Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat Puluh

Pernah kepikiran nggak, setelah lulus, lima tahun lagi kamu mau jadi apa?

*****

"Udah?" tanya Dika padaku.

"Apanya?" tanyaku.

"Urusan Teteh sama Kang Zarfan?"

"Hah?" tanyaku karena bingung. "Oh, udah, kok. Zarfannya juga udah pergi."

"Bukan itu maksudku." Dika menghela napas dan duduk di sampingku. "Urusan perasaan. Atau ... jangan-jangan tadi Kang Zarfan nembak Teh Mika, terus kalian jadian?"

Aku tertawa. "Hah? Ya nggak, lah!" Kemudian, aku menoleh padanya. "Kenapa? Kamu jealous?"

"Jealous, lah!" sewot cowok itu. Ia meletakkan kedua telapaknya di belakang kepala, lalu bersandar ke tembok. "Siapa yang nggak jealous crush-nya ditembak cowok lain?"

Mendengar Dika mengucapkan hal itu, aku tertawa kecil. "Kamu sesuka itu sama aku?"

Dika mengangguk beberapa kali. "Tapi aku sengaja nggak mau ngebahas hal ini sama Teteh, karena aku tahu perasaan Teteh masih belum selesai sama Kang Zarfan." Lalu, cowok itu menoleh padaku. "Nah, sekarang, 'kan, Teteh udah selesai sama Kang Zarfan ...."

"Tahu dari mana?" godaku.

"Tadi aku nguping." Dika nyengir.

Kupukul bisep cowok itu. "Nggak sopan!"

Dika tertawa sebentar, kemudian wajahnya kembali serius. "Jadi sekarang hubungan kita mau di bawa ke mana? Perasaan Teteh sendiri ke aku kayak gimana?"

Aku bungkam. Perasaanku pada Dika? Tentu aku pun menyukai adik tingkatku yang terkadang menyebalkan itu. Aku menikmati setiap detik bersamanya. Aku menyukai bagaimana cara Dika yang selalu berhasil membuatku ceria. Aku suka dengan kepintaran dan caranya memecahkan masalah-masalah tugas akhirnya. Aku suka segalanya tentang Dika.

Namun ... aku terbayang-bayang dengan ucapan Papa pada Dika, lalu padaku. Saat ini bukanlah waktunya untuk memikirkan hubungan percintaan. Papa ingin aku dan Dika berkarier terlebih dulu, ditambah karena usiaku yang jauh lebih tua dari Dika, maka kesempatanku mencari kerja akan semakin sedikit. Aku harus fokus. Meskipun aku benci mengikuti keinginan Papa, tapi harus kuakui kali ini beliau benar.

Kukira, Dika adalah cowok tepat yang datang di waktu yang tepat. Namun ..., apa bedanya ia dengan Zarfan?

"Aku bertepuk sebelah tangan, ya?" tanya Dika sambil mencebik, matanya bulat dan penuh harap, seperti anak anjing yang kehujanan.

"Kalau iya gimana?" Aku menggodanya lagi.

"Nggak gimana-gimana, sih ...," kata Dika lemas. "Tapi ... ya, sedih aja."

Aku menahan tawa. "Nggak, kok. Sejujurnya, aku pun suka sama kamu, Dik."

Mendengarnya, awan mendung di wajah cowok itu menghilang. "Serius?"

"Tapi ...."

Cowok gondrong itu mengerang. "Tuh, 'kan, ada tapinya!" keluhnya.

"Kebiasaan deh, aku lagi ngomong disela!" protesku sambil memukul pahanya. Kami pun tertawa bersama-sama.

Setelah tawa kami mereda, terdapat jeda yang cukup panjang sebelum aku mulai berbicara kembali. Atmosfer menjadi lengang. Entah apa yang ada di pikiran Dika. Jika bisa kutebak, benang kusut di kepalanya pun bisa jadi sama rumitnya sepertiku.

"Dik, pernah kepikiran nggak, setelah lulus, lima tahun lagi kamu mau jadi apa?" tanyaku untuk memulai kembali percakapan.

"Jadi senior desainer interior di kantor konsultan besar," balasnya. "Di Jakarta, di gedung tinggi, bisa minum Starbucks tiap hari, nge-gym tiap weekend."

"Alias budak korporat?" ledekku.

Merasa terhina, Dika kembali mencebik. "Budak korporat dengan gaji dua digit, jangan salah!" Jeda sebentar. "Kalau Teteh?"

"Freelancer dibayar dolar," balasku. "Kerjanya work from home. Pagi-pagi nggak usah mandi, masih pakai piyama, kerja di dalam kamar, tapi masih bisa ke Sushi Tei tiap weekend," balasku. Dengan senyum yang merekah, aku menoleh pada cowok gondrong itu. "Alias freelancer work-life balance."

"Ah, I see." Dika mengangguk-angguk. Cowok itu menunduk. "Tujuan kita beda banget, ya?"

"Iya ...." Aku turut mengangguk. "Dan kalau pacaran, kita pasti LDR, Dik."

"Teteh bisa merantau ke Jakarta, 'kan, bareng aku? Ngekost di sana, biar deket sama kostku."

Aku menggeleng. "Nggak bisa, Dik. Mama Papa pasti pengennya aku diem di rumah Bogor kalau kerja freelance WFH, biar ngehemat biaya sewa, kecuali aku dapat kerja kantoran juga di Jakarta."

"Kalau gitu ayo, Teh, lamar kerjaan juga di Jakarta!" desak Dika.

Aku mengangguk. "Aku bakalan nyoba juga, tapi IPK-ku nggak sebagus kamu dan aku telat lulus. Pengalaman organisasi pun nggak banyak. Chance buat keterima pastinya lebih kecil dari kamu."

Kali ini, aku melihat air muka Dika mengeruh. Cowok itu pasti sama kecewanya denganku. Kami saling menyukai, tetapi mengapa jarak, tujuan, dan masa depan menghancurkan perasaan kami?

"Aku nggak peduli." Dika berkata tiba-tiba. Tubuhnya menegak. Awan mendung di wajahnya menghilang. "Aku bakal perjuangin Teteh bagaimanapun caranya. Tapi ...." Cowok itu menjeda sebentar. "Aku nggak mungkin ngajak Teteh pacaran kalau masa depanku masih abu-abu. Aku nggak mau bikin Teteh nunggu yang nggak pasti. Nanti ... apa kata papanya Teteh?"

Aku menoleh, menatap matanya yang memancarkan keseriusan. Apaan, nih? Pemaksaan perasaan?

"Bisa jadi bulan ini aku dapat kerjaan, bisa bulan depannya lagi, mungkin. Masa depan nggak ada yang tahu. Yang jelas, aku harus sudah punya kerjaan tetap. Titik. Mutlak." Cowok itu berapi-api. "Gimana ... kalau aku datang lagi ke Teteh setelah punya pekerjaan tetap?"

Aku mengernyit. "Kamu serius?"

Dika mengangguk dan tersenyum. "Serius, dong."

"Kalau gitu aku juga. Aku harus punya kerjaaan tetap!" ujarku sama berapi-apinya.

Cowok itu menggeleng. "Freelance juga nggak apa-apa, kok. Itu, 'kan, pekerjaan yang teteh suka, dan Teteh udah berpengalaman di bidang itu."

"Jadi, kita bakalan saling nunggu, nih?" tanyaku.

"Kita fokus sama diri masing-masing aja, dan kita tetap berteman kayak gini. Karena bagi kita ...."

".... Masa depan dulu, baru hubungan percintaan." Aku menyelesaikan ucapan Dika sambil tersenyum.

Dika tersenyum manis, lalu mengangguk. Tidak kusangka cowok menyebalkan yang kutemui di hari pertama tahun ajaran bisa sedewasa ini. Dan tanpa sengaja, aku sudah jatuh cinta pada pesonanya, luar dan dalam. Bersama Dika, aku tidak merasa seperti anak bebek yang tersesat dan membutuhkan bantuan serta arahan dari induk bebek, seperti ketika bersama Zarfan. Sebaliknya, kami berdua adalah anak bebek yang saling bergandengan tangan, berjalan beriringan menuju tujuan yang sama. Tidak peduli harus melewati danau, gunung, bahkan lautan sekali pun.

Dika berdiri, menyugar rambutnya sambil melihatku. "Jadi ... sampai ketemu lagi?" tanyanya.

"Ini bukan perpisahan, 'kan?" tanyaku.

Cowok itu menggeleng. "Kita pasti ketemu lagi, kok. Aku janji."

*****

Setelah hari yang panjang, aku mengistirahatkan diri di hotel bersama Mama, Papa, dan Teh Mutia. Aku membawa banyak sekali hadiah wisuda dari teman-teman, seperti bingkisan makanan, buket bunga, boneka, serta hadiah-hadiah unik lainnya. Pukul tujuh malam, aku duduk di lantai dan membuka satu per satu hadiah yang kudapat.

Teh Mutia berjalan melewatiku menuju meja makan sambil membawa cangkir berisi minuman hangat. Kakakku itu berkata, "Cieee, sarjana. Hadiahnya banyak banget."

"Iya, dong!" Aku mendongak sambil memamerkan beberapa bingkisan padanya.

"Kalau ada makanan yang kamu nggak suka, aku siap menampung, kok," katanya lagi.

Mama dan Papa yang duduk di sofa dan menonton televisi tertawa kecil. Aku menjulurkan lidah ke Teh Mutia, tanda tidak setuju.

Kini, tinggal bingkisan terakhir yang harus kubuka. Aneh, ukurannya paling kecil dibandingkan kado lainnya. Seperti amplop surat yang cukup tebal dengan pita berwarna ungu. Tidak ada nama orang yang memberikannya. Aku lupa berhubung siang tadi banyak sekali yang memberiku hadiah, dan aku hanya menerimanya lalu mengatakan terima kasih tanpa mengingat wajahnya. Namun, seharusnya nama pemberi hadiah tertera di sana.

Penasaran, aku membuka bingkisan berpita tersebut. Ternyata, isinya berupa album kecil dengan lembaran polaroid di dalamnya. Ketika melihat foto-foto itu, aku merasa familier dengan sosok gadis di dalam lembaran polaroid. Ya, aku pernah berfoto bersama cewek itu ketika kami masih sangat dekat. Sosok itu sering membawa polaroid ke kampus jika ada acara-acara penting, seperti pameran seni.

Aku tersenyum getir. Dalam polaroid, kulihat sosokku yang sedang tersenyum dan merangkul cewek cantik berabut panjang itu. Selanjutnya, ada foto kami yang diambil secara candid. Selain kami berdua, ada pula Aruna dan Zarfan di sana. Untuk beberapa menit ke depan, aku terhanyut melihat-lihat foto yang ada di tanganku. Setelah puas bernostalgia, aku menemukan selembar kertas yang dilipat menjadi empat bagian di dalam amplop, lalu kubaca isinya.

Dear Teh Mika,

Mungkin di hari wisuda akan jadi kesempatan terakhirku ketemu Teteh, tapi pasti kita nggak bisa berinteraksi banyak karena gedung FSRD bakalan rame banget.

Pertama, aku mau ngucapin terima kasih udah bantuin aku waktu sidang. Tanpa laptop Teteh, mungkin aku nggak akan bisa masuk ke ruang sidang. Setelah itu aku banyak merenung. Aku menyayangkan hubungan pertemanan kita berakhir nggak baik. Aku nggak mau meninggalkan kesan buruk di mata Teteh setelah lulus, karena sejujurnya aku sayang sama Teteh. Aku nggak pernah membenci Teteh. Waktu kita bertengkar, aku cuma kecewa aja sama Teteh. Aku minta maaf buat segala perkataan dan sikapku yang buruk ke Teteh.

Aku mau ngasih sebagian foto-foto polaroid koleksiku di rumah, soalnya dekat-dekat ini aku bakalan berangkat dan tinggal di Australia, kerja di kantor konsultan kakekku. Aku nggak akan bisa ketemu Teteh (untuk sekarang). Semoga Teteh berkenan maafin aku dan nggak ada dendam di antara kita.

Selena.

Aku tersenyum membaca surat itu. Kulipat kembali menjadi empat bagian dan kumasukkan ke dalam amplop. "Aku udah maafin kamu kok, Sel," lirihku sambil tersenyum.

⚠️JANGAN HAPUS CERITA INI DARI LIBRARY KALIAN DULU!⚠️

Soalnya minggu depan masih ada epilog🥳

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro