Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

"Di pertemuan pertama, penilaian kamu terhadap seseorang nggak selalu benar."

*****

Senin pagi tepat pukul delapan, aku berjalan cepat menelusuri lorong lantai dua gedung FSRD, kemudian sampai di depan pintu kelas dengan napas terengah-engah. Puluhan pasang mata menatapku, sebagian besar dari mereka wajahnya tidak terekam di otakku. Ada beberapa teman seangkatanku yang ada di kelas ini, tetapi semuanya laki-laki dan kami tidak akrab, jadi aku memutuskan untuk tidak menyapa ataupun menghampiri mereka.

"Teh Mika!" Aku mendengar seseorang memanggilku. Suara perempuan. Aku mencari dari mana suara itu berasal dan melihat cewek cantik berambut panjang melambaikan tangan padaku di tengah ruangan.

"Eh, Selena!" Aku menyapa balik. Ia adik kelasku. Kami berbeda satu tahun dan aku cukup mengenalnya.

Cewek itu mengedarkan pandangan, kemudian kembali ke arahku. "Yah, nggak ada tempat duduk kosong di sini. Maaf, Teh."

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Nggak apa-apa."

Setelah Selena kembali asyik dengan teman-temanya, pandanganku mengedar. Aku mengembuskan napas lega ketika melihat dua bangku kosong di barisan paling depan. Aku adalah mahasiswi yang benci duduk tepat di depan papan tulis, tetapi apa boleh buat? Ini semua salahku yang terlambat bangun dan terlalu lama menghabiskan waktu di kamar mandi.

Baru saja aku mendaratkan bokong di kursi, seorang pria paruh baya memasuki kelas. Tubuhnya agak gemuk, kemeja panjang berwarna putih dengan garis-garis vertikal hitam-biru yang samar melengkapi penampilannya. Pantofel kulit hitamnya senada dengan celana bahan yang ia kenakan.

Setelah meletakkan tas kerjanya di meja dosen paling depan, ia memperbaiki posisi kacamata, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh mahasiswa yang ada di kelas, termasuk aku, kemudian tersenyum. Kami mengenalnya dengan nama Pak Salman, salah satu dosen tetap di jurusanku, pengampu mata kuliah Pra Tugas Akhir.

Sekarang, aku sudah jadi mahasiswa semester sepuluh. Normalnya, mahasiswa jurusan Desain Interior mengambil mata kuliah Pra TA di semester tujuh. Tujuan utama dari mata kuliah ini adalah berhasil menyusun laporan Pra TA dan mengikuti sidang di akhir semester. Secara teknis, sidangnya sama saja seperti seminar proposal di kampus lain, hanya saja penamaannya berbeda dikarenakan perbedaan kurikulum. Setelah berhasil menyusun laporan Pra TA dan merencanakan bangunan yang ingin didesain, barulah kami akan menghabiskan waktu untuk menggambar di semester selanjutnya, di mata kuliah Tugas Akhir.

Karena seluruh mahasiswa sudah mengenal Pak Salman di mata kuliah yang lain, beliau tidak memperkenalkan diri, melainkan langsung menjelaskan teknis dari mata kuliah ini, termasuk silabus, sistem penilaian, dan jalannya mata kuliah Pra Tugas Akhir itu sendiri. Pertama, tentu kami harus mengusulkan judul dan mengumpulkan data untuk mengikuti sidang Pra TA. Inilah tahap pertama yang harus kulalui, aku tahu itu, berhubung pernah mengikuti kelas yang sama dan sayangnya gagal dua kali.

Tiba-tiba, pintu di pojok kanan depan ruangan terbuka, memotong penjelasan Pak Salman. Pandangan kami yang semula tertuju pada penjelasan beliau, kini tertuju pada seseorang yang baru datang. Aku mengecek arloji di tangan kiriku. Wow, dia terlambat lima belas menit.

Pak Salman adalah tipe dosen yang tidak mau ambil pusing. Alih-alih mengusir mahasiswa asing yang baru saja menginterupsinya, beliau mempersilakannya untuk masuk. Aku kesulitan untuk melihat siapa dia, berhubung kepalanya tertutup hoodie.

Aku melirik cowok itu berjalan ke arahku, kemudian menempati bangku kosong di sebelah kananku. Setelah duduk, ia menyingkap hoodie abu-abu yang dikenakannya, menampilkan rambut hitam gondrong yang diikat setengah menjadi kunciran kecil. Di luar hoodie, cowok itu mengenakan jaket kulit hitam, dipadukan dengan ripped jeans dan Converse hitam yang sudah kotor. Sangat klasik. Tanganya sibuk mencari-cari sesuatu dari saku hoodie. Alisku terangkat satu ketika pada akhirnya ia mengeluarkan dua lembar kertas binder yang sudah dilipat-lipat dari dalam sana. Setelah diamati lagi, cowok itu memang tidak membawa tas.

Aku mencoba kembali fokus pada penjelasan Pak Salman, tetapi gagal ketika mendengar bisikan, "Teh, Teteh." Aku menoleh sambil mengangkat kedua alis, kemudian cowok tadi kembali berbisik, "Punya pulpen?"

Aku mendesah pelan, membuka kotak pensil dan mengeluarkan pulpen bertinta hitam dari dalam sana, kemudian memberikannya pada cowok itu.

"Trims," ucapnya setelah menerima pulpenku.

Karena terlalu fokus pada cowok di sampingku, aku tidak menyimak ucapan Pak Salman. Entah apa yang beliau baru saja jelaskan, tetapi kelas ini mendadak gaduh. Beberapa adik kelasku saling berbisik, beberapa terlihat kecewa.

"Eh? Kenapa? Tadi Pak Salman bilang apa?" Aku celingak-celinguk sambil berucap lirih.

"Tahun ini nggak boleh ada mahasiswa yang ngambil judul tugas akhir yang sama." Cowok gondrong di sampingku menjawab tanpa menatapku. Ia masih asyik menyalin isi papan tulis ke kertas binder-nya.

Aku menoleh ke arahnya sambil mengernyit. "Hah?"

Pak Salman mengetuk papan tulis dengan spidol beberapa kali untuk meredam keributan, membuatku spontan menoleh. "Pokoknya, walaupun denah arsitektur dan lokasinya beda, nggak boleh ada judul yang sama!" tegas pria paruh baya itu.

Cowok di sampingku mencondongkan tubuh ke arahku. "Kayaknya di angkatan sebelumnya ada lebih dari satu mahasiswa yang judul tugas akhirnya sama. Mereka kerja sama, terus isi laporan dan desain akhirnya mirip," bisiknya.

"Siapa? Kok mereka bego banget ngambil judul yang sama? Setidaknya, ngambil matkul Pra TA-nya jangan di semester yang sama dong, supaya nggak ketahuan dosen!" keluhku sambil berbisik.

Cowok itu terkekeh. "Nggak tahu, deh."

Aku mencondongkan tubuh ke arah cowok itu supaya bisa berbisik lebih pelan. "Kamu tahu Opik dan Faris dari angkatanku?"

"Oh, Kang Opik yang tinggi banget dan Kang Faris yang rambutnya kribo? Tahu, Teh."

"Mereka sama-sama ambil judul Desain Interior Kantor Pusat Bank Mandiri. Bedanya, Opik pakai denah arsitektur yang lokasinya di Bandung, sedangkan Faris di Jakarta. Tapi, Opik ambil matkul Tugas Akhir dua semester lalu, sedangkan Faris semester kemarin. Nggak ketahuan dosen, tuh. Mereka dinyatakan lulus sidang."

Salah satu adik tingkat perempuan mengangkat tangan. Pak Salman mengangguk, mempersilakannya untuk bertanya. "Pak, kalau misalnya ada dari kita yang ngambil judul yang sama, tapi kita nggak saling tahu, gimana solusinya?"

"Nah, agar hal tersebut tidak terjadi, Bapak minta kalian menuliskan judul tugas akhir yang kalian minati di selembar kertas berserta permasalahan yang akan diselesaikan."

"Sekarang, Pak?" tanya anak perempuan itu lagi.

Pak Salman tersenyum sambil menggeleng. "Nggak. Kumpulkan di meja saya paling lambat hari Kamis, ya. Saya dan dosen matkul Pra TA lain akan mengecek judul-judul yang kalian pilih, memastikan tidak ada yang sama. Senin depan, kita bahas bersama-sama."

*****

Satu setengah jam telah terlewati, mulut Pak Salman mungkin sudah berbusa akibat mengoceh sepanjang kelas. Pria paruh baya itu sudah meninggalkan kelas, sedangkan para mahasiswa masih sibuk merapikan buku dan alat tulisnya, termasuk aku. Setelahnya, aku menyampirkan tote bag di bahu kanan dan berlalu meninggalkan kelas.

Terdengar suara langkah kaki dari arah belakang. "Teh! Teteh!" Seseorang berteriak ketika aku sudah berjalan di tengah lorong. Aku menoleh dan melihat cowok gondrong tadi berlari kecil ke arahku. Setelah sampai, ia menyerahkan pulpen yang tadi dipinjamnya.

"Oh iya, pulpenku!" Aku menerima benda tersebut dan memasukkannya ke tote bag. "Makasih, ya!"

"Aku yang makasih, Teh!" balasnya, "pulpenku nggak tahu hilang ke mana."

"Bukannya emang sengaja nggak bawa pulpen?" godaku.

Ia menggeleng. "Nggak, Teh, sumpah! Aku anaknya rajin, kok!"

Aku tertawa, kemudian cowok itu pun terkekeh. Ketika tawa kami mereda, suasana menjadi hening. Kami berdiri berhadapan. Karena sepanjang kelas aku hanya bisa melihatnya dari samping, aku baru sempat mengamati fitur-fitur cowok itu. Wajahnya lonjong, dengan rahang yang lumayan tegas. Dia punya lesung pipi ketika tersenyum. Sayangnya, dia punya satu jerawat di dahi dengan pori-pori besar di sekitar hidung.

"Kamu angkatan 2019 juga?" tanyaku. Aku kembali melangkahkan tungkai menelusuri lorong, cowok itu berjalan di sampingku sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket.

"Iya, Teh." Ia tersenyum.

"Ah, bareng Selena, ya? Jadi, mahasiswa yang ada di kelas tadi itu mayoritas angkatan kamu?"

"Iya, Teh."

"Oh, kalau aku angkatan 2018. Beda setahun sama kamu."

"Teteh kenapa nunda ngambil Pra TA, kalau boleh tahu?" tanyanya.

Aku terdiam sejenak. "Aku sempat nggak lulus Pra TA dan akhirnya cuti. Tahun-tahun kemarin emang agak molor aja progresku gara-gara sibuk freelance."

"Freelance apa, Teh?" tanyanya.

"Banyak! Kamu tahu kedai kopi outdoor yang baru buka di dekat kampus? Itu punya temanku. Aku bantu-bantu sedikit buat bikin desainnya."

"Punya Teh Aruna? Yang baru-baru ini grand opening?" tanya cowok itu antusias.

Aku mendongak, tersenyum sambil mengangkat alis. "Kok tahu? Kamu kenal banyak anak-anak angkatanku, ya?"

"Tahu dong! Teh Aruna kan famous, soalnya sering main sama Kang Zarfan yang ketua angkatan juga. Bareng Teteh juga, 'kan?"

"Kamu tahu aku juga?"

"Tahu dong! Nama Teteh aja aku tahu! Teh Mika, 'kan?"

Aku tertawa kecil dengan ekspresi datar. Menyadari hal itu, cowok di hadapanku gelagapan. "Eh, maaf, Teh, padahal kita baru kenal. Maksudnya ...."

Aku tertawa lebih lepas. "Iya, ngerti kok. Santai aja!" Aku mengulurkan tangan. "Ya sudah, sekarang giliran kamu yang ngenalin diri, dong!"

"Mahardika." Ia menyambut uluran tanganku. "Panggil aja Dika, Teh."

Pandangan kami bertemu. Melihat Dika tersenyum simpul dan memamerkan lesung pipi, aku hampir tertawa lagi. Astaga, cowok ini penampilannya nggak cocok banget sama kepribadiannya. Penampilannya macam black cat, tapi sifatnya kayak golden retriever!

Kami tidak saling melempar kata ketika menuruni tangga dan melangkah menuju pintu keluar gedung FSRD. Saat itu, banyak mahasiswa berlalu lalang, berhubung jam makan siang hampir tiba. Sayangnya, tidak ada yang kukenal. Kemudian, Dika bertanya lagi. "Udah kepikiran mau ambil judul apa?"

Aku menggeleng. "Belum. Nggak mau sok idealis, takut surveinya susah!"

"Kalau kata Pak Salman tadi, sebaiknya realistis aja ambil judulnya. Cari bangunan yang kita tahu banget, dan tentunya surveinya nggak susah."

"Yang kita tahu banget ...." Aku bergumam sambil berjalan. "Yang izinnya nggak susah ...." Tanpa sadar, sebentar lagi kami sampai di gerbang depan kampus. Aku berhenti. "Eh, bentar, kamu mau ke mana habis ini?"

"Ke ruang himpunan, tapi mau beli cilor dulu." Dika menunjuk gerobak cilor yang nangkring di depan SD seberang kampus kami. "Teteh nggak nongkrong di ruang himpunan?"

"Ngapain? Teman-temanku udah lulus semua. Aku mau pulang sekarang deh, pesan Go-Jek dulu." Aku mengambil ponsel dari dalam tote bag.

"Ya sudah, aku temenin," ujar Dika.

Satu menit kedepan, aku sibuk berkutat dengan ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, terdapat notifikasi yang mengatakan bahwa driver telah menuju ke gerbang depan kampus. Demi keperluan Pra TA, aku bertukar nomor ponsel dengan Dika. Beberapa saat kemudian, driver datang menjemput dan aku berpisah dengan cowok itu.

Driver yang mengantarku tidak gemar mengobrol, membuatku sibuk merenungi kata-kata Dika selama perjalanan pulang. Motor matic yang kunaiki berhenti di persimpangan jalan yang terletak di tengah Kota Bandung. Lalu lintas saat ini ramai lancar. Karena bosan, aku mengeluarkan ponsel dan berselancar di Instagram. Jempolku berhenti menggulir timeline ketika melihat seseorang yang kukenal berswafoto di dalam restoran Italia yang interiornya cukup familier. Aku memandangi foto itu sepanjang lampu merah.

"Cari bangunan yang kita tahu banget, yang surveinya nggak susah ...." Aku bergumam, kemudian tersenyum. Dengan cepat aku keluar dari Instagram dan beralih ke WhatsApp, kemudian mencari kontak Zarfan dan mengetikkan sesuatu.

Mika Gianina
Zar
Aku udah tau mau ambil judul apa!

*****

Dukung Kapan Lulus dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

12 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro