terlalu ekstrim kalau Teteh mengubah gaya desain klasik menjadi minimalis. Tapi, kalau Teteh pakai gaya kontemporer atau scandinavian yang memakai material serta color palette yang sama kayak hotel Grand Atlantica yang sekarang, identitas mereka masih tetap ada walaupun gaya interiornya berubah. Generasi muda pasti suka. Feels like home, gitu."

Mataku melebar, takjub akan ide-ide Dika. Tanpa sadar, senyumku pun mengembang. Ah, mengapa aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya?

"Teteh inget gimana logo Microsoft Windows zaman dulu?"

Aku pun mengangguk. "Inget."

"Sekarang logonya udah berubah, 'kan? Jadi lebih minimalis? Tapi kenapa orang-orang tetap tahu kalau itu Microsoft Windows?"

"Kenapa?" Aku bertanya balik.

"Karena mereka masih pakai color palette dan bentuk geometri yang sama. Ciri khas mereka nggak berubah," terang Dika, "interior hotel juga sama kayak gitu."

"Iya juga, ya." Aku mengangguk takjub. "Oke, deh. Makasih insight-nya ya, Dik," ucapku tulus.

"Iya, Teh." Dika tersenyum. Ia berdiri, lalu mengelus pucuk kepalaku lembut. "Lain kali kalau mau nanya ya langsung aja. Jangan diem melulu."

Aku membeku di tempat, sementara Dika melangkah pergi dan kembali ke kursinya. Pucuk kepalaku yang disentuh Dika terasa hangat. Setelah mendapatkan pencerahan, rasanya hormon bahagia meluap-luap di tubuhku, membuatku bersemangat untuk menghadapi bimbingan besok. Senyum lebarku tak tertahan lagi. Aku memutuskan untuk kembali berkutat dengan laptop. Ide-ide segar membanjiri otakku dan aku ingin menuangkannya ke dalam laporan sebelum diriku melupakannya.

Ponselku bergetar beberapa kali di atas meja. Awalnya, aku berusaha mengabaikan pesan yang masuk dan mencoba untuk tetap fokus. Namun, getaran itu terasa semakin sering. Karena penasaran, aku membuka sebuah grup dan membaca pesan yang masuk.

⅔ S.Ds (3)

Aruna
(Aruna deleted this message)
(Aruna deleted this message)

Zarfan
Apaan ini?

Zarfan
Runa
Cek PC buruan!

Aku mengernyit karena bingung. Ketika kualihkan pandangan pada Aruna yang berada di dekat kasir, cewek itu menatap ponsel dengan raut cemas. Ia mondar-mandir sambil menggigit kuku jempolnya. Jemarinya kembali mengetikkan sesuatu. Sejurus kemudian, ponselku bergetar beberapa kali lagi karena pesan yang masuk. Kali ini, Aruna mengirimkanku pesan secara pribadi, bukan di grup yang berisi kami berdua dan Zarfan.

Aruna
Mika plis jangan bunuh aku
Aku ngirim video
Maksudnya buat kamu
Tapi malah salah kirim ke grup
Aku udah hapus pesannya
Tapi Zarfan udah ngelihat duluan

Aku mendongak kembali ke arah Aruna di dekat kasir, dan kebetulan cewek itu pun sedang menatapku dari kejauhan. Aruna terlihat begitu panik seperti mahasiswa yang Windows di laptopnya mendadak diperbaharui otomatis, padahal ia sedang mengerjakan tugas yang deadline-nya begitu dekat. Dari gerak bibirnya, aku menangkap Aruna berkata, "Sori, Mik." Mendadak, jantungku berdetak lebih cepat. Aruna seperti baru saja melakukan kesalahan yang begitu fatal.

Video apa yang barusan kamu kirim, sih, Run?

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

8 April 2023

Ada yang mulai oleng tapi tetep denial, tuh~ Awas loh, Mik, inget Zarfan!

FYI, ini evolusi logo Windows, in case kalian penasaran.

Sampai jumpa di update selanjutnya~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro