Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Delapan

"Terkadang, label kayak 'bodoh', 'orang biasa', atau 'nggak mampu', justru bikin kita beneran nggak mampu mencapai semua target itu. Kita jadi nggak sadar ada potensi yang terkubur dalam diri."

*****

"Teh."

"Iya?"

Dika diam sejenak sebelum melanjutkan. "Maafin aku, ya."

Mendadak seperti ada pukulan keras di dadaku. Jantungku berdebar lebih cepat. Aku menoleh ke arah Dika yang menatapku berbeda dari lima menit sebelumnya. Binar di matanya meredup. Di sana, aku melihat penyesalan yang begitu dalam. Cowok itu menunggu responsku, tetapi aku tidak tahu harus membalas seperti apa.

"Aduh, sori, jadi canggung lagi ya, suasananya?" Dika menggaruk kepala belakangnya. "Aku sengaja ngajak Teteh ke sini supaya mood-nya bisa 'cerahan' dikit."

"Maaf kenapa?"

"Aku ngebentak Teteh waktu itu, bilang nggak mau peduli lagi," balasnya. "Aku lagi emosi waktu itu. Omonganku nggak sungguh-sungguh, kok."

Aku memutar posisi duduk ke arahnya, lalu menekuk lutut dan memeluk kedua kakiku. "Nggak apa-apa. Aku juga keterlaluan waktu itu," lirihku.

"Masih ada yang mengganjal nggak, sampai-sampai Teteh nggak pernah kelihatan bimbingan lagi di kampus?"

Aku tidak menjawab langsung, masih berusaha mencerna maksud perkataannya. "Kenapa kamu peduli? Kamu disuruh Pak Rizal buat nanya gara-gara aku udah nggak pernah bimbingan?"

"Nggak disuruh." Dika menunduk, mendesah pelan dan mengalihkan pandangan dariku. "Aku dengar dari Pak Rizal, sidang pertama Teteh nggak lancar, ya? Jadi, aku cuma mau ngecek keadaan Teteh aja dan pengen minta maaf."

"Soal kamu, sih, santai aja. Aku udah maafin, kok." Aku menempelkan dagu ke lutut. "Tapi ... semangatku buat lulus tiba-tiba menguap."

"Apa karena omongan cewek-cewek di kelas waktu awal semester?"

Aku mendongak ke arahnya sambil membelalak. "Mereka ngomong apa?"

Lagi-lagi Dika menggaruk kepala belakangnya sebelum menjawab. "Sebenarnya ... aku juga jadi bahan obrolan anak-anak beberapa minggu kemarin. Tablo yang cerita. Perkelahianku sama Kang Zarfan udah menyebar. Teteh juga kena dampaknya. Ada yang bikin gosip kami bertengkar gara-gara Teteh. Padahal, aku udah minta Tablo dan cowok-cowok lain buat ngerahasiain apa yang terjadi di Taman Kafetaria, tapi beritanya tetap bocor. Kukira Teteh udah tahu semua ini, makanya aku datang ke kost buat ngecek keadaan Teteh."

Tanpa sadar pandanganku memburam. Dadaku pun terasa sesak. Aku memalingkan pandangan ke arah hutan pinus agar Dika tidak melihat mataku yang berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku menahan tangis, tetapi cerita cowok itu membuatku hatiku terasa seperti diremas kuat-kuat. Tanganku terkepal. Nggak adil! Mereka yang bisanya cuma ngegosip doang, nggak tahu kejadian yang sebenarnya!

"Aku ... mau mutusin ambil kerjaan freelance buat nambah-nambah biaya UKT. Kayaknya aku mau lanjut TA semester depan aja," lirihku dengan suara yang pecah.

Dika membelalak. "Teteh mau nunda TA lagi? Kita cuma harus ngelewatin tiga sidang lagi, loh! Teteh udah lebih dari setengah jalan supaya bisa lulus–"

"Kamu nggak ngerti!" bentakku. "Aku udah nggak punya muka buat berhadapan sama Selena! Kamu tahu kalau dia mantannya Zarfan, 'kan?"

Dika menganga, terlihat syok akibat ucapanku. Lalu, pemuda itu tertawa remeh dan menjawab, "Selena nggak akan setoksik itu musuhin Teteh gara-gara mantannya suka sama Teteh! Lagian, Teteh, 'kan, udah akrab sama Kang Zarfan dari dulu!"

"Terus, menurut kamu siapa yang bikin gosip itu? Udah pasti Selena! Dia baca kartu pernyataan cinta Zarfan! Kamu nggak tahu segimana jahatnya cewek kalau udah berurusan dengan cinta?" Aku terengah-engah. Tangisku pun pecah.

"Tapi sekarang gosipnya udah mereda!"

"Oke, terus, sekarang udah empat belas hari sebelum sidang kedua. Kamu pikir aku bisa menyusul ketinggalan?"

"Teteh nggak akan tahu kalau nggak nyoba."

"Nggak, Dika! Aku nggak bisa!" bentakku. "Aku dapat nilai B waktu Pra TA, semuanya karena dibantu Zarfan dan Runa! Aku udah berusaha semaksimal mungkin ngejar target sendirian sepuluh hari sebelum sidang TA, dan hasilnya tetap mengecewakan! Aku nggak sepintar kamu, Dik! Aku harus berpikir keras buat dapetin semua ide-ide itu, beda sama kamu yang pada dasarnya udah kreatif! Kamu nggak pernah kesulitan setiap kali bimbingan sama Pak Rizal. Sekarang, Zarfan nggak mau lagi bicara sama aku. Aku pun nggak bisa mengandalkan Runa terus-terusan. Aku bukan apa-apa tanpa mereka, Dik, aku ...." Suaraku semakin pelan karena tercekat.

"Aku nggak bisa jadi sebrilian kamu. Kamu nggak akan ngerti gimana rasanya jadi orang biasa di antara orang-orang luar biasa ...." Suaraku perlahan-lahan menghilang.

Rasa malu pun sudah kuterabas. Aku menutup wajah dengan kedua tangan agar Dika tidak bisa melihatku menangis. Hening, tidak terdengar apa pun selain nyanyian tonggeret dan tangisanku. Dika tidak merespons apa pun. Wajar saja jika ia jijik dengan sikapku yang begitu kekanak-kanakan, menjadikan orang lain sebagai alasan dari kegagalanku. Dadaku terasa semakin sesak. Namun, cowok yang terlahir brilian tidak akan mengerti tekanan yang kurasakan.

Tiba-tiba, telapak tanganku merasakan sentuhan hangat. Ada seberkas cahaya menembus celah di tengah kegelapan. Lama kelamaan, celah itu melebar. Aku bisa melihat Dika pelan-pelan menarik kedua tanganku. Cowok itu tidak menatapku jijik. Sebaliknya, itu tatapan paling bersahabat yang pernah kulihat. Dengan kedua jempolnya, cowok itu mengusap air mata di pipiku. Lalu, ia meringsut mendekat.

"Aku tahu banget kayak gimana rasanya ...," lirih cowok itu.

"Nggak usah basa-basi buat ngehibur aku!" balasku sewot.

"Nggak, serius, aku tahu," balasnya serius. "Aku udah pernah cerita, 'kan, kalau dulu aku ketua geng yang hobinya berkelahi?"

Aku bungkam, masih menatap sepasang iris cokelat tuanya sambil menunggu cowok itu melanjutkan.

"Semua orang ngeremehin aku waktu tahu FSRD ITB adalah fakultas impianku." Dika bercerita sambil mengusap-usap pipiku yang basah. "Nilaiku nggak jelek-jelek amat waktu SMA. Ya ... ranking dua puluh besar, sih, masih masuk. Tapi aku hobi bolos dan berantem sama murid SMA sebelah. Semua orang memandangku rendah, sampai label 'anak bodoh dan nakal' melekat di otakku. Aku benar-benar menganggap diriku terlalu bodoh dan nakal buat masuk ITB.

"Tapi ... ngelihat semua orang ngeremehin aku, bahkan teman-temanku, guru BK di sekolahku, lama-lama bikin aku muak. Akhirnya kelas dua belas, aku keluar dari geng dan mulai belajar dari awal."

"Kamu ... keluar dari geng?" tanyaku sambil mengusap air mata. "Kamu, 'kan, ketuanya?"

"Iya. Aku sempat dicap pengkhianat, diperlakukan kayak sampah. Teman-teman gengku pergi, tapi mau gimana lagi? Toh, ITB dan masa depanku lebih penting. Aku masih bisa cari teman lain."

Aku tertegun. Hanya Selena dan Zarfan yang pergi meninggalkanku, tetapi aku sudah merasa hancur sehancur-hancurnya. Sedangkan Dika? Mungkin ia tidak punya support system lain selain teman gengnya, sedangkan aku beruntung masih punya Aruna. Bagaimana bisa cowok itu kuat berdiri di atas kaki sendiri?

"Susah, nggak?" tanyaku pelan. "Maksudku ... ninggalin temen-temen kamu dan mulai dari awal?"

"Susah banget. Ada kalanya aku ngerasa benar-benar sendirian, tapi ya sudah, life goes on. Buat mulai belajar pun susah. Apalagi, teman-teman les gambarku yang mau masuk FSRD ITB semuanya pintar-pintar." Dika terkekeh. "Akhirnya ... tetap ditolak ITB, sih, padahal udah ikut bimbel dan les gambar sekaligus. Tapi ... aku senang udah berhasil bikin portfolio yang bikin guru lesku terkesan. Aku juga nggak nyesel bisa jadi mahasiswa Desain Interior di kampus kita."

Perlahan, senyumku mengembang.

"Terkadang, label kayak 'bodoh', 'orang biasa', atau 'nggak mampu', justru bikin kita beneran nggak mampu mencapai semua target itu. Kita jadi nggak sadar ada potensi yang terkubur dalam diri." Dika menutup ceritanya. "Coba Teteh ingat-ingat pujian akademik terakhir yang Teteh terima. Teteh harus memvalidaasi pujian itu, ya. Jangan disangkal."

Perkataan terakhir Dika menyentuh hatiku. Air mataku kembali mengalir, tetapi kini rasa haru dan bangga yang meluap. Adik tingkatku itu benar. Sudah terlalu lama label 'nggak kreatif' bersarang di otakku, memanipulasiku untuk berpikir bahwa aku tidak akan mampu untuk menjadi luar biasa seperti Zarfan ataupun Dika.

Meskipun sebagian Pra Tugas Akhirku bisa selesai atas bantuan Zarfan dan Aruna, tetapi yang terakhir mengeksekusinya adalah diriku. Apakah ini bagus, apakah ini baik, semua adalah keputusanku sendiri. Dari keputusan-keputusan kreatif itu, aku berhasil membuat Pak Rizal terkesan. Nilai B yang kudapatkan pun pada akhirnya adalah hasil kerja kerasku.

"Kinerja kamu bagus banget loh, Mik."

Ketika mengingat pujian yang Kak Amanda berikan saat magang, hatiku menjadi semakin hangat. Terlebih lagi semua proyek lepas yang pernah kukerjakan selalu berakhir memuaskan. Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, berusaha memvalidasi pujian itu. Bagaikan antivirus, aku harus memusnahkan label 'nggak kreatif' atau 'nggak mampu' selamanya dari otakku.

"Kalau ngerasa nggak mampu dan pengen menyerah, ingat-ingat kalau Teteh nggak sendirian. Kita semua berjuang sama kerasnya buat meraih gelar sarjana. Kalau Teteh menganggapku selalu kreatif, jawabannya salah. Teteh nggak tahu seberapa banyak tempat yang udah kukunjungi, berapa lama aku berselancar di Google dan Pinterest, juga berapa orang yang kumintai pendapat supaya bisa menghasilkan ide-ide kreatif buat desainku," ujar Dika.

Ah, selama ini aku hanya mengetahui luarnya saja. Cowok itu terlihat santai dan selalu memiliki ide-ide cemerlang, tetapi aku tidak tahu bagaimana perjuangannya di balik layar.

Lalu cowok itu mengelus-elus pucuk kepalaku. "Udah, jangan nangis lagi. Jelek."

Pipiku terasa hangat. Dengan segera aku mengusap air mata dengan kedua tangan, lalu protes, "Semua orang jelek kalau lagi nangis, tahu!"

Suara langkah seseorang menginterupsi kami. Ketika menoleh, aku melihat seorang wanita bertubuh gemuk berusia tiga puluhan mendatangi bilik. Ia tersenyum sopan, menunjuk meja dengan jempolnya lalu bertanya. "Punten. Ieu mangkok sareng gelasna atos?"

Dengan segera aku dan Dika meringsut mundur, saling menjauh. Cowok itu mengangguk canggung sambil tersenyum. "Oh, atos, Bu. Hatur nuhun."

Wanita itu mengangkut mangkok dan gelas kami dengan nampan. Setelah Dika melakukan pembayaran, kami memutuskan untuk turun bukit dan kembali ke kota. Sekarang sudah jam setengah delapan malam, angin yang berembus terasa lebih dingin dari sebelumnya.

"Jadi, lusa Teteh mau ikut aku bimbingan ke Pak Rizal, 'kan?" tanya Dika sedikit keras di antara angin.

"Iya." Meskipun masih ragu, aku mengangguk saja. Kali ini, keyakinanku sudah lebih banyak dibandingkan keraguanku.

"Besok mau ngerjain TA bareng di coffee shop-nya Teh Aruna, nggak? Akhir-akhir ini aku sering ke sana, loh."

"Cieee, kamu lagi PDKT, ya, sama Runa?" Aku menggodanya.

"Nggak, kok!" serunya heboh.

"Kata Runa, kamu ganteng mirip Yamazaki Kento, loh!"

Dika diam sejenak. "Kalau menurut Teteh, aku mirip Yamaken, nggak?"

"Nggak," balasku datar.

Dika tertawa. Motor yang kami kendarai terus turun mengikuti jalan. Perlahan, pepohonan di kanan kiri tidak terlihat lagi dan digantikan oleh rumah-rumah kecil. Semakin lama, temperatur semakin hangat dan jalanan kembali dipenuhi kendaraan. Tidak terasa, kami sudah berada di perempatan Jalan Padasuka. Namun, Dika tidak berbelok ke Jalan P.H.H. Mustofa, melainkan ke arah yang semakin menjauh dari kostku.

"Loh, kok nggak belok?" tanyaku.

"Mau ambil jalan memutar ke Antapani."

"Makin jauh dari kost, dong?"

"Mumpung nggak macet. Teteh nggak keberatan, 'kan, kalau kita jalan-jalan dulu?" Dika balas bertanya. "Tenang, aku udah isi bensin full tank, kok."

Seharusnya aku menolak karena kostku punya jam malam. Namun, sudah lama sekali aku tidak keluar kamar. Kurasa melihat-lihat jalanan malam Kota Bandung bersama Dika itu ide yang cukup bagus, 'kan? Asalkan bisa kembali sebelum jam malam?

"Oke." Sambil tersenyum aku menjawab mantap. "Karena kamu udah beliin aku nasi goreng dan teh manis di Bukit Moko, besok aku bakal jajanin kamu kopi di coffee shop-nya Runa, deh."

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

25 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro