Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima Belas

"Terkadang, kita terlalu sibuk melihat orang lain sebagai ancaman. Padahal, satu-satunya orang yang harus dikalahkan adalah diri kita sendiri."

*****

Buku-buku literatur yang kupinjam dari perpustakaan umum ITB banyak membantu laporan Pra Tugas Akhirku. Dua minggu setelahnya adalah batas waktu peminjaman buku. Aku dan Dika sebisa mungkin mengembalikannya tepat waktu agar pemilik KTM yang dipinjam Dika tidak dikenai denda.

Sepulangnya dari ITB, aku dan Dika kembali berkeliling Kota Bandung untuk mencari kuliner malam. Kali ini, kami memilih untuk membeli jajanan kaki lima, seperti bola ubi dan cilok. Tidak lupa membeli dimsum yang dijual di tenda pinggir jalan. Selain kami, banyak mahasiswa lain yang menikmati hidangan di tempat. Sesekali, pengamen dengan gitar datang ke tenda, menyanyikan lagu-lagu dari band Indonesia tahun 2000-an, seperti Peterpan yang kini telah berganti nama menjadi Noah.

Aku dan Dika jarang berinteraksi di kampus. Pertama, aku memang sengaja meminimalisir interaksi dengannya karena gosip yang beredar. Kedua, aku merasa Dika pun membatasi interaksi denganku. Namun ketika di luar kampus, tembok pembatas yang kami bangun pun lenyap. Tidak hanya membahas soal kuliah, terkadang kami membicarakan banyak hal. Setelah mengetahui bahwa Dika pun pernah ditolak FSRD ITB, aku merasa kami memiliki banyak kesamaan. Obrolan pun mengalir begitu saja, meskipun tidak jarang kami berkelahi di ujung percakapan.

Sebulan berlalu. Sidang Pra Tugas Akhir semakin dekat. Setelah melakukan riset di internet dan buku literatur, aku memiliki beberapa alternatif ide di otakku. Ide-ideku yang berbentuk gambar kusimpan dengan rapi di board Pinterest, beberapa ide lain kutulis di dalam binder.

Selain memilih gaya desain yang cocok, sebagai calon desainer interior, aku harus memilih material yang cocok untuk ruangan yang akan dibuat, baik dari segi estetika, kualitas, keinginan klien, maupun budget. Selama bimbingan bersama-sama, Dika tidak pernah terlihat kesulitan soal itu. Ide-ide dan inovasi dalam otaknya selalu brilian dan Pak Rizal selalu menyukainya. Tidak heran mengapa cowok itu selalu menonjol di mata kuliah studio.

Setiap kali selesai bimbingan, aku selalu merasa ciut. Ide-ideku tidak sebrilian Dika. Biasanya, di saat-saat seperti ini aku selalu meminta pendapat Zarfan lewat telepon atau Zoom, tetapi kini cowok itu benar-benar sibuk mengikuti dua kursus sekaligus. Biasanya, cowok itu selalu menyempatkan membalas pesanku di pagi dan malam hari. Dengan keterbatasan waktu, tidak banyak hal yang bisa kami bicarakan.

Tidak hanya soal kuliah, aku rindu membicarakan banyak hal dengan Zarfan. Namun, hati kecilku jadi merasa enggan untuk terus menghubunginya. Aku takut mengganggu kesibukannya, meskipun Zarfan tidak pernah mempermasalahkannya. Berminggu-minggu memendamnya sendirian, aku merasa fokusku kini mulai teralihkan. Ketika mulai kesulitan menata perasaan, aku mengunjungi Aruna sebelum kedai kopinya tutup, menceritakan segala hal yang mengganjal di dada.

Cewek berpipi tembam itu duduk di salah satu meja, tepat di hadapanku. "Jadi, maksud kamu, kamu mulai suka lagi sama Zarfan? Dan itu udah berjalan berminggu-minggu?" tanya Aruna.

Aku mengangguk. "Gimana, ya? Dia bener-bener ngebantuin laporanku dari A sampai Z. Aku luluh banget. Kukira aku cuma pengen Zarfan stay dan bantuin aku sampai lulus, tapi lama-lama perasaanku berubah. Ada urgensi pengen ngobrol terus sama dia, pengen ditengokin ke kost, pengen ditanyain kabarnya. Aku juga penasaran kabar dia tiap hari kayak gimana. Dia sehari-harinya ngapain aja selain les. Yaaa ... semacam itu."

Aruna mengembuskan napas berat sambil melipat tangan di dada. Jeda sebentar. "Kenapa kamu baru cerita sekarang, sih?"

"Maaf, Run," liriku, "aku malu. Soalnya, udah janji mau fokus TA aja tahun ini, biar cepet lulus."

"Kamu nggak inget apa yang terjadi sebelumnya?"

"Soal apa?"

"Dua tahun lalu. Waktu kamu naksir Zarfan dan nggak berakhir baik," jawab Aruna serius.

Aku menunduk, menghindari tatapan Aruna. Ya, aku ingat persis apa yang terjadi. Meskipun begitu, hatiku menolak untuk mengingat memori itu.

"Perasaan nggak bisa diatur sesuka hati, Run." Aku berkilah.

"Iya aku tahu." Aruna diam sejenak. "Tapi ... aku nggak mau kamu sakit hati lagi, Mik. Kamu harus ingat apa tujuanmu di awal semester! Nggak boleh ada hal lain yang bisa jadi distraksi!"

"Gimana kalau kali ini bakalan berbeda dari sebelumnya?" tanyaku.

"Beda gimana?"

"Gimana kalau kali ini aku punya kesempatan sama Zarfan? Sebelum sibuk kayak sekarang, kamu tahu, 'kan, kalau dia bener-bener ngeluangin waktunya buat aku? Aku ngerasa Zarfan lebih perhatian–"

Aruna memotong ucapanku dengan menggeleng. "Kita nggak tahu perasaan Zarfan yang sebenarnya kayak gimana, Mik. Zarfan dari dulu emang baik ke kamu."

Aku menggigit bibir, tertohok mendengar ucapan Aruna. Wajahku mulai memanas.

"Tapi iya juga, ya ...?" Aruna berkata lirih. Aku mendongak, bersiap menyimak ucapannya lagi. "Kenapa dia baik banget ke kamu? Jadinya bikin salah paham. Aku temannya juga, tapi dia nggak pernah sebaik itu ke aku."

"Tuh, 'kan!" seruku heboh.

"Aku cuma bilang Zarfan baik, bukan Zarfan suka sama kamu, Mik!" balas cewek itu.

Meja tempat kami mengobrol lengang untuk beberapa saat. Aku membuka mulut, meskipun tidak ada satu kata pun yang keluar. Otakku masih berusaha mencerna perkataan Aruna. Rupanya Aruna pun memiliki pandangan yang sama denganku. Jantungku berdebar cepat tak keruan. Pipiku terasa menghangat. Jadi, apa yang kupikirkan ini bukan sesuatu yang subjektif akibat keegoisanku sendiri, 'kan? Perlakuan Zarfan ke aku dan Runa emang beda!

"Mik ...," ujar Aruna lagi, "Jangan ambil risiko, ya. Hubungan kamu sama Zarfan itu belum pasti. Kamu harus fokus TA, dan Zarfan bakalan sibuk banget S-2. Ada hal yang lebih urgent buat dipikirin daripada pacaran."

"Terus, gimana caranya aku lepas dari bayang-bayangnya Zarfan, apalagi setelah kamu bilang gitu? Harapanku udah telanjur tinggi!" tanyaku frustrasi.

"Fokus sama kuliah kamu, Mik. Kamu nggak harus minta pendapat dia tentang segalanya," tegas Aruna.

"Aku nggak pede, Run, kalau nggak minta pendapat Zarfan ...," lirihku, "dia pintar. Ide-idenya selalu keren. Aku–"

"Mika ...," lirih Aruna. Cewek itu mendesah pelan. "Kamu itu lebih pintar dan lebih kreatif dari aku. Nilai-nilai matkul studio kamu selalu lebih bagus dari aku. Kita bisa aja lulus bareng-bareng kalau kamu nggak cuti."

Aku mendesah, menunduk dan mengusap wajahku kasar. "Sejak sering bimbingan sama Dika, aku ... terus liat progres laporan dia. Aku takut banget nggak bisa mendesain bangunan sebagus dia. Dosbing kami sama, judul kami juga hampir sama. Aku ... takut dibanding-bandingin sama dia ...."

"Mik, kamu minder sama Dika? Kamu bilang Dika itu langganan dapat nilai A di mata kuliah studio? Technically, kamu kayak saingan sama Zarfan. Kamu tahu, 'kan, kalau Zarfan itu mahasiswa paling pintar di angkatan kita? Kamu nggak pernah minder sama Zarfan, tapi kenapa kamu minder sama Dika?" tanya Aruna tidak sabar.

"Nggak tahu, Run! Aku nggak tahu kenapa bisa seminder ini sama Dika!" seruku.

"Karena dari awal kamu menganggap dia saingan, 'kan?" tembak Aruna. Kemudian, cewek itu mendesah panjang. "Coba fokus sama diri kamu sendiri, Mik. Goal kamu tahun ini bukan ngalahin Dika, tapi buat lulus kuliah. Kamu dan Dika nggak harus saling menyingkirkan buat ngedapetin gelar sarjana."

Ya, aku tahu! Memangnya aku nggak tahu? Ingin sekali kukatakan hal itu pada Aruna, tetapi kuurungkan. Padahal, Dika sudah tidak lagi menganggapku hama yang harus dibasmi, tetapi mengapa aku selalu merasa terancam dengan kehadirannya?

"Udah, ya. Fokus aja sama Pra TA kamu. Nggak usah mikirin desain-desainnya Dika. Kalau kamu nggak pede, tanya aku aja, jangan tanya Zarfan!" tegas Aruna.

Aku mengangguk lemah. "Iya, deh ...."

"Pinteeer!" Kemudian Aruna melirik arloji di tangan kirinya. "Eh, udah nyaris jam sepuluh. Coffee shop-ku mau closing. Ada satu potong fudgy brownies yang nyisa, nih. Kalau dijual buat besok teksturnya udah nggak bagus. Kamu mau nggak, Mik?"

"Brownies gratis? Ya mau, lah! Lumayan buat nyemil malem-malem!" seruku ceria.

"Bentar, ya. Aku bungkus dulu." Aruna beranjak dari bangkunya, lalu pergi ke dapur dan menghilang dari pandangan. Beberapa detik kemudian, kurasakan ponselku bergetar. Aku mengambilnya dari atas meja dan mengecek notifikasi dan membuka pesan yang masuk.

Zarfan
Sori ya, Mik
Baru bisa bales
Pasti kamu bosen dengernya😂
Oke, buat menebus kesalahanku
Weekend ini nyobain sei sapi yang baru buka di daerah Buah Batu, yuk!
Katanya lagi ada promo buy 2 get 3
Gimana?

Aku menggaruk kepala saking frustrasinya. "Panjang umur ini anak," lirihku.

Setelah mendengar pendapat Aruna yang mengatakan bahwa perlakuan Zarfan padaku sedikit berbeda, bagaimana bisa aku menolak ajakan cowok itu?

"Kita cuma makan sei sapi. Lagi pula, kita udah nggak ketemu sebulan," gumamku.

Bertemu dengan Zarfan sesekali bukan hal yang salah, 'kan? Setelah pertemuan ini, aku akan mulai fokus kembali dengan tugas akhirku.

"Maaf ya, Run," gumamku sambil mengirimkan balasan untuk Zarfan.

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

21 Februari 2023

*****

KETIK 1 BUAT NAMPOL MIKA😭

Kalian punya temen yang 'askhole' juga nggak, sih? Yang awalnya minta nasihat atau saran, tapi ujung-ujungnya malah ngelakuin hal sebaliknya?

Anyway, maaf telat sehari ya update-nya. Makasih banget buat yang udah mampir dan ngasih comment banyak-banyak. Sampai jumpa lagi minggu depan💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro