Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam

Setelah deklarasi perang yang diucapkan Dika, aku jadi tidak berminat untuk pulang ke kost. Aku terdampar di kedai kopinya Aruna dan dengan impulsif memesan satu gelas ice matcha latte dan croissant cokelat. Aku duduk membungkuk. Pipi kananku bersandar pada meja yang kutempati. Seharusnya aku mengkhawatirkan bakteri dan kuman yang ada di permukaannya menempel ke kulit wajahku, tetapi karena suasana hatiku sedang buruk aku tidak memedulikannya.

Aku menatap kosong meja di seberangku sambil mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan. Meja itu kosong. Meskipun tidak melihat secara langsung, aku dapat mendengar notifikasi pesanan dari platform online di meja kasir maupun langkah driver-driver ojol yang berlalu lalang mengambil pesanan. Aruna pun sejak tadi sibuk melayani pelanggan, menelantarkanku sendirian.

Tiba-tiba, muncul wajah seseorang di hadapanku. Jaraknya mungkin sekitar dua puluh senti. Sedekat itu. Aku melotot saking terkejutnya. Dengan segera kutegakkan tubuh. Nyaris saja jantungku berhenti berdetak.

"Astaghfirullah! Zarfan!" protesku sambil menyentuh dada yang bergemuruh.

Pemuda itu kini mengenakan kemeja flanel dan celana jeans gelap. Rupanya, ia membungkuk untuk mengintip wajahku yang tertidur di meja secara menyamping. Zarfan lalu menegakkan tubuh dan duduk di kursi seberangku. "Mukanya kusut amat," ujarnya sambil terkekeh.

"Ngapain di sini?" Aku mengabaikan komentarnya.

"Abis dari biro akademik kampus ngurusin berkas buat S-2, terus pengen es kopi susu, jadi aku ke sini," jawabnya. "Gimana TA kamu, Mik? Di-acc, nggak?"

"Kayaknya Dewa Neptunus nggak mengizinkan aku mengikuti Pra Tugas Akhir dengan tenang!" ocehku pada Zarfan.

Alis Zarfan terangkat satu. Ia membuka mulut, hendak berbicara, kemudian menutup kembali. Tawanya meledak. "Dewa Neptunus apaan?"

"Katanya, ada adik angkatan yang resek," ujar Aruna yang datang ke meja kami sambil meletakkan es kopi susu di atas meja. Kemudian, gadis itu duduk di samping Zarfan. "Buruan, Mik, cerita!"

Zarfan mengambil cup minuman tersebut, menyeruputnya, kemudian bertanya kembali. "Adik angkatan?"

"Namanya Mahardika, angkatan 2019. Gondrong, tinggi. Kalian kenal, nggak?" tanyaku berapi-api.

Zarfan dan Aruna saling pandang dengan raut wajah bingung, setelahnya, mereka melihatku lagi dan menggeleng.

"Jadi, si Mahardika ini ngambil judul hotel bintang empat. Hotel yang dijadiin benchmark juga Grand Atlantica!" seruku.

"Kok bisa?" potong Aruna.

Aku mendesis dan dengan cepat mengarahkan telunjukku ke bibir gadis itu, meskipun tidak bersentuhan. "Diem dulu, jangan dipotong!"

Aruna menggerakan tangannya seolah-olah sedang mengunci rapat mulutnya. Setelah itu, aku kembali bercerita. "Sialnya, data survei kami sama lengkapnya. Di kelas Pra Tugas Akhir kemarin, cuma kami berdua yang judulnya belum di-acc dosen. Pak Rizal nyuruh kami perang data."

"Apaan tuh, perang data?" tanya Aruna.

"Jadi, Senin depan kami harus setor data yang lebih lengkap ke Pak Rizal. Siapa pun yang datanya paling lengkap, dialah yang berhak ngambil judul itu."

"Ini Pra Tugas Akhir atau Hunger Games?" gurau Zarfan.

"Ha ha." Aku tertawa hambar. "Si Dika-Dika ini punya orang dalam. Tantenya manager di La Pizzeria n' Pasta. Mudah bagi dia buat nyari data tambahan."

"Mik, kalau kamu kalah, kamu boleh, kok, ambil judul Tugas Akhirku," ucap Aruna polos.

"Arunaaa!" Aku sewot. "Jadi aku harus ngerelain kerja kerasku selama seminggu kemaren? Setelah dapat kesempatan hotel tour sama superviser-nya? Setelah semua foto-foto yang aku ambil? Nggak mau! Enak aja! Aku tetap mau jadiin Grand Atlantica benchmark buat hotel bintang empatku! Tapi sayangnya, si Dika juga sama. Dia bilang, dia nggak mau hasil kerja kerasnya sia-sia."

Zarfan dan Aruna menghela napas bersamaan. Keheningan meliputi kami selama beberapa saat hingga Aruna harus kembali ke meja kasir dan melayani driver ojol yang datang.

Aku mengembuskan napas berat, sedikit merunduk sambil menyibak poni. Telapakku memegang dahi, sedangkan sikuku bertemu dengan permukaan meja. "Kenapa sih ... giliran udah niat banget mau lulus, adaaa aja halangannya. Kalah telak sih, aku," lirihku.

"Kamu nggak akan kalah, Mik." Ucapan Zarfan sukses membuatku meliriknya. "Kamu lupa kalau mantan kantorku dulu ngedesain bangunan itu? Aku punya blueprint-nya. Selain itu, aku bisa bantuin kamu nyari data lain dari mantan kantorku."

"Tapi semua itu, 'kan, confidential ... punya mantan kantormu. Mana bisa kamu minta gitu aja," ucapku lesu.

"Data yang confidential nggak akan aku share, kok. Tapi, aku masih punya beberapa data yang mungkin berguna buat kamu di Google Drive-ku. Gimana?" Zarfan menyeringai.

"Serius, Zar?"

"Ngapain aku bohong?"

"Pasti nanti kamu minta dijajanin piza lagi, 'kan?"

Zarfan terkekeh. "Ya ampun, padahal aku ikhlas bantuin kamu, loh! Tapi kalau kamu mau jajanin aku piza lagi, aku nggak nolak," godanya.

"Siap, Tuan Zarfan!" Aku menunduk dan merapatkan kedua telapak tangan, seperti memohon pada seorang biksu. "Apa aja aku pasti beliin. Pasta, lasagna, piza."

"Deal!" ujar Zarfan ceria. "Nanti aku cari-cari datanya dulu ya, Mik."

*****

Malam harinya, aku sudah berada di kost, duduk di ranjang, berhadapan dengan meja lipat dan laptop di atasnya. Aku duduk bersila dengan semangkuk mi instan sambil menonton sitkom Brooklyn Nine-nine. Tiba-tiba saja, ponselku bergetar. Aku menekan tombol pause di Netflix dan mengambil benda elektronik itu di atas ranjang, kemudian melihat nama Zarfan di layarnya.

"Iya, Zar?" jawabku sambil mengunyah.

"Lagi ngapain, Mik? Lagi makan?"

Aku mengangguk. "Iya, lagi makan mi."

"Mika Gianina, kamu punya maag. Jangan makan mi!" Zarfan merendahkan nada bicaranya, seperti seorang abang yang sedang mengomeli adik perempuannya.

Aku protes. "Bawel!"

"Dikasih tahu ngeyel. Kalau kambuh, jangan rewel, ya!" balas pemuda itu.

"Iya, iya, bawel!" Aku minum di sela-sela percakapan. "Kenapa nelpon, Zar?"

"Aku udah nemu datanya. Blueprint, bahkan sampai persentase dan kriteria pengunjung hotel pun aku punya. Ini data beberapa tahun lalu, sih, tapi masih bisa kamu jadiin acuan."

"Datanya nggak confidential, tuh?"

"Nggak apa-apa, asal jangan kamu sebarin lagi," balas Zarfan santai.

"Serius, Zar?" tanyaku ceria. "Coba share aja lewat Drive."

Zarfan diam sejenak. "Em ... datanya udah aku masukin flashdisk. Besok aku kasih flashdisk-nya aja, ya? Sekalian aku bawa catatan TA-ku, siapa tau kamu perlu. Besok aku jemput di kost, kita makan siang di La Pizzeria 'n Pasta, oke?"

"Mau jemput jam berapa?"

"Jam sebelas aja. Nggak ada kuliah, 'kan?"

Aku menggeleng. "Nggak ada. Ya sudah, besok berkabar aja, ya!"

"Oke. Bye, Mik!"

Aku mengakhiri panggilan telepon dengan senyum merekah. Tanpa diperintahkan, aku memeluk ponselku di dada, merasakan jantungku yang berdetak lebih cepat. Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang. Kedua pipiku memanas. Ketika menutup mata, aku sudah berada di dalam mobil sedan, melihat Zarfan di sampingku. Kedua tangannya sibuk berkutat dengan kemudi. Kemudian, pemandangan lain mulai terbentuk di sekitarku. Kini, kami berada di La Pizzeria 'n Pasta. Zarfan duduk di hadapanku sambil menikmati seloyang piza. Cowok itu menatapku, lalu tersenyum.

Ketika membuka mata, aku kembali ke dunia nyata. Kabut khayalan di otakku menguap dan senyumanku pun pudar. Sesaat, aku merasa seperti orang bingung. Mengapa aku harus berdebar hanya karena sebuah panggilan telepon? Aku menggeleng, menepis pikiran-pikiran liarku, lalu kembali menegakkan tubuh.

Aku begitu menantikan hari esok. Namun ... kenapa? Apakah aku senang karena Pra Tugas Akhirku akan berjalan lancar dan bisa mengalahkan Dika, atau ... karena Zarfan?

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

20 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro