Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima

Waktu berjalan begitu cepat, tahu-tahu minggu sudah berganti dan sekarang sudah Senin pagi. Aku duduk di ruangan kelas yang cukup besar. Beberapa meja disatukan menjadi persegi panjang yang besar dan para mahasiswa duduk mengelilinginya. Aku duduk di sebelah Selena, juga semeja dengan adik angkatan lainnya yang tidak kukenal. Namun, aku tidak merasa terasingkan karena sejak tadi Selena terus mengajakku bicara.

"Teteh ngambil judul apa, nih?" tanya Selena di tengah-tengah percakapan.

"Rencananya sih mau hotel bintang empat," jawabku sambil meletakkan setumpuk kertas yang disatukan dengan klip, hasil surveiku bersama Zarfan dan Aruna pekan lalu.

Terpana, Selena menelisik tumpukan kertas yang kubawa. Kemudian cewek itu mengeluarkan binder dan memperlihatkan hasil surveinya padaku. Selena tertarik mengambil judul pusat kebudayaan Jawa Barat, ia juga memperlihatkan foto-foto bangunan tersebut. Dibanding punyaku, data milik Selena masih lebih sederhana. Mengetahui data-dataku masih lebih unggul dibanding cewek itu, dalam hati aku tersenyum puas.

Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol hingga jarum jam nyaris menunjukkan pukul delapan. Mahasiswa tingkat akhir telah memenuhi ruangan. Orang yang terakhir masuk kelas adalah Pak Salman, diikuti beberapa dosen yang juga bertugas di mata kuliah ini. Kelas pun menjadi hening setelah Pak Salman menjelaskan teknis kegiatan yang akan kami lakukan hari ini. Rupanya, meja-meja di kelas ini sengaja dibuat berkelompok untuk mengumpulkan para mahasiswa dengan judul yang sejenis. Setiap meja diwakili oleh satu dosen yang ahli dalam kategori bangunan yang dapat dipilih sebagai judul Pra Tugas Akhir.

Setelah briefing, aku berpisah dengan Selena. Sambil menyampirkan tote bag dan memeluk tumpukan kertas di dadaku, aku melihat sekeliling, mencari di mana meja khusus mahasiswa yang mengambil judul hotel dan resort. Setelah kutemukan meja itu di ujung ruangan, langsung saja aku mencari bangku yang kosong. Belum genap sepuluh detik setelah aku mendaratkan bokong, suara yang cukup familier menyapaku.

"Teh Mika?"

Aku mendongak, melihat cowok jangkung dengan rambut gondrong sebahunya yang diikat menjadi buntut kuda. Ia mengambil posisi untuk duduk di sebelahku.

"Dika?" Aku balik menyapanya. "Loh? Ngambil judul hotel resort juga?"

"Iya, Teh. Aku ambil judul hotel, nih," ujarnya. Cowok itu melepas ranselnya dan meletakkannya di belakang sandaran kursi. Aku cukup terkejut kali ini cowok itu membawa tas. Ia juga tampak lebih siap mengikuti mata kuliah ini jika dibandingkan minggu lalu.

Dari dalam ranselnya, Dika mengeluarkan tumpukan kertas binder yang sudah ditulisi. Aku berusaha membaca apa yang tertulis di sana, tetapi sulit karena tulisan tangan cowok itu tidak cukup bagus.

"Sama, dong. Ngambil judul hotel apa, Dik?" tanyaku.

Belum sempat Dika menjawab, Pak Rizal, dosen yang bertugas untuk memeriksa hasil survei mahasiswa yang mengambil judul hotel ataupun resort, sudah duduk di salah satu kursi. Selama beberapa menit ke depan, Pak Rizal membuka kelompok ini dengan beberapa patah kata. Selanjutnya, beliau memeriksa satu per satu data yang dikumpulkan tiap mahasiswa. Jika diurutkan berdasarkan jarum jam, aku adalah mahasiswa kelima yang akan diperiksa, sementara Dika urutan keenam.

Ketika tiba giliran mahasiswa keempat, aku yang sedang bermain ponsel menangkap Dika dengan sudut mata. Atensi cowok itu tertuju pada tumpukan kertas hasil surveiku di atas meja. Aku mengalihkan pandangan dari ponsel, kemudian menoleh dan bertanya. "Kenapa?"

Raut wajah cowok itu berbeda dari biasanya. Cukup sulit untuk membacanya. "Teteh pakai hotel Grand Atlantica buat benchmark? Berarti ngambil judul hotel bintang empat, ya?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Judul cadangannya apa?"

Aku menggeleng. "Nggak ada. Aku cuma kepikiran ambil judul hotel bintang empat."

"Kalau benchmark hotelnya? Cuma Grand Atlantica doang?"

Aku mengangguk. "Iya, Dik. Aku nggak survei ke hotel lain."

Dika terlihat menelan ludah. Cowok itu melirik tumpukan kertas binder miliknya di atas meja, mengambilnya, kemudian memberikannya padaku. Kedua mataku memindai kalimat demi kalimat yang tertulis di kertas binder milik Dika. Semakin kubaca isi kertas itu, tanganku terasa semakin dingin.

Semesta memang gemar bercanda. Ia selalu membuat kebetulan-kebetulan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa Dika juga mengambil judul hotel bintang empat dengan Grand Atlantica sebagai hotel pembandingnya? Sialnya, data yang dikumpulkan Dika sama lengkapnya dengan milikku. Bahkan, ia pun punya dokumentasi setiap ruangan dalam hotel itu, hingga detail-detail kecil seperti instalasi furnitur maupun hiasan dinding.

Aku menggigit bibir. Ingin rasanya mengucapkan berbagai sumpah serapah. Akhirnya, aku mendongak pada cowok itu. "Kamu punya judul cadangan, nggak?" tanyaku serius. Rasa frustrasi kian meliputiku ketika Dika menggeleng pelan.

Otakku mendadak kosong untuk beberapa saat ke depan. Bahkan ketika Pak Rizal memeriksa hasil surveiku dan memberikan masukan, aku hanya mengangguk tanpa meresapi apa inti perkataannya. Setelah aku, giliran Dika pun tiba. Di akhir kelas, semua mahasiswa diperbolehkan meninggalkan ruangan. Adik-adik angkatan yang telah disetujui judul Pra Tugas Akhirnya pun menunjukkan wajah bahagia. Hanya aku dan Dika yang masih berada di meja dengan raut tegang, duduk berhadapan dengan Pak Rizal.

"Judul yang kalian ajukan sama. Kalian janjian atau gimana, nih?" gurau pria itu.

"Nggak, 'kok!" seru kami bersamaan sambil menggeleng.

Pak Rizal terkekeh kecil. Ia melihat-lihat tumpukan kertas milikku dan Dika yang diletakkan di hadapannya. Pria itu memindai sebentar, kemudian atensinya kembali pada kami. "Data kalian juga lengkap banget. Kalau dibanding yang lain, data punya kalian yang paling siap. Sayangnya, saya nggak bisa langsung acc gitu aja."

Aku menelan ludah, lalu berpandangan dengan Dika sesaat. Setelahnya, kami kembali pada Pak Rizal.

"Kalian punya judul cadangan, nggak?" tanya pria itu lagi.

Aku dan Dika kompak menggeleng.

"Kalian ingat, 'kan, Pak Salman wanti-wanti banget supaya nggak ada mahasiswa yang ambil judul yang sama?" tanya Pak Rizal sambil memperbaiki posisi duduknya.

Aku mengangguk. "Tapi, kami nggak sengaja, Pak. Kami bahkan nggak kontakan sama sekali soal Pra Tugas Akhir. Jadi, mana kami tahu bakalan ngambil judul yang sama?"

"Iya, saya tahu, Mika." Pak Rizal menekan suaranya ketika menyebut namaku. "Tapi peraturan ini sudah bulat. Saya nggak punya wewenang buat kasih kalian pengecualian."

"Jadi ... kami harus ganti judul?" Akhirnya Dika bersuara.

"Nggak perlu. Salah satu dari kalian aja," jawab Pak Rizal santai.

Aku membulatkan mata dan tersenyum sedikit ketika merasa ada secercah harapan. Salah satu dari kami? Siapa yang akan Pak Rizal pilih?

"Kalian perang data aja, ya." Itulah yang Pak Rizal katakan. Senyumku pun pudar, digantikan oleh kedua alisku yang bertaut. Aku melirik Dika yang terlihat sama bingungnya denganku.

"Nggak adil kalau saya memihak salah satu dari kalian, atau sekali pun saya suruh flip coin, tetap nggak adil karena bergantung pada keberuntungan. Jadi, gini aja, deh." Pak Rizal sedikit membungkuk untuk mendekat ke arah kami. "Mika dan Dika, kalian ketemu saya lagi Senin depan sambil bawa data yang lebih lengkap, ya. Data siapa pun yang paling lengkap, akan saya acc. Yang kurang lengkap, harus milih judul yang lain."

Oh, sial! Aku tidak menyangka Pra Tugas Akhir kali ini akan menjadi medan perang untukku. Orang-orang bilang, melawan kemalasan diri sendiri saja sulit. Namun, kini aku harus bertarung melawan orang lain? Yang benar saja! Aku tidak yakin apakah Dika adalah mahasiswa yang lebih malas dariku. Aku baru bertemu cowok itu dua kali, waktu yang terlalu singkat untuk bisa memprediksi kemampuan akademiknya.

Akhirnya, kami keluar kelas dengan wajah lesu. Di sepanjang lorong gedung FSRD yang sepi, hanya terdengar langkah kaki dan helaan napas kami. Aku benci atmosfer pagi ini. Minggu kemarin, aku dan Dika masih bisa mengobrol serta tertawa satu sama lain. Namun, cowok jangkung ini sekarang berubah menjadi tokoh antagonis yang akan menghalangi jalanku untuk meraih gelar sarjana.

"Dik, kamu hebat ya, bisa ngumpulin data sebanyak itu." Aku memulai percakapan, entah bermaksud menyindir atau memujinya. Perkataan itu meluncur begitu saja dari lidahku.

"Iya, soalnya tanteku manager di La Pizzeria n' Pasta. Dia yang ngebantuin aku buat dapetin izin survei di gedung Grand Atlantica. Jadi, datanya bisa selengkap ini," jawab Dika yang sepertinya jujur. Ucapannya membuatku sedikit kesal.

"Cie, dapet dari orang dalam," godaku.

Dika tampaknya tidak suka dengan gurauanku. Ia berhenti berjalan. Wajah bersahabatnya pudar. "Teteh sendiri kenapa bisa dapet data sebanyak itu?"

Aku ikut menghentikan kedua kakiku, lalu menoleh padanya. "Aku? Survei sendiri. Aku nggak punya kenalan orang dalam kayak kamu." Iya, tapi Zarfan yang punya.

Dika mengalihkan pandangan dariku, tampak malu dan sedikit kesal.

"Dik ...." Aku merendahkan suaraku. Dengan harga diriku yang tersisa, aku memohon, "Kamu tahu 'kan, kalau aku nunda tiga semester buat ngambil Pra Tugas Akhir? Aku pengen lulus tahun ajaran ini. Boleh nggak ... kalau aku yang ambil judul hotel bintang empat?"

"Terus, aku gimana?" tanya Dika sewot.

"Ambil judul baru." Aku mendekat, lalu mendongak untuk melihat wajahnya. Kini, pandangan kami bertemu. "Kamu mau ambil judul apa pun, aku bakalan bantuin kamu buat nyari datanya. Kalau kamu ambil judul yang sama kayak teman-temanku yang udah lulus, aku bisa bantuin kamu dapetin data selengkap-lengkapnya. Win-win solution, 'kan?"

Ekspresi wajah Dika berubah menjadi lebih santai. Ah, tawaranku memang cerdas! Dika tinggal duduk manis di rumahnya, sedangkan aku yang mencarikan data untuknya. Tentu cowok itu tidak akan menolak!

Setelah keheningan yang cukup panjang, Dika menyeringai. "Nggak mau. Kenapa aku yang harus ngalah buat Teteh?"

Mendengar perkataannya, senyumku menghilang.  "Apa?"

"Emangnya cuma Teteh doang yang mau lulus tahun ajaran ini?" tanya cowok itu dingin.

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

7 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro