Dua Puluh Sembilan
Pagi-pagi sekali, aku menyalakan laptop dan membuka file Tugas Akhir yang sudah kutelantarkan lebih dari dua minggu. Aplikasi SketchUp di layar menampilkan tembok-tembok bangunan hotel yang seluruhnya masih berwarna putih. Masih sedikit sekali furnitur yang tersusun di sana. Dari total dua belas lantai, bahkan tiga lantai pertama pun belum selesai kudesain, sedangkan sidang kedua tinggal tiga belas hari lagi.
Melihatnya saja membuatku frustrasi setengah mati. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Memang, di sidang kedua, tidak perlu semua area bangunan selesai dibuat dalam bentuk tiga dimensi. Namun, tetap saja aku harus mengejar ketinggalan dan mulai menyusun strategi agar ruangan-ruangan penting bisa selesai didesain di sidang keempat. Beberapa di antaranya adalah semua tipe kamar, lobi, ruang serbaguna, dan restoran. Aku sudah telanjur berjanji dengan Dika dan Pak Rizal untuk bimbingan esok hari. Mau tidak mau, aku harus mulai mengerjakan.
Aku mengusap-usap wajah kasar. Setelah mengingat sisa waktu yang kupunya sebelum sidang kedua, kepalaku dilanda pikiran-pikiran buruk. Apakah aku bisa menampilkan hasil yang layak dengan waktu sesempit ini? Di sidang pertama, banyak sekali target-target yang tidak kucapai, membuat kecewa Pak Rizal dan mengundang hujatan para dosen penguji. Lalu, bagaimana dengan sidang kedua? Tentu target yang harus kucapai pun bertambah dua kali lipat. Mengingat hal itu, minat mengerjakan Tugas Akhir pun menurun drastis.
Aku melirik ponsel yang tergeletak di samping laptop. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi dan kolom notifikasinya kosong. Dua bulan lalu, notifikasi ponselku masih dipenuhi oleh Zarfan. Biasanya, cowok itu akan menanyakan progres Tugas Akhirku dan menawarkan bantuan sebisanya. Ya, itulah yang membuatku tenang setiap kali waktu tenggat semakin dekat. Karena tanpa berusaha keras pun, tugas-tugasku selalu selesai berkat Zarfan.
Namun, kini kami seperti orang asing. Sudah dua bulan kami tidak saling bertukar kabar. Kadang, aku berpikir bahwa menolaknya adalah keputusan yang buruk. Maksudku, inikah balasan yang Zarfan terima setelah membantuku sepanjang semester? Cowok itu bisa saja fokus pada pendaftaran pascasarjananya, atau mencari pekerjaan untuk mengisi kekosongan. Namun, Zarfan lebih memilih untuk membuang-buang waktu berharganya demi seorang cewek yang bahkan tidak tahu caranya berterima kasih.
Ah, mengapa harus aku? Aku tidak pantas menerima semua kebaikannya.
Tiba-tiba, dadaku terasa sesak. Tanpa sadar air mataku menetes. Berminggu-minggu tanpa Zarfan, seperti ada bagian kecil dari diriku yang hilang, sedangkan aku sudah menggenggam bagian kecil itu sejak lima tahun lalu. Berkat hal kecil itu, hari-hariku selalu dihiasi oleh senyuman. Itulah salah satu alasanku untuk bangun di pagi hari dan semangat menjalani siksaan neraka yang dinamakan kuliah.
Namun, kini alasan itu telah lenyap seperti lilin yang dipadamkan. Cahaya di sekitarku pergi, membuat hari-hariku terasa begitu gelap. Untuk kedua kalinya, Zarfan pergi dari hidupku.
Aku memejamkan mata, menarik napas dan membuangnya perlahan. Kuseka air mata di pipi. "Nggak, Mika. Kamu nggak boleh kayak gini terus ...." Aku bermonolog. Ya, aku harus kembali fokus!
Ketika atensiku kembali pada layar laptop, lagi-lagi pikiranku diselimuti kabut tebal. Pasalnya, aku harus mendesain hotel bintang empat dengan konsep yang baru. Data-data yang diberikan Zarfan, seperti blueprint hotel Grand Atlantica, kini sudah tidak bisa dijadikan acuan untuk mendesain. Awalnya, aku berniat untuk menyontek dan memodifikasinya saja.
"Gimana caranya aku bisa ngedesain hotel yang bagus dalam waktu sesingkat ini?" gumamku sambil menggigit kuku ibu jari.
Lalu, kubuka Chrome dan masuk ke laman Pinterest. Kuketik kata kunci yang menjadi konsep dari desain hotelku, aku menggulir tetikus dan mencari gambar-gambar interior yang kusukai.
"Nyontek dari Pinterest aja kali, ya? Yang penting besok bisa bimbingan?"
*****
Malam sebelumnya, aku berhasil mendesain beberapa bagian bangunan hotel dan siang ini, aku sudah berdiri tepat di depan ruang dosen. Di dalam, Pak Rizal sudah menunggu progresku setelah dua minggu lenyap tanpa kabar. Memikirkan bagaimana respons beliau membuatku enggan untuk menemunya. Melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam ruangan pun rasanya sulit.
"Kenapa nggak masuk, Teh?" tanya Dika yang berdiri di sampingku.
"Emmm ...." Aku mendongak menatapnya, kemudian membuang muka sambil menggeleng. "Kamu duluan, deh."
"Loh? Biasanya Teteh yang ngotot pengen bimbingan duluan. Ada apa, sih?"
Meskipun ragu, aku kembali menatap cowok itu. "Pak Rizal nggak bakalan ngomelin aku, 'kan?"
Di luar dugaan, Dika tertawa. "Ya nggak, lah. Dikira Pak Rizal itu guru SD yang muridnya nggak ngerjain PR?"
"Tapi aku udah ngilang nggak bimbingan hampir dua minggu."
"Sorry to say nih, Teh, tapi dosbing biasanya nggak sepeduli itu sama mahasiswanya."
Aku mengernyit. "Loh, kok gitu?"
Dika menggaruk tengkuknya. "Maksudku, dosbing itu cuma fasilitator. Kalau kita mau rajin, mau lulus cepet, ya mereka ngebimbing kita. Kalau nggak, ya sudah. Mereka punya urusan lain yang lebih penting, nggak mungkin punya tenaga buat marahin kita. Kita dianggap udah dewasa dan dianggap bisa bertanggung jawab." Kemudian cowok itu menarik tote bag yang tersampir di bahuku dan membawaku masuk. "Udah, kalau mau bimbingan ya bimbingan, kalau nggak ya pulang!"
Aku merengut. Dih, jahat banget!
Dengan ragu aku berjalan mengikuti Dika menuju meja kerja Pak Rizal. Pria itu sedang meneguk minuman di cangkir sambil memainkan ponsel. Ketika kami mendekat, pria itu mendongak dan mengibaskan tangannya. "Sini, sini, duduk!"
Aku mengambil posisi duduk di seberang pria itu, begitu pula Dika. Jantungku berdegup kencang. Ada rasa canggung berhadapan dengan Pak Rizal, mengingat aku mengacaukan sidang pertama, mempermalukannya sebagai dosen pembimbing, dan menghilang selama dua minggu.
"Ke mana aja, Mika?" Pria itu basa basi.
Secepat kilat aku mengarang alasan. "Emmm ... kemarin sakit, Pak." Ya, sebenarnya itu tidak salah, meskipun gastritis yang kuderita tidak sampai dua minggu.
"Ya sudah. Coba kita bahas progres kamu udah sampai mana." Pria itu tersenyum.
Selama lima belas menit ke depan, Pak Rizal sibuk berkutat dengan SketchUp di laptopku dan mencorat-coret denah bangunan hotel yang sudah kucetak di atas kertas A2. Dika yang menapat giliran bimbingan setelahku tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari ponsel.
Pak Rizal melingkari area kamar mandi di denah kamar hotel yang kubuat. "Buat kamar tipe standard, kamu pakai shower?"
"Eh?" Aku berkedip dua kali dan mengikuti ke mana tangan Pak Rizal bergerak. "Itu ... iya, pak. Soalnya harganya relatif murah. Kalau di tipe deluxe dan family suite saya tambah bathtub."
"Ini pintu partisi shower-nya bakalan nabrak ke kloset duduk. Kenapa nggak pakai sliding door aja? Ada shower pabrikan yang sudah jadi, loh, nggak perlu di-custom. Terus, kamu nggak menurunkan leveling lantai shower-nya? Nanti airnya banjir ke area kering," ujar Pak Rizal. "Kamu, kan, berkali-kali ngedesain kamar mandi. Dari matkul Studio I sampai V. Yang begini, kok, bisa kelewat?"
"Oh ... iya, Pak. Maaf, saya lupa."
"Ini juga, penataan furniturnya masih belum nyaman." Pak Rizal melingkari sejumlah area kosong antara ranjang king size dengan sofa. "Space-nya kekecilan, loh. Kalau nggak bisa di-relayout lagi, ganti aja ranjangnya sama queen size."
"Iya, Pak. Nanti saya perbaiki." Aku membalas lirih sambil menggigit bibir. Badanku terasa lemas. Tuh, kan! Salah lagi!
Kemudian Pak Rizal mendongak menatapku. "Mika, kalau menginap, yang dicari orang-orang adalah experience dan kenyamanan. Hal-hal kecil kayak gini bisa berakibat fatal buat reputasi hotelnya, loh." Pria itu kemudian menunjuk layar laptopku yang menampilkan desain tiga dimensi dari kamar hotel tersebut. "Secara estetika, kamar yang kamu desain ini bagus dan sesuai dengan konsep hotelnya, tapi kamu juga harus memerhatikan fungsi dari ruangan itu sendiri, ya. Apakah akan berfungsi dengan baik atau tidak. Sepulang bimbingan coba buka-buka lagi catatan kamu tentang antropometri, ya."
Aku mengangguk lemah. "Iya, Pak, maaf ...."
Pria itu tersenyum tipis dan berbicara lembut. "Iya. Bimbingan selanjutnya saya tunggu revisinya, ya."
Suasana hatiku memburuk. Selain kamar mandi, Pak Rizal pun mengoreksi beberapa tipe kamar yang lain, lalu restoran dan ruang serbaguna. Lagi-lagi hal yang sama, masalah teknis. Karena panik, tadi malam aku menyontek mentah-mentah desain dari gambar interior di Pinterest tanpa memerhatikan teknis-teknis desainnya. Aku hanya ingin hotel bintang empatku cepat rampung, tetapi desainku yang masih asal-asalan ternyata tidak luput dari mata dosen pembimbingku yang begitu teliti.
Selama lebih dari setengah jam bimbingan, revisi demi revisi pun kuterima, sampai-sampai wajah Pak Rizal terlihat lelah. Berbeda ketika pria itu memeriksa progres Tugas Akhirnya Dika. Wajahnya lebih rileks dan santai. Tentu, cowok itu pun menerima kritik dan harus merevisi desainnya, tetapi tidak sebanyak milikku.
Apakah seharusnya aku tidak perlu bimbingan saja siang ini? Aku sudah menduga desain yang kubuat jauh dari kata sempurna, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Dika. Namun, tetap saja aku tidak terbiasa dengan itu. Rasanya tidak adil! Mengapa aku selalu menjadi bayangan, sedangkan cowok itu selalu bersinar? Rasanya dadaku kembali sesak. Semangatku untuk meraih gelar sarjana kembali menurun.
Dengan lesu, aku keluar dari ruang dosen dan melangkah pelan di tengah lorong gedung FSRD. Dika menyusul di belakangku. Tinggal dua belas hari lagi. Bisa nggak, ya?
"Teteh udah makan?" tanya Dika yang berjalan di sampingku.
"Udah," balasku dingin.
"Oh, ya sudah. Tadinya mau ngajak ke kafetaria." Lalu cowok itu berhenti. Kini, kami berdiri tepat di depan tangga lantai dua. "Teteh mau ke mana abis ini?"
"Mau pulang aja. Aku capek banget," balasku ketus. Ah, Dika, kan, nggak salah apa-apa. Kenapa aku harus ngejutekin dia?
Dika diam menatapku selama beberapa detik. Kemudian ia mengembuskan napas panjang sambil tersenyum. "Ya sudah kalau kayak gitu. Aku ke ruang himpunan, ya?"
"Hm," balasku singkat.
Yang kutahu, detik selanjutnya Dika sudah berbalik badan dan melangkah menuju ruang himpunan. Ketika cowok itu sudah berbelok di persimpangan, aku menunduk dan mengembuskan napas panjang.
Lelah bercampur dengan perasaan bersalah. Ya, aku benci diriku sendiri yang tidak pernah melakukan apa pun dengan benar. Namun, aku lebih membenci diriku yang melampiaskan rasa rendah diriku pada orang lain. Kalau begini, apa bedanya aku dengan Selena?
Terdengar samar-samar percakapan yang diucapkan oleh beberapa cewek. Suara-suara itu semakin terdengar jelas setiap detiknya. Dengan refleks aku menoleh ke sumber suara. Di tangga menuju lantai dua, aku melihat dua adik tingkat yang tidak kukenal sedang melangkah naik. Keduanya memegang minuman dalam gelas plastik dan saling berhadapan ketika mengobrol. Beberapa anak tangga sebelum sampai di lantai dua, keduanya mendongak ke depan. Pandangan mereka bertemu denganku.
Saat itu pula aku baru menyadari ada sosok lain di belakangnya. Pandangaku pun bertemu dengan seorang cewek cantik berambut panjang yang begitu familier. Panjang umur. Selena ada bersama mereka. Ketika cewek itu berjalan semakin dekat, ia sekilas melirikku, kemudian kembali mengobrol bersama teman-temannya tanpa ada niat untuk menyapaku.
Ah, apa yang kuharapkan, sih? Aku dan Selena nggak akan bisa balik lagi kayak dulu.
Dengan tangan terkepal dan emosi membuncah, aku berjalan cepat menuruni tangga, tidak peduli jika harus berpapasan dengan mereka karena itu satu-satunya jalan menuju lantai satu dan pintu keluar gedung FSRD. Kupercepat langkah seiring dengan kemarahanku yang kian membesar. Napasku memburu, jantungku bertalu. Aku benar-benar muak dengan semuanya. Memang benar seharusnya aku tidak perlu menginjakkan kaki ke kampus hari ini!
Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
29 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro