Sembilan
Dua minggu berlalu sejak judul Pra Tugas Akhirku mendapatkan persetujuan Pak Rizal. Aku pun sudah dua kali bimbingan dan sejauh ini berjalan lancar. Malam ini, aku duduk di meja belajar dengan pencahayaan temaram dari lampu belajar. Layar laptop di hadapanku menampilkan hasil ketikanku selama satu jam ke belakang. Ketika dicek, rupanya aku hanya mampu mengetik seratus kata saja.
Frustrasi, aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Tidak, semua ini bukan karena aku tidak tahu apa yang harus dituangkan ke dalam Word, tetapi karena ponsel yang sedari tadi mendistraksiku. Meskipun tidak ada notifikasi di sana, nyaris setiap lima menit sekali aku mengecek layarnya, berharap ada nama seseorang yang muncul. Seseorang yang kunanti-nanti menghilang di seberang sana, dan aku berharap sosok itu muncul kembali dalam bentuk pesan singkat.
Otakku dipenuhi oleh sosok Zarfan. Jika kami terus-terusan bertukar pesan selama mengerjakan Pra Tugas Akhir, bisa-bisa aku terus menunda-nunda dan pada akhirnya mengulang lagi mata kuliah ini semester depan. Setelah mengumpulkan tekad yang kuat, aku menyalakan mode do not disturb, kemudian meletakkan ponsel dalam posisi layar menyentuh permukaan meja, sehingga aku tidak akan tahu jika Zarfan membalas pesanku.
Memerintahkan otakku untuk berhenti memikirkan Zarfan adalah hal yang sia-sia. Mika Gianina saat ini seperti kembali menjadi anak SMA yang sedang kasmaran. Aku mengetuk-ngetuk dahiku sambil merutuki diri. "Jangan cinta-cintaan, Mika! Fokus aja sama Pra TA. Besok harus bimbingan!"
*****
Usahaku membuahkan hasil. Karena ponselku dalam mode do not disturb, malam tadi aku berhasil mengetik lebih dari tujuh ratus kata. Pagi ini, aku menelusuri lorong gedung Desain Interior dengan suasana hati yang baik. Kusampirkan tote bag di bahu kananku. Laptop yang berisi laporan untuk bimbingan pagi ini berada di dalamnya. Ketika berbelok ke arah lorong menuju ruang dosen, aku melihat presensi seseorang yang tidak asing di arah yang berlawanan denganku.
Aku bertemu pandang dengan Dika yang berjalan dari sisi lain lorong. Kami bertemu di pertigaan dan berbelok ke arah yang sama. Aku melirik laptop yang ia bawa di tangannya. Tidak ada tas ataupun benda lain yang dibawanya. Cowok itu mengenakan jaket jeans dan celana dengan bahan yang sama. Pakaiannya terlihat santai, tetapi cukup rapi untuk bertemu seorang dosen.
Ingin sekali aku bertanya, siapakah dosen yang akan ditemui Dika pagi ini? Apakah ia sudah menemukan judul baru dan mendapatkan dosen pembimbing? Namun, kuurungkan niat itu karena kami tidak saling bicara sejak insiden perang data dua minggu lalu.
Sesampainya di ruang dosen, aku menghampiri meja Pak Rizal. Namun, seorang adik tingkat yang tidak kukenal masih bimbingan dengan pria itu. Jadi, kuputuskan untuk keluar dan menunggu di depan ruang dosen saja. Aku mengerutkan dahi ketika Dika melakukan hal yang sama. Ia duduk di kursi tunggu, tepat di sampingku.
"Mau bimbingan juga?" Masa bodoh dengan harga diriku! Pada akhirnya, aku bertanya karena penasaran.
Dika menoleh, kemudian mengangguk sekali. Wajahnya datar.
"Sama Pak Rizal?" tanyaku lagi.
Kemudian, cowok itu mengangguk lagi.
"Emmm ... jadi ... udah nemu judul baru?"
"Udah," jawab Dika singkat.
"Kalau sama Pak Rizal juga, berarti ... kamu ngambil judul hotel lagi? Hotel bintang lima?" tanyaku dengan sangat hati-hati, mengingat topik ini cukup sensitif untuk kami berdua.
"Bukan. Aku ngambil judul resort, benchmarking dari Javakarta yang ada di Dago Atas."
Aku membelalak. "Javakarta? Resort yang biasa jadi tempat liburan artis-artis itu?"
Dika mengangguk. Dari mana cowok itu mendapat izin untuk survei dan dari mana ia mendapatkan data-data untuk menunjang penelitian? Tidak mungkin Dika sengaja menyewa kamar di resort tersebut dan berpura-pura menjadi tamu yang sedang menginap. Harga kamar di sana sangat mahal dan resort Javakarta terkenal sangat eksklusif. Salah satu teman seangkatanku saja tidak berhasil mengambil resort itu sebagai benchmark karena untuk mendapatkan datanya pun terlalu sulit.
Sungguh, aku ingin bertanya lebih jauh, tetapi sepertinya tidak etis jika dilakukan, mengingat perdebatan sengit yang terjadi dua minggu lalu. Lagi pula, sepertinya Dika tidak senang diajak mengobrol.
Keheningan yang canggung berlangsung selama beberapa menit. Tidak ada lagi percakapan di antara kami, meskipun aku sangat ingin mengajaknya bicara. Dosen pembimbing kami sama. Aku dan Dika akan terus bersama hingga semester depan, dan aku tidak ingin terus bermusuhan dengannya.
Sekitar lima belas menit kemudian, pintu ruang dosen terbuka. Kami sama-sama menoleh, melihat adik tingkat yang baru saja bimbingan bersama Pak Rizal keluar dari dalam sana. Ia menyapa Dika–yang terlihat seperti formalitas karena mereka teman satu angkatan–lalu melengos pergi.
"Siapa selanjutnya?"
Suara maskulin dari seorang pria mengalihkan atensiku dan Dika. Kami kembali menoleh ke arah pintu ruang dosen dan melihat Pak Rizal berdiri di sana.
"Mika, Dika, mau bimbingan, 'kan?" tanya pria itu.
"Iya, Pak," jawab kami bersamaan.
"Yang duluan datang, yuk, masuk! Waktu saya nggak banyak, bentar lagi ada kelas," ujar Pak Rizal sambil menggerakan tangannya, mengisyaratkan salah satu dari kami untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangan.
Aku dan Dika saling pandang sejenak. Dilihat dari respons Pak Rizal, sepertinya beliau hanya bisa melayani satu anak bimbingan saja dengan waktu yang terbatas. Karena merasa datang lebih awal, dengan segera aku beranjak dari kursi dan melesat menuju pintu ruang dosen. Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini!
Melihatku bergerak secepat kilat, Dika tidak mau kalah. Ia menyusul dan mulai mengimbangi langkahku. Kami bersamaaan masuk ke dalam ruangan dan tersangkut di lubang pintu. Aku berusaha menggerakan tubuh untuk maju, tetapi tubuh Dika terlalu besar dan sukses menghalangi jalanku. Sepertinya, dia memang sengaja agar aku tidak sampai ke meja Pak Rizal lebih dulu darinya.
Aku menyikut dadanya dan berbisik, "Minggir!"
"Kita sampai barengan! Jangan curang!" desis Dika sambil mendorong tubuhku ke sisi pintu.
Mendengar keributan di belakangnya, Pak Rizal yang berjalan jauh di depan kami menoleh ke belakang. Pria itu berhenti melangkah dan menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus bingung. "Kalian ngapain?"
"Saya sampai duluan, Pak!" seruku.
"Apaan! Kita sampai barengan! Kita ketemu di pertigaan lorong!" Dika tidak mau kalah.
Seorang dosen wanita di salah satu meja meletakkan telunjuk di bibir dan mendesis. Alisnya bertaut. "Jangan ribut di ruang dosen!"
"Maaf, Bu," lirih Dika. Kami pun berhenti saling berdesakan.
Pak Rizal menggeleng-gelengkan kepala. "Dika, jangan cari-cari kesempatan buat nempel gitu, ah! Pacarannya di tempat lain aja, sekarang waktunya bimbingan!" goda pria itu. Spontan mataku membola.
"Kami nggak pacaran, Pak!" seruku dan Dika berbarengan.
"Aduh, ngejawab aja kompak," ucap Pak Rizal dengan senyum jahil. Lalu, pria itu menunjuk kami berdua. "Ya sudah, kalian suit aja! Yang menang, bimbingan duluan sama saya!"
Aku dan Dika melakukan perintah pria itu. Sialnya, aku mengeluarkan gunting, sedangkan Dika dengan penuh percaya diri mengepalkan tangannya. Cowok itu terkekeh puas, menunjukkan raut wajah menyebalkan untuk mengejekku. Ya, aku memang berharap kami bisa baikan seperti dulu, tapi nggak gini juga, dong!
"Ya sudah, Dika duluan yang bimbingan, tapi Mika ikut aja. Tenang, kursinya ada dua, kok!" putus Pak Rizal. Ketika dilihat kembali, memang betul ada dua kursi di depan meja Pak Rizal. Itu artinya, seharusnya sejak awal kami tidak perlu berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama.
"Terus, ngapain tadi kami suit, Pak?" protesku.
"Mau ngisengin kalian aja," jawab Pak Rizal santai. Pria itu berbalik dan berjalan santai menuju mejanya. "Dasar, sampai bimbingan aja maunya berdua." Pria itu bermonolog pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya.
Beberapa dosen menyaksikan pertikaian kami dengan tatapan sinis, sebagian lagi berusaha menyembunyikan tawa. Malahan, ada yang cie-cie menggoda kami. Wajahku terasa memanas, tidak pernah aku merasa semalu ini seumur hidupku. Aku berjalan sambil menunduk, merutuki kebodohan sendiri, berharap bisa mengganti wajahku atau semacamnya. Atau, lebih bagus lagi jika aku bisa diwisuda besok, sehingga tidak perlu datang lagi ke kampus dan bertemu dosen-dosen.
*****
"Progres kalian udah oke. Maju ke bab selanjutnya aja!" Begitulah kesan Pak Rizal di akhir sesi bimbingan kami. Sejujurnya, aku menyukai sistem bimbingan yang dilakukan Pak Rizal. Dibandingkan sendiri, aku lebih menyukai bimbingan secara serentak. Aku jadi tahu sudah sampai mana progres Pra Tugas Akhir Dika, juga kesalahan-kesalahan yang ia buat sehingga aku bisa menghindari hal yang sama.
Aku dan Dika keluar dari ruang dosen dan berjalan bersebelahaan di lorong tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Godaan cie-cie dari para dosen masih terngiang-ngiang di kepalaku. Ketika melewati ruang himpunan, aku menangkap sosok yang cukup familier dengan sudut mataku. Ketika menoleh, sosok itu pun tanpa sengaja menatapku. Ia duduk bersila di atas karpet, mengobrol bersama beberapa adik tingkat yang tidak kukenal.
"Zarfan?" Aku berhenti berjalan, kemudian mengernyit. Tanpa disuruh, kakiku berbelok sendiri ke ruang himpunan.
"Mika!" Wajah Zarfan berubah cerah ketika aku menyapanya. Ia berdiri, lalu berjalan ke depan pintu, berhadap-hadapan denganku. Ia menoleh pada Dika yang berdiri di sampingku.
Dika tersenyum simpul, sedikit menunduk untuk menunjukkan rasa hormatnya pada ketua angkatanku. "Kang Zarfan."
Zarfan membalas sapaan itu dengan ceria. "Eh, Dika! Sekarang gondrong, ya?" Ia basa-basi.
Dika pun terkekeh canggung. "Iya, nih, Kang. Biar nggak bosen rambut pendek terus."
"Ngapain di sini?" Aku memotong percakapan mereka dan bertanya pada Zarfan.
"Abis dari biro akademik ngurusin berkas S-2, terus iseng main ke ruang himpunan. Kangen. Kangen gedung Interior, maksudnya," candanya. "Sekalian mau ketemu kamu. Aku baru inget hari ini kamu bimbingan. Kamu belum baca chat ya?" tanyanya.
"Hah?" Dengan segera aku mengecek ponsel dan menemukan beberapa pesan dari cowok itu. Kemudian, aku menjelaskan bahwa pesan itu memang belum kubaca karena ketika bimbingan ponselku ada di dalam tas. Zarfan pun memakluminya.
Ketika aku dan Zarfan mengobrol, Dika tidak bisa bergabung dengan obrolan kami dan jadi bertingkah canggung. Setelah bergeming beberapa saat, akhirnya ia angkat bicara. "Emmm ... duluan, ya, Kang. Mau ada kelas lagi nanti siang," ucap Dika pada Zarfan. Kemudian, cowok gondrong itu pun menoleh padaku. "Duluan, ya, Teh," ucapnya lembut.
Aku dan Zarfan sama-sama mengangguk, lalu berpamitan dengannya. Nyebelin. Di depan Zarfan aja Dika sok-sok baik sama aku, nggak nyebelin, keluhku dalam hati. Namun, melihat Dika yang tidak lagi bersikap ketus, aku merasa lega. Semoga saja cowok itu sudah tidak menyimpan dendam padaku.
Punggung Dika kian menjauh hingga menghilang di persimpangan lorong. Aku melirik Zarfan yang sedari tadi menatap Dika dengan tatapan tidak menyenangkan.
"Kamu bimbingan bareng dia?" tanya Zarfan serius.
Aku mengangguk. "Aku baru tahu kalau dosbing dia itu Pak Rizal juga. Terus ... tadi nggak sengaja ketemu di ruang dosen, jadi bimbingan bareng-bareng, deh."
Cowok itu pun menoleh ke arah Dika pergi, kemudian melipat tangan di dada. "Lain kali kalau nggak sengaja ketemu, mending misah aja bimbingannya. Jangan berurusan sama manipulator kayak dia," ujar Zarfan ketus. Ia menjaga suaranya tetap rendah agar mahasiswa di ruang himpunan tidak bisa mendengarnya.
Aku berkedip, kemudian mengangguk cepat. "Eh? Iya, iya."
Ketika berurusan dengan Dika, kehangatan di wajah Zarfan menghilang. Cowok itu pun menjadi sangat serius. Dan yang membuatku terkejut, ekspresi hangat yang ia tunjukkan langsung di hadapan Dika sangat berbeda dengan ekspresi dingin yang ia tunjukkan di belakang.
Ternyata, cowok bisa fake juga di depan cowok lain, ya? pikirku.
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
4 Januari 2023
*****
Jadi guysss, sebenernya udah lama banget aku nemu visual yang cocok buat Zarfan
Tapi baru kemarin banget nemu visual yang Dika banget. Jeng jenggg!
What do you think?🤔
Sebenernya kehadiran visual ini cuma memudahkan aku buat nulis aja, kok. Kalian bebas mau berimajinasi kayak gimana aja soal penampilan mereka berdua.
Apa kamu pernah bayangin visual lain secara spesifik buat mereka berdua? Kalau iya, sebutin dong siapa!😍
Sampai jumpa di update selanjutnya. Semoga kamu menikmati bab ini🤗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro