Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Tujuh

Setelah berganti pakaian menjadi lebih tertutup dan mengenakan jaket, aku berlari keluar kamar, lalu menuruni tangga menuju pekarangan kost. Benar saja ada Dika di sana. Cowok itu bersandar pada Vespa LX 125 putihnya sambil bermain ponsel. Kali ini dia mengenakan jeans panjang dan hoodie berwarna navy. Ia menoleh ketika aku membuka gerbang kost.

Aku mematung di depan pagar, tidak tahu bagaimana harus bereaksi atas kedatangannya. 'Kamu ngapain ke sini?' adalah respons yang wajar, tetapi jika salah mengeluarkan intonasi, aku akan terlihat ketus dan tidak senang dengan kedatangannya. Ah, tunggu. Memangnya aku senang jika cowok itu datang? Mika, sadar! Cowok ini sudah menghancurkan hidupmu sejak hari pertama Pra TA!

Dika mengambil helm bogo berwarna hitam di bagasi motornya dan menyodorkannya padaku. "Pakai, nih!"

"Hah?" Aku mengernyit.

"Udah, pakai aja!" perintahnya.

Meskipun ragu aku berjalan mendekat, kemudian menerima dan memakaikan helm itu di kepalaku. Kemudian Dika mendaratkan bokongnya di jok kemudi dan menelengkan kepala ke arah jok penumpang. "Naik!"

"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku sambil meraba-raba saku jaket dan celana. "Bentar, aku nggak bawa dompet."

"Nggak usah. Kita nggak akan ke mal kok. Ikut aja dulu." Saat itu, barulah Dika tersenyum. Cowok itu memindai ujung kepalaku hingga ujung kaki. "Udah hangat, sih, pakai jaket sama celana jeans. Tapi kayaknya mending pakai sepatu. Diganti aja sendalnya, Teh!"

"Emang kita mau ke mana?"

"Ke tempat yang seru. Masih rahasia!" ujarnya ceria.

Aku menurut saja. Sejurus kemudian, kami sudah berkendara keluar komplek perumahan di mana kostku berada. Sejujurnya, aku tidak bisa menebak ke mana Dika akan membawaku. Bertanya pun aku masih merasa canggung. Sekarang baru jam empat sore, tidak hujan pula, seharusnya cuaca Bandung masih hangat. Namun, mengapa cowok itu menyuruhku mengenakan pakaian tebal dan sepatu?

Motor yang kami kendarai menuju ke arah kampus. Dari jauh, aku bisa melihat masih banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar sana, baik berdiam di warung-warung makan, menunggu transportasi umum, maupun berjalan di trotoar. Namun, dugaanku salah. Motor Dika terus melesat maju melewati gedung itu hingga sampai di Jalan P.H.H. Mustofa. Saat itu, jalanan besar Kota Bandung itu cukup dipenuhi kendaraan.

Motor Dika berbelok ke Jalan Padasuka. Jalanan ini menanjak. Ada beberapa mobil dan motor yang melintas meskipun tidak seramai jalan raya. Setelah melewati Saung Angklung Udjo, jalanan ini semakin terlihat sepi, hanya terlihat rumah-rumah kecil.

Motor Dika terus melaju tanpa berbelok sekali pun. Lama-lama, semakin jarang kendaraan yang melintas. Rerumputan dan pepohonan mulai mendominasi kanan kiri jalan. Berhubung jalan ini terus menanjak, kini aku bisa melihat pemandangan Kota Bandung dari atas sini. Atap-atap rumah dan gedung terasa mengecil, ada bukit dan sawah yang keseluruhannya berwarna hijau. Semakin tinggi posisi kami, temperatur pun mulai menurun. Meskipun tubuhku tertutup jaket, tetapi aku masih bisa merasakan embusan angin dingin menerpa wajah.

Di satu titik, aku benar-benar tidak melihat seorang pun di jalan ini. Terlebih lagi sekarang sudah hampir jam lima sore. Refleks, aku memukul bahu cowok itu dan berseru, "Kamu mau bawa aku ke mana? GPS-ku nyala, loh! Kalau kamu nyulik aku, Runa bakalan tahu! Orang tuaku bakalan tahu!"

Dika tertawa. "Ngapain aku nyulik Teteh? Nggak ada untungnya!"

"Terus, sekarang kita mau ke mana? Jalanannya sepi kayak gini. Jangan aneh-aneh kamu!" balasku.

"Lima menit lagi sampai. Tunggu aja." Suaranya agak merendah. Meskipun melirik spion, tetap saja aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya. Menyebalkan!

Tiba-tiba, Dika berbelok dan parkir di sebuah lahan kosong yang cukup luas. Saat itu, aku melihat ada satu mobil Avanza dan tiga motor matic yang juga parkir di sini. Setelah meletakkan helm, Dika memintaku untuk mengikutinya melintasi jalanan setapak berlapis paving block. Di sebelah kiriku terdapat hutan pinus yang menjulang tinggi, sementara di kananku terhampar sawah luas yang membentuk sengkedan.

"Hati-hati turun tangganya, Teh. Jalannya agak curam," ucapnya. Aku menurut saja. Sepertinya Dika tahu sejak tadi atensiku hanya tertuju pada pemandangan sekitar, sama sekali tidak fokus pada jalan di bawah kakiku.

Di ujung jalan, terdapat lahan kosong yang baru kusadari adalah sebuah tebing. Di ujungnya terdapat batang kayu berdiameter besar yang dijadikan kursi dan meja. Jika duduk di sana, akan terlihat pemandangan Kota Bandung tiga ratus enam puluh derajat. Ada dua grup yang menempati bangku. Pertama adalah pasutri muda dengan dua orang anak dan muda-mudi yang sepertinya adalah pasangan.

"Kita ada di mana, sih?" tanyaku pada Dika, membuat cowok itu berhenti berjalan.

"Ah, iya juga. Aku belum ngasih tahu, ya?" Cowok itu menepuk dahi. "Ini namanya Bukit Moko. Katanya, ini puncak tertinggi di Bandung."

"Bohong! Ini jelas-jelas bukan Bandung! Ini di atas gunung!" protesku.

"Masih Bandung, kok, tapi Kabupaten." Dika nyengir. "Mau makan dulu atau mau lihat sunset di ujung tebing?"

"Hah?" Aku membelalak. Jadi Dika mengajakku ke sini untuk melihat sunset? Memangnya hubungan kami sudah sejauh itu sampai-sampai harus melihat sunset berdua? "Makan dulu aja, deh!"

Adik tingkatku itu mencebik. "Yah, padahal aku nunggu-nunggu sunset-nya."

Cowok itu membawaku ke warung makan kecil yang mayoritas bangunannya terbuat dari anyaman bambu, kayu, dan batu bata tanpa acian. Tempat ini tidak terdiri dari meja dan kursi, melainkan dibagi ke dalam beberapa bilik dengan satu meja lesehan di tengahnya. Karpet anyaman terhampar di lantainya.

Setelah berbicara menggunakan bahasa Sunda dengan salah satu karyawan, Dika menempati salah satu bilik dan aku mengikutinya. Setelah melihat-lihat menu, kami setuju memesan mi kuah, nasi goreng, teh manis hangat, dan susu cokelat. Tidak sampai dua puluh menit, seluruhnya sudah habis dilahap.

Aku merangkak menuju tepi bilik yang sisi-sisinya diberi partisi anyaman bambu setinggi dada anak kecil. Berhubung duduk lesehan, kami tidak perlu khawatir terjatuh dari tebing. Di hadapanku terhampar sawah yang begitu asri. Hutan pinus pun masih terlihat menjulang. Jauh berkilo-kilo meter jaraknya, Kota Bandung di malam hari pun tampak indah. Langit telah menggelap, semua orang di kota mulai menyalakan lampu, membuatnya seperti bintang-bintang yang berkilauan di daratan.

Dika merangkak ke sampingku, lalu duduk bersila sambil menopang kedua tangan di partisi anyaman. "Gimana? Cantik banget, 'kan?" tanyanya.

"Iya! Sunset-nya nggak kelihatan, tapi ternyata view malam Kota Bandung cantik banget dari sini!" ujarku bersemangat.

"Teteh belum pernah ke sini, ya?"

Aku menoleh dan mengangguk. "Maklum, belum sampai lima tahun aku menetap di Bandung."

"Emangnya Teteh asal mana?"

"Bogor," balasku. "Di sana ada Puncak, sih, tapi aku nggak nyangka Bandung juga punya tempat kayak gini."

"Kampus kita yang mana, ya?" Lalu, cowok itu menunjuk ke satu arah di kejauhan. "Kayaknya di daerah sana, deh."

Aku tertawa lepas sambil memukul lengannya. "Sok tahu banget! Dari jarak sejauh ini mana kelihatan!"

"Nggak percaya? Ya sudah, kita buktiin pakai kompas!" balas Dika sewot. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku hoodie.

"Kamu bisa baca kompas, nggak?"

"Nggak."

Lalu kami tertawa bersama-sama. Setelahnya, perdebatan berlanjut. Kami membicarakan di mana letak Alun Alun Bandung, Cihampelas Walk, dan tempat-tempat umum lainnya. Dika juga menceritakan pengalamannya menjelajahi hutan pinus di sore hari bersama Tablo dan teman-temannya. Dibandingkan kisah mistis, rupanya lebih banyak kisah yang mengundang gelak tawa, sampai-sampai perutku yang dipenuhi nasi goreng dan teh manis terasa sakit.

Kini, langit Bandung sudah menggelap secara keseluruhan. Obrolan pun terhenti dan kami berdiam diri sejenak. Terdengar suara tonggeret dari arah hutan pinus. Sambil menopang pipi, aku masih memandang lurus di kejauhan meskipun tidak ada hal spesifik yang menarik perhatianku. Di saat hening, atmosfer kembali canggung.

"Teh."

"Iya?"

Dika diam sejenak sebelum melanjutkan. "Maafin aku, ya."

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

25 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro