Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebelas

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua minggu lagi sudah ujian tengah semester. Mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pra Tugas Akhir tidak perlu mengikuti ujian tulis. Namun, kami diwajibkan untuk melakukan presentasi tentang pengamatan masalah dari masing-masing judul. Itu artinya, aku harus mengenal hotel Grand Atlantica lebih dalam dan mulai mencari solusi untuk dapat merencanakan desain yang lebih baik.

Hal ini tidak mudah bagiku, karena aku harus mengingat-ingat kembali materi dari mata kuliah yang kuambil di semester sebelumnya. Aruna tahu betul aku benci mata kuliah teori. Aku selalu belajar sehari sebelum ujian tiba, dan maksimal hanya mendapatkan nilai B. Karena itu, Zarfan banyak membantuku. Selain mengajariku, ia pun meminjamkan banyak buku catatannya semasa kuliah. Terkadang, Aruna pun turut membantu. Itulah rahasiaku agar selalu bisa memenuhi deadline bimbingan dengan Pak Rizal.

Lagi-lagi, aku mengalami writer's block ketika mengetik di kost. Aku harus keluar dari kamar dan mencari suasana baru. Namun, akhir-akhir ini kedai kopinya Aruna selalu dipenuhi oleh mahasiswa jurusan lain, karena hanya tempat itulah satu-satunya co-working space yang dekat dengan kampus. Tidak ada cara lain, aku harus pergi ke kampus dan mengerjakan laporannya di sana.

Ketika memasuki kelas Pra Tugas Akhir, aku merasa diperhatikan oleh nyaris semua adik kelasku. Terkadang, mereka saling berbisik dan terkekeh ketika melirikku. Hal ini sudah berlangsung selama seminggu. Awalnya, aku mencoba mengabaikannya. Namun, tatapan mereka lama-lama menggangguku.

Satu hal yang tidak kumengerti; aku tidak merasa melakukan kesalahan. Jadi, untuk apa mereka menatapku dan berbisik-bisik tentangku? Jika aku ditertawakan karena mengulang mata kuliah Pra Tugas Akhir, itu sangat tidak masuk akal, karena ada dua seniorku yang bahkan masih mengambil mata kuliah ini.

Meskipun terganggu setengah mati, aku mencoba untuk fokus saja pada laporan. Kupasang earphone di telinga, lalu kuputar playlist-ku di Spotify dan mulai mengetik. Tiba-tiba saja, seseorang menghampiri mejaku. Aku berhenti mengetik dan mendongak. Pandanganku bertemu Dika yang kini menguncir rambutnya menjadi buntut kuda kecil. Poni panjangnya membingkai wajah bagaikan tirai. Ia mengenakan oversize sweater hitam dengan kemeja flanel di dalamnya-terlihat dari kerah yang menjulur di lehernya.

Dengan wajah datar, cowok itu menyodorkan beberapa lembar kertas yang disatukan dengan paperclip ke depan wajahku. Bibirnya bergerak mengatakan sesuatu.

Sambil mengernyit, aku melepas earphone. "Sori?"

"Ini berkas punya Teteh. Kemarin ketinggalan di meja Pak Rizal waktu bimbingan," ujarnya cuek.

"Oh." Aku mengambil berkas tersebut. "Makasih."

Tablo melintas di samping Dika. Ia menepuk punggung cowok gondrong itu cukup keras. Dengan wajah nakalnya, ia mengejek cowok itu. "Bobogohan wae, euy!"

"Gandeng ai sia," balas Dika dengan wajah datar. Ia meletakkan kedua tangannya di saku celana, kemudian menendang betis teman dekatnya itu.

Aku spontan melotot. Bobogohan katanya? Ketika menoleh pada teman-teman Dika lainnya yang ada di kelas, mereka berekspresi sama dengan Tablo. Beberapa men-cie-cie Dika, meledek cowok itu sambil tertawa. Namun, kulihat Dika tidak terganggu sedikit pun. Cowok gondrong itu melengos pergi dari mejaku.

Ketika belasan pasang mata di dalam kelas tertuju padaku dan Dika, aku panik. Refleks, aku menunduk. Wajahku terasa panas. Apa-apaan ini? Mengapa mereka bisa menyimpulkan hal bodoh seperti itu?

Saat itu pula Selena melintas di depan mejaku, satu-satunya adik kelas yang kukenal dekat dan cukup kupercaya. Refleks, aku memanggilnya. Ketika Selena menoleh, aku beranjak dari mejaku, kemudian menarik tangan cewek cantik berambut panjang itu dan melesat keluar dari dalam kelas.

"Teh Mika? Ada apa, Teh?" tanya Selena yang ikut panik.

Setelah sampai di lorong, aku melepas cengkeraman di pergelangan tangannya, kemudian mendekat dan berbisik, "Temen-temen angkatan kamu kenapa, sih?"

Selena mengernyit. "Kenapa apanya, Teh?"

"Mereka bilang Dika pacaran sama aku?"

Cewek itu mengedip sekali, terlihat kebingungan. "Loh, bukannya Teteh emang pacaran sama Dika?"

"Hah?" Spontan aku menganga. "Gosip dari mana itu?"

"Soalnya ... Teteh kelihatan akrab sama Dika. Bimbingan bareng, terus ... gerak-geriknya tsundere ala-ala pasangan baru jadian gitu ...," jawab Selena. "Waktu itu, sebenarnya aku mau nanya soal ini. Tapi ... dari interaksi kalian berdua, kelihatan banget kalau kalian pasangan yang baru jadian."

Aku menggaruk kepalaku karena frustrasi. "Kita bimbingannya bareng terus karena Pak Rizal selalu minta kita bimbingan bareng-bareng. Lagian, anaknya aneh banget. Masa aku pacaran sama dia?"

"Tuh, 'kan? Teh Mika tsundere banget. Kalian berdua kayak yang backstreet," goda Selena.

"Selenaaa!" Aku melotot.

Selena terkekeh. "Bercanda kok, Teh. Tapi, Dika anaknya nggak aneh. Dia bersikap kayak gitu ke Teteh doang, kali? Sampai-sampai, Pak Rizal sama dosen-dosen Pra TA yang lain pun tahunya kalian pacaran," ucap Selena lagi.

Aku melotot saking kagetnya mendengar ucapan Selena. Pak Rizal, sudah pasti beliau biang gosipnya! Sejak insiden aku dan Dika tersangkut di lubang pintu ruang dosen lima minggu lalu, pria itu mendadak memiliki hobi baru; menggoda kami berdua setiap saat. Aku menganga, kehabisan kata-kata untuk merespons.

"Dika-nya juga diem aja, nggak mengelak atau konfirmasi apa-apa setiap kita tanya. Teh Mika gelagatnya aneh, tsundere banget. Makanya, kita jadi nyimpulin kayak gitu ...," ujar Selena.

"Kita nggak pacaran, oke? Apalagi backstreet!" balasku sewot.

Selena diam. Sepertinya cewek itu merasa bersalah. "T-Teh, maaf, aku nggak tahu apa-apa ...," lirihnya.

"Iya, iya, aku tahu." Aku berusaha menenangkannya. "Pokoknya, kalau ada yang tanya, kamu jelasin aja gosip ini nggak bener. Oke?"

*****

Mika Gianina
Dik
Aku mau ngomong
Ke kafetaria sekarang!

Sekitar sepuluh menit setelah aku mengirimkannya pesan, Dika membacanya. Dilihat dari gelagatnya di kelas, aku tahu cowok itu sedang santai. Ia tidak terlihat sedang mengetik laporan atau melakukan sesuatu untuk Pra Tugas Akhirnya. Makanya, aku berani menyuruhnya meninggalkan kelas. Lagi pula, tidak ada dosen yang mengawasi kelas kami.

Sambil menyeruput coffee latte dalam kemasan, aku duduk di salah satu meja kafetaria yang sepi. Tidak lama kemudian, Dika datang. Cowok itu duduk di hadapanku.

"Ada apa sih, Teh? Urgent banget kayaknya," ujarnya.

"Kamu tahu soal ini semua dan diam aja?" semburku tanpa basa-basi.

"Apanya?"

"Gosip kalau kita pacaran diam-diam?" tanyaku.

Dika tertawa. "Nggak usah dipeduliin, Teh. Nanti juga reda sendiri."

"Tapi, 'kan, kamu bisa jelasin kalau gosip itu nggak bener!" Saking kesalnya, aku meletakkan coffee latte di atas meja secara kasar.

"Ngapain? Buang-buang waktu. Mereka juga bakalan tetap godain kita. Lihat aja kelakuan si Tablo kayak gimana," ucapnya santai. Dika bersandar di kursi dan meletakkan kedua tangannya ke belakang kepala. "Percaya sama aku. Sebelum UAS, gosipnya pasti udah hilang."

"Tapi sampai Pak Rizal juga godain kita setiap bimbingan!" seruku.

Dika terkekeh. "Itu namanya strategi, Teh. Kalau kita dekat sama dosbing, santai-santai aja waktu digodain, TA kita pasti bakalan mulus-mulus aja."

"Mulus matamu!" bentakku. "Lagian, yang nentuin mulus atau nggaknya TA kita, ya dosen penguji di ruang sidang nanti!"

"Terus aku harus gimana? Udah aku bilang, kalau aku mengelak pun, semua orang tetap bakalan godain kita," ujar Dika dengan nada menyebalkan.

Aku mengepalkan tangan dan mengerutkan alis. Kekesalanku telah sampai di puncaknya. Kuambil coffee latte di atas meja, dan kuseruput sampai habis. Setelahnya, kuletakkan karton minuman kosong di atas meja secara kasar. Pipiku memanas. Bagaimana bisa Dika menanggapi gosip seperti itu tanpa beban sedikit pun? Apa ia tidak merasa terganggu sepertiku?

Dika menyeringai, terkekeh pelan, lalu mencondongkan tubuh mendekat ke arahku sambil melipat kedua tangan di dada. "Lagian, kenapa sih, Teh, sewot banget sama gosipnya? 'Kan, kita nggak pacaran beneran."

Rasanya seluruh darah yang ada di tubuhku berkumpul ke wajah. Aku sudah kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan cowok itu. Akhirnya, aku berdiri sambil mendengkus kasar, kemudian melengos pergi meninggalkannya.

"Teh Mika, nggak boleh buang sampah sembarangan, loh!" teriak Dika.

Aku menggeram. Kuputar kembali tubuhku dan berjalan menuju meja, menyambar sampah karton coffee latte di hadapan Dika lalu melemparnya ke tempat sampah.

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

16 Januari 2023

******

Mika dan Dika be like:

Kamus Sunda Kapan Lulus

- Bobogohan wae, euy = Pacaran terus, nih

- Gandeng ai sia = Berisik kamu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro