Empat Belas
Mungkin saja ada sedikit kebaikan di tempat yang kamu benci
Hal yang mungkin nggak pernah kamu bayangkan sebelumnya
*****
Setelah makan siang, aku langsung berkendara ke kampus teknik terbaik di Bandung, lalu bertemu Dika di Gerbang Dayang Sumbi. Sebelum memasuki perpustakaan umum ITB, kami bertemu dengan seorang cowok dengan tubuh berisi di depan bangunan itu. Dika bilang, cowok ini adalah teman SMA-nya.
Berbeda dengan Dika yang kesehariannya mengenakan jaket kulit, Converse dekil, serta ripped jeans, mahasiswa di hadapan kami mengenakan kemeja dan celana jeans tanpa lubang di lututnya. Sneakers bersih berwarna cokelat melengkapi penampilan rapinya. Rambutnya juga dipotong rapi, tidak dibiarkan gondrong seperti Dika.
Anak Teknik dan Desain emang kentara banget bedanya.
Setelah basa-basi semacam 'eh, kamana wae maneh?' dan 'didieu wae urang mah', cowok bertubuh berisi itu menyerahkan kartu mahasiswanya pada Dika. "Balikin bukunya tepat waktu! Kalau nggak, urang yang kena dendanya!" Cowok itu memperingati Dika.
Dengan santai Dika menerima kartu tersebut. "Iya, santai weh!"
Cowok itu kemudian melirikku, lalu kembali melirik Dika dengan tatapan jahil. "Saha ieu? Kabogoh?"
"Lain. Babaturan," jawab Dika santai.
"Geulis euy," ucap cowok itu, masih dengan tatapan jahilnya.
Aku terkekeh canggung dan sedikit mengangguk. "Nuhun, A."
Temannya Dika tampak terkejut. "Eh, kok ngerti bahasa Sunda?"
"Lah? Ya jelas. Aku, 'kan, orang Sunda juga!" balasku.
Cowok berkemeja itu terkekeh. "Oh iya, punten, Teh. Heureuy ini mah. Nggak kelihatan kayak orang Sunda soalnya."
"Nggak usah rasis, deh!" sewot Dika. "Ya udah, kami masuk, ya!"
"Yoi."
Setelah percakapan menyebalkan itu, akhirnya kami masuk ke dalam perpustakaan. Dibandingkan dengan kampus kami, perpustakaan ITB jauh lebih luas, interiornya pun jauh lebih modern. Setelah menitipkan tas, kami mendaftar sebagai pengunjung dengan NIM milik teman SMA-nya Dika, kemudian langsung menaiki tangga untuk menuju ke lantai atas.
Kami sampai di lantai tempat buku-buku literatur desain dan arsitektur berada. Rak-rak berjejer rapi, tersebar di seluruh lantai. Saat itu lengang, beberapa mahasiswa duduk di meja belajar dengan laptop, buku-buku tebal yang menumpuk, serta buku-buku catatan kuliah. Dua mahasiswa duduk dan membaca buku di sofa melingkar. Sinar matahari menembus kaca jendela lebar di dinding bangunan, membuat bangunan ini cukup hemat energi di siang hari karena tidak membutuhkan banyak penerangan buatan.
Aku dan Dika berpencar menjelajahi rak bagian desain interior dan arsitektur, memindai satu per satu punggung-punggung buku literatur, mencari judul yang sekiranya dibutuhkan. Ada beberapa buku yang menarik perhatianku. Aku mengambil semuanya, membawanya ke salah satu meja belajar dan mulai memindai cepat daftar isinya.
Syukurlah, aku menemukan materi yang kubutuhkan, yaitu konstruksi dan bahan-bahan untuk dinding akustik. Selain itu, masih banyak buku lain yang tidak kusangka-sangka akan kubutuhkan, seperti teori penyusunan lampu sesuai dengan jenis ruangan. Namun, semua itu belum cukup untukku.
Aku kembali ke rak dan menemukan literatur lain, tetapi letaknya berada di rak paling tinggi. Ketika aku susah payah berjinjit, tangan yang cukup panjang terulur ke depanku, mengambil buku tersebut. Ketika menoleh, aku melihat Dika sudah berada di sampingku.
Cowok itu melihat sampulnya dan tersenyum. "Wih, bagus nih bukunya." Kemudian Dika menoleh ke tempat dimana buku tersebut berasal. "Yah, nggak ada lagi?"
"Bukunya cuma satu. Siapa cepat dia dapat!" seruku. Aku mengulurkan tangan untuk mengambil buku itu, tetapi Dika mengangkat tangannya semakin tinggi, kemudian menyeringai jahil. Usahaku begitu sia-sia mengingat kami memiliki perbedaan tinggi sekitar dua puluh sentimeter.
"Aku, dong, yang dapat? 'Kan, aku yang duluan ngambil," godanya sambil tertawa.
"Tapi aku yang ngeliat duluan!" seruku sambil berjinjit, berusaha menggapai buku yang sulit kujangkau dengan tangan.
Terdengar suara orang mendesis dari arah meja belajar. Kami refleks berhenti. Ketika menoleh ke sumber suara, salah satu mahasiswa memelototi kami sambil meletakkan jarinya di bibir. Setelah perpustakaan kembali hening, mahasiswa itu kembali sibuk dengan buku tebal di meja.
Sambil tertawa pelan, Dika menepuk pelan kepalaku dengan buku tersebut, lalu memberikannya padaku. "Bercanda. Nih. Makanya jangan pendek-pendek!" bisiknya.
"Kamu yang ketinggian!" desisku. Aku memukul lengannya. Beruntung pukulanku ini tidak menimbulkan bunyi yang keras.
Cowok itu berjalan menuju meja tempatku meletakkan buku-buku yang kuambil sebelumnya. Tangannya membawa dua buku referensi. Sambil menggerutu dalam hati, aku mengekorinya. Kami berdua duduk dalam keheningan, kembali fokus dengan literatur masing-masing. Terkadang, kami mendiskusikan isi bukunya, meskipun pada akhirnya kami berkelahi lagi. Namun kali ini, kami mengatur suara agar tidak ada lagi mahasiswa yang memprotes.
Karena peraturan yang mengatakan bahwa satu kartu mahasiswa hanya bisa meminjam tiga buku, aku dan Dika berdiskusi, buku mana yang paling kami butuhkan dan harus dibawa pulang. Sisanya, kami memotret beberapa bagian yang diperlukan dan mengembalikannya lagi ke rak semula.
Kami keluar perpustakaan sekitar jam setengah empat sore. Karena masih memiliki banyak waktu, aku dan Dika setuju untuk berkeliling ITB terlebih dahulu, melihat gedung-gedung yang mayoritas masih bergaya tradisional. Namun, ada pula beberapa gedung yang bergaya lebih modern, seperti Sekolah Bisnis Managemen yang konon baru berdiri tahun 2003, sehingga bangunannya pun sudah mengikuti zaman.
Hal yang kusukai dari kampus ini adalah udaranya yang sejuk karena dipenuhi banyak pohon-pohon rindang. Di lingkungan kampus pun banyak tersebar kucing-kucing lucu yang berinteraksi dengan mahasiswa.
Sebentar lagi, kami sampai di gerbang ITB yang terletak di depan Jalan Ganesha. Dua pasang tungkai kami bergerak dengan sendirinya menuju gedung yang cukup familier. Ketika mendongak dan melihat sekitar, barulah aku menyadari di mana kedua kakiku berhenti. Dika pun ikut menghentikan langkah, mengamati gedung jurusan bergaya tradisional yang ada di hadapan kami.
"Kalau inget gedung ini rasanya sakit ...." Cowok gondrong itu mendadak curhat dengan suara lirih.
Aku mendongak ke arahnya. Meskipun tersenyum tipis, tetapi emosi Dika cukup sulit dibaca. Aku menangkap sedikit rasa sakit di sana, tetapi binar matanya cerah. Dibandingkan sedih, Dika merasakan emosi lain yang lebih kompleks.
"Gedung FSRD? Kenapa?" tanyaku.
"Dari SMP, aku punya cita-cita pengen kuliah di FSRD ITB, tapi malah berakhir di kampus kita sekarang."
Aku tersenyum, mataku melebar. "Loh, kok sama?"
Dika menoleh ke arahku. Kedua matanya sedikit membola. "Serius, Teh?"
Aku mengangguk sambil nyengir. "Beneran. Kalau aku malah dari SD pengen banget kuliah di sini. Sayang banget, waktu tes keterampilan aku nggak fokus dan salah baca soal. Jadi ... nggak diterima, deh."
Perlahan, Dika tersenyum simpul, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. "Kok bisa sama, ya?"
Aku mengedikkan bahu. "Udah bukan rahasia lagi kalau anak-anak SMA yang ditolak FSRD ITB, ending-nya kuliah kampus kita."
Dika tertawa. Melihat ada bangku taman yang kosong, kami berdua memutuskan untuk diam di sana, mengobrol sambil menikmati angin sore yang sejuk. Dedaunan kering jatuh ke aspal. Mahasiswa jurusan Seni Rupa dan Desain-terlihat dari gaya berpakaian mereka yang stylish, ada juga yang sedikit cuek-berlalu lalang di hadapan kami. Ah, entah mengapa aku merasa sedikit iri pada mereka.
"Tadinya aku mau gap year dan mau nyoba FSRD ITB lagi tahun selanjutnya." Dika mulai bercerita. "Tapi kasihan orang tuaku. Aku anak sulung. Aku harus cepat-cepat lulus supaya ayahku bisa fokus membiayai adik cewekku. Makin cepat aku lulus, beban mereka makin cepat berkurangnya. Aku, 'kan, bisa ngebiayain diriku sendiri nanti setelah bekerja."
Aku mengangguk. Terjawablah sudah mengapa Dika begitu ambisius dengan tugas akhirnya. Mengapa Dika bisa mengoleksi nilai A di mata kuliah studio.
"Kamu menyesal nggak, kuliah di kampus kita sekarang?" tanyaku.
Dika menggeleng. "Sama sekali nggak. Mungkin waktu yang dibutuhin buat move on cukup lama, tapi aku sadar, di mana pun aku berkuliah, toh bakalan sama aja. Sama-sama belajar desain."
"Aku juga nggak nyesel." Aku tersenyum tipis. "Lagian, udah semester akhir. Apa yang harus disesali?"
"Dan kalau nggak kuliah di kampus kita sekarang, aku nggak bakal ketemu sama teman-teman angkatanku yang sekarang." Dika menambahkan. "Mereka itu suportif banget, nggak sikut-sikutan soal akademik."
Sambil melipat tangan di dada, aku mengangguk setuju. Ya, teman-temanku jugalah salah satu faktor yang membuatku semangat berkuliah. Jika lima tahun lalu aku menjadi mahasiswa baru ITB, aku tidak akan bertemu mereka.
Kecuali ... satu orang. Jika saja sejak awal aku bisa melakukan perjanjian dengan Sang Takdir, aku lebih memilih untuk tidak mengenalnya. Dialah orang yang akan membuatmu berani mendaki tebing paling terjal sekali pun, tetapi tidak akan menangkapmu seandainya saja kamu terpeleset dan terjatuh.
Kenangan buruk itu kembali berputar di otakku. Saat itu harapanku terpaksa dikubur sedalam-dalamnya. Aku memilih kabur untuk mengobati diriku sendiri, mengalihkan diri dari luka-luka yang diberikannya. Apakah benar aku tidak sepenuhnya menyesal berkuliah di kampusku sekarang?
Suara jentikkan jari menyadarkanku dari lamunan. Ketika mengedip, Dika menjentikkan jari tengah dan telunjuknya tepat di depan wajahku.
"Teh Mika? Halooo?" serunya.
"Eh?" Aku mengedip beberapa kali, menoleh pada Dika.
"Kok ngelamun? Tadi dengerin aku cerita, nggak?" tanyanya.
"Eh, sori, sori. Aku lagi nggak fokus tadi." Aku tersenyum paksa, berusaha kembali pada Dika dan mengenyahkan memori kelam itu. "Tadi cerita apa?"
"Ya ... gitu deh. Jadi, teman-temanku itu sebenarnya ambisius, tapi mereka nggak pernah saling menikung. Makanya, aku kaget dan marah banget waktu di awal semester Teh Mika nikung aku pakai judul TA yang sama."
"Loh, tapi aku nggak tahu kamu mau ngambil judul itu, dan pada akhirnya Pak Rizal yang nentuin. Bukan salahku, dong?" Aku menaikkan nada bicara.
Dika terkekeh. Dua lesung pipinya membuat cowok itu tampak manis. "Iya, aku tahu kok, Teh. Aku cuma kaget aja."
"Kamu udah nggak masalah lagi soal ini, 'kan? Maksudku ... soal kamu yang harus ganti judul dan-"
"Iya, Teh Mika. Santai aja." Dika mengangguk sambil tersenyum manis. Suaranya lirih.
Mendengar ucapannya, refleks aku tersenyum. Sebenarnya aku sudah menduganya, tetapi mendengar Dika mengucapkannya langsung membuatku lega setengah mati. Beban berat yang tersimpan di hatiku menguap sudah. Aku tidak ingin melewati tahun terakhirku di kampus dengan membenci ataupun dibenci orang lain.
Tiba-tiba, Dika mengarahkan tangannya ke kepalaku dan mencubit beberapa helai rambut. Dengan refleks aku mundur. Kutepis tangan cowok itu.
"Aduh!" serunya.
"Mau ngapain?" ketusku.
"Ada daun di rambut Teteh ...," lirih cowok itu sambil memperlihatkan sehelai kecil daun kering berwarna kecokelatan.
"Eh, sori, sori. Refleks," ucapku kikuk. Ya ampun, Mika, kamu mikir apa, sih?
Dika mendengkus, lalu menyerahkan daun itu dan aku pun menerimanya. "Makanya jangan defensif duluan." Kemudian, cowok itu beranjak dari bangku taman. "Udah sore. Laper, nih. Cari makan, yuk!"
Sebelum aku menjawab, cowok itu sudah beranjak pergi dari bangku taman. Pandanganku menatap kosong punggungnya yang kian menjauh. Aku menunduk, menatap daun yang kupegang di tangan kananku. Tangan kiriku menyentuh pucuk kepala yang sedikit terasa hangat akibat sentuhan cowok itu.
Cuma daun kering, tapi kenapa mendadak jadi menarik banget, ya?
"Ngapain, sih? Buruan! Udah laper banget!"
Mendengar seruannya, dengan segera aku membuang daun di tangan kananku dan beranjak dari bangku taman. "Eh, iya! Tunggu!" seruku.
Aku menoleh ke belakang. Untuk terakhir kalinya, aku menatap gedung FSRD ITB, fakultas yang sempat menjadi cinta pertamaku dalam pendidikan. Selanjutnya, kugerakan kedua tungkai cepat untuk menyusul cowok itu.
Ketika langkah kami sudah sejajar, aku bertanya, "Emangnya mau nyari makan di mana?"
"Dipatiukur aja, yuk! Biar deket dari ITB." Cowok itu tersenyum.
"Harus naik Go-jek lagi, dong? Kenapa nggak ke Gelap Nyawang aja? Deket tinggal jalan."
"Teh Mika nebeng motor aku aja. Nggak apa-apa nggak pakai helm, aku tahu jalan tikus."
Aku mendesah pelan. "Iya, iya. Lagian mau makan apa sih di sana?"
"Dimsum? Ayam geprek? Seafood?"
Aku mengangguk setuju. "Seafood boleh, tuh."
"Siiip!"
Aku berjalan bersama Dika ke parkiran motor. Sejurus kemudian, aku sudah berada di jok belakang Vespa LX 125 berwarna putih milik cowok itu, membelah jalanan Kota Bandung yang padat merayap.
Kurasa sekarang aku sudah resmi berubah status menjadi 'temannya Dika'. Maksudku, teman yang hangout di luar kampus dan di luar jam perkuliahan. Iya, 'kan?
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
13 Februari 2023
*****
Wiwiwiiii Zarfan punya saingan ternyata~
Gimana? Sampai di sini kalian tim Zarfan-Mika atau Dika-Mika, nih?
Minggu ini aku mau coba up satu part dulu, ya. Berhubung part ini lumayan panjang. Minggu depan tetap update part selanjutnya, kok. Jadi kalian nggak perlu khawatir bakalan nunggu.
Sampai jumpa minggu depan. Thank you buat yang udah mampir dan comment banyak-banyak💖
*****
Kamus Sunda Kapan Lulus
Eh, kamana wae maneh? = Ke mana aja kamu? (Semacam basa-basi kayak 'apa kabar?')
Didieu wae urang mah = Di sini aja (mengisyaratkan dia nggak ke mana-mana, atau hidupnya ya emang gini-gini aja. LOL)
Urang = 'Aku' dalam bahasa Sunda netral, tidak kasar ataupun halus
Saha ieu? Kabogoh? = Siapa nih? Pacar?
Lain. Babaturan = Bukan. Temen
Geulis, euy = Cantik, nih
Nuhun = Makasih
Punten = Maaf
Hereuy = Bercanda
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro