Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

i. bitter

Suara gasrak-gusruk terdengar dari dalam kamar. Bukan saatnya menenangkan detang jantung yang memburu, kehebohan tak bisa dihindari lantaran dirimu berubah kalang kabut ketika ketahui waktu berjalan terlampau cepat. Sebuah pesan penting semalam muncul di notifikasi layar ponsel, datang dari orang yang telah di tunggu-tunggu olehmu selama ini. Pesan jawaban penting dari seorang Busujima Mason Rio, kekasihmu yang mengiyakan ajakan darimu untuk bersantai menikmati hari berdua saja. Setelah sekian lama kalian tidak menghabiskan waktu bersama terhalang kesibukan masing-masing, hari yang ditunggu pun tiba. Sayang sekali akibat terlalu melayang, berakibat terlambat tidur hingga harus bangun kesiangan.

Ini kencan pertama kalian usai berbulan-bulan kalian putus kontak. Berkali-kali kau mengirim pesan padanya, bahkan menelponnya lebih dari tiga kali sehari, namun dirimu tidak mendapati respon. Satu-dua bulan berlalu dengan harimu tanpa kehadirannya dan jujur, kau mulai berpikiran buruk tentang dirinya. Walaupun pikiran-pikiran buruk kau tepis, mereka tidak berhenti berdatangan. Oh, ayolah, bagaimana pun juga kau pasti akan mencurigai kekasihmu sendiri sekecil apapun kemungkinannya.

Ke mana perginya seorang Rio yang kau kenal? Perubahan sikap lelaki itu tidak masuk akal. Dia yang selalu membantumu mengerjakan tugas-tugas hingga terlelap, menemani dirimu di saat mengalami masa-masa emosional, secepat kilat membantumu di tengah kesibukan miliknya, dan di kala kau sakit dia akan langsung mengunjungimu--melepaskan segala keperluan pribadi demi dirimu, kekasihnya. Kau merindukan pribadi seorang Rio. Lelaki tegas dan berwibawa, tidak pernah main-main akan ucapannya, namun di sisi lain tidak melupakan sopan santun serta sifat ringan tangannya.

Kau bernostalgia sejenak, melupakan kenyataan dimana kau harus lekas bersiap. Kenangan-kenangan manis menyerbu masuk ke dalam ingatanmu. Kau ingat betul bagaimana kencan terakhir kalian berakhir, waktu itulah kau melihat Rio sebelum kehilangannya ini. Saat itu Rio bersikukuh mengajakmu pergi ke bukit dengan segala alasan walau kau menolak undangannya di percobaan pertama, tetapi Rio tidak kehabisan akal dan tingkah lakunya sanggup meluluhkan hatimu.

Perjalanan kalian ke puncak bukit memakan waktu berjam-jam dan semua terbayarkan di atas sana. Kau bersyukur tidak menolak ajakan Rio pergi ke bukit karena kau menemukan pemandangan indah yang disiapkan kekasihmu. Di tengah pohon-pohon hijau, berdirilah pohon pink kokoh dari antaranya. Adalah pohon sakura namanya, begitu besar dan mencolok, tumbuh di tengah-tengah, namun tidak begitu jauh dari pagar pembatas. Dahan serta tangkai pohon besar-besar, kau nyaris meyakini itu pohon Baobab kalau saja bunga merah muda khas musim semi tidak mekar memenuhi tiap rantingnya.

Di bawah lindungan pohon sakura itu kalian duduk, mengobrol sangat lama di sana bagaikan sepasang orang asing. Selalu saja ada topik untuk dibicarakan. Hari itu kau merasa seperti baru mengenali kekasihmu. Rio yang pendiam berubah total, dia menceritakan apa saja tentang dirinya padamu--seolah kalian tidak akan pernah bertemu lagi. Di sela-sela sesi bedah diri, tak lupa kalian menghabiskan bekal bawaan darimu.

Waktu itu, aku benar-benar bersyukur telah mengenal Rio.

Aktivitas ringan kalian tahu-tahu bertahan hingga malam tiba. Kau khawatir kalian akan tersesat sebab jalan terlalu gelap untuk kembali ke kota, tetapi Rio menggeleng, dia menahanmu agar tidak turun dahulu. Dalam binar ketenangan Rio kau pun terbius, mengizinkan kalian menghabiskan waktu lebih lama bersama sang malam. Di detik selanjutnya kalian bercengkrama, sebuah ledakan di langit mengagetkanmu. Sontak dirimu menoleh, tercengang mendapati langit dihiasi bunga api berwarna-warni nan elok.

Kata Rio, malam itu diadakan festival musim semi di kota. Dia tidak ingin kalian berdesakan di festival, makanya dia memilih lokasi bukit yang strategis agar kalian bisa menikmati festival tanpa perlu membaur bersama orang banyak. Rio merengkuhmu dari belakang, membawa tubuhmu bersandar padanya sementara dia sendiri bersandar pada batang utama si pohon sakura. Kau terlalu bersemangat malam itu, berujung tak sadarkan diri tertidur dalam pelukan nyaman sang kekasih, membuat Rio harus menggendongmu di punggung ketika kalian pulang. Esok paginya, kau terbangun di tempat tidurmu seperti biasa, tanpa mengetahui hari itu adalah hari terakhir kau menjumpai Rio.

Satu, dua detik, kau menepuk kedua pipimu keras-keras--menyadarkanmu dari duniamu sendiri.

Apa yang kau lakukan tadi, dasar wanita gila?

Menoleh patah-patah, pandanganmu tertuju pada jam dinding berwarna biru, jarum panjang pendek itu menunjuk pukul setengah sepuluh. Oh, jika saja jam weker putihmu berbunyi dengan merdu tepat di telinga pasti kau tidak akan terlambat bangun. Namun jangan salahkan jam weker putih di atas nakas, salahkan pemiliknya yang lupa mengatur alarm sebab tewas terlalu malam. Semalam dirinya sibuk merencanakan jadwal kencan mereka, sampai-sampai dentang jam dari ruang tamu yang menunjukkan waktu tengah malam tidak diacuhkannya.

Nyatanya bangun siang pun kau tetap menampakkan kantung mata panda. Lingkaran hitam yang tidak etis itu menghiasi kedua kantung matamu. Buru-buru diri cekatan merapikan tempat tidur berantakan. Entah bagaimana posisimu kala tidur, tetapi jelas dipastikan bukan posisi tidur wanita selayaknya. Lihat saja, guling bersarung monokurobo milik gadis itu jatuh jauh dari kasur. Jadi, tidak mungkin hanya sekadar tendangan remeh 'kan yang dilancarkan?

Kedua tangan rampingmu menyambar handuk krem dari gantungan, membawanya masuk ke dalam kamar mandi bernuansa abu-abu. Dari balik pintu samar-samar terdengar beberapa kali suara sabun batangan yang terjatuh dan gemericik guyuran air dengan tempo cepat. Sekitar sepuluh menit kemudian kau keluar dari kamar mandi berbalut handuk di rambut yang masih meneteskan air bekas keramas. Aroma harum mawar menguar dari tubuhmu yang mulus, mungkin ini berkat pengorbanan sabun batangan yang melesat dari tangan dan rela terjatuh berkali-kali di atas keramik.

Langkah kaki menyeretmu kepada lemari kayu di pojok ruangan. Membukanya, sebelah tangan lihai mengobrak-abrik pakaian; mencari perpaduan setelan baju favoritmu yang entah tertumpuk di mana. Lima menit setelah pelemparan besar-besaran pakaian penghuni lemari, kau mengangkat atasan sweater mint dipadu celana kulot hitam kebanggaan yang menghangatkan. Tanpa babibu, kau mengenakannya, lalu beralih profesi menjadi penata rambut abal-abal.

Rambut [hair colour] disisir ke sana-kemari. Poni kanan aneh, poni kiri aneh, kembali rambut diacak-acak seperti semula. Kau memutar otak dan hampir membuang sepuluh menit dari waktu yang dimiliki demi menentukan tatanan rambut seperti apa yang harus dipilih untuk menghadapi hari penting ini. Otak menyerah dipaksa berpikir mendadak, tangan mungil itu akhirnya terjulur, meraih kanzashi yang tertata rapi di pojok meja riasnya dan mulai menggulung rambutnya perlahan, berusaha membuatnya serapi mungkin. Kau memandangi pantulan diri di kaca, menyandingkan patrian senyum di wajah seiring iris mengecek teliti keadaan diri. Sip, setidaknya tatanan rambut ini bisa membuatmu bertahan selama seharian.

Penuh kesabaran dan rasa mantap diri, kau mulai memoles make up pada wajahmu nan elok. Tipis saja, dirimu bukanlah tipe orang yang nyaman menggunakan make up terlalu tebal, semua sebatas formalitas semata. Kau bangun dari tempatmu duduk, mendekati kasur lalu mengambil barang-barang seperti dompet, ponsel, dan kepentingan kebutuhan pribadi lain; memasukkan mereka ke dalam tas selempang mungil yang menggantung di salah satu gantungan baju dan mengambil mantel berbulu serta syal demi menjaga ketahanan tubuh di cuaca ekstrem.

Mencari-cari remot pemanas ruangan, kau sampai menghancurkan tatanan elok kasurmu. Begitu keluar kamar, deretan anak tangga menyambutmu. Kau menuruni tiap anak tangga dengan kecepatan di atas rata-rata, sedikit menyesal tidak meminta kamar berada di lantai satu guna mengantisipasi hal-hal semacam ini terjadi kala mengabaikan fakta bahwa kau cukup ceroboh.

Ruang tamu telah sepi, bahkan televisi yang biasanya menampilkan acara kartun pagi hari tidak menunjukkan tanda-tanda menyala. Dirimu melewati meja makan, seirama dengan tangan yang mengambil setangkup sandwich tersedia dari piring. Masa bodoh dengan air putih yang tersedia di dekat piring, kau memilih memasukkan susu botol yang diambil dari dalam kulkas ke dalam tas mungilmu.

Sepatu wedges adalah yang ternyaman dipakai untuk momen seperti ini, maka kau menarik sepasang dari tumpukan sepatu di rak lalu mengenakannya. Sebelum tangan memberanikan diri membuka pintu, satu tarikan napas ditarik dalam kemudian dihembuskan perlahan. Itu tadi salah satu cara menenangkan dirimu yang panik, sekaligus cara untuk mempersiapkan diri yang akan hadapi kegiatan penting.

Angin dingin yang datang dari pintu depan yang terbuka berhembus lembut, menyapa helai rambut milik diri dan menggoyangkannya pelan. Netramu disodori pemandangan sempurna dari alam semesta, sangat disayangkan kau tidak punya waktu menikmati. Suguhan pemandangan memang menyejukkan, tetapi tak bisa pungkiri diri sempat meremang--bukti adaptasi menanggapi perbedaan suhu cuaca.

"Ittekimasu."

Sepatah kata meluncur keluar dari bibir, tandai diri sepenuhnya telah siap jalankan agenda padat di hari baru.

.

Yuzutsu Yoshikawa presents

K A N Z A K U R A

I own all the story plot, gain no profit from writing this story, and writing for my own sake.

.

Romance | R | Simbeyousas Project | Warn : typo(s)

.

Don't like don't read.

Happy reading! ♡

.

"[Name], dengar, Aku akan masuk Navy." Suara berat seorang Busujima Mason Rio mengudara, membawakan kalimat singkat sebagai berita yang tertuju padamu, sang pujaan hati.

Satu kalimat utuh masuk ke indera pendengaran, meminta otak mencerna kata, namun otak merespon lebih dulu dengan tindakan. Iris membelalak, raut wajahmu berubah seratus delapan puluh derajat usai resapi baik-baik kalimat barusan. "Navy? Angkatan Laut Militer? Kenapa?" Deretan kalimat tanya yang singkat meluncur dari bibirmu. Suaramu bergetar hebat, terlihat sekali luapan emosi tak terbendungkan, tapi kau tidak mau menyelesaikan masalah didampingi atmosfer tidak enak.

Setelah canda tawa yang terlewati, semua terlalu tiba-tiba.

Kau mengepalkan kedua tanganmu, berusaha menyalurkan emosi dan meredamnya sekuat tenaga. Sayangnya sia-sia, seperti tertusuk panah, hatimu terlanjur hancur berkeping-keping mengetahui orang yang kaucintai bisa kehilangan nyawanya kapan saja di medan perang. Membayangkan bayang-bayang posbilitas terburuk yang berkemungkinan terjadi sanggup membebanimu di situasi sekarang. Kehilangan Rio artinya kehilangan separuh dari jiwamu yang lain dan kau tentu tidak bisa diam membiarkan.

Kalian baru saja menghabiskan waktu bersama seharian setelah sekian lama kekasihmu menyibukkan diri tak mampu dijangkau. Kau begitu menanti-nantikan kencan kalian pada hari ini. Berminggu-minggu lalu dirimu menyiapkan segalanya, mengatur tanggal dan memilih tempat-tempat kunjungan dengan penuh semangat kala ajakan dapati respons positif Rio. Gerbang taman bermain yang terlewati, suasana kafe dan jeritan-jeritan di rumah hantu itu masih terasa nyata, tetapi pengakuan Rio terhadapmu barusan membuyarkan segala bayang dalam pikiran. Bukan kau satu-satunya orang merencanakan sesuatu di hari spesial kalian, dirimu tidak menyangka Rio akan memberimu kejutan sedemikian rupa.

Pemandangannya kususun bukan untuk suasana gila ini.

Padahal kanzakura di atas sana berhasil mempersembahkan pemandangan terbaik di akhir tahun. Sebutan untuk bunga langka tersebut memang tidak main-main. Keindahan bunga benar-benar ditonjolkan bersama salju yang beterbangan. Lembutnya warna bunga cukup mencolok dan picu ketertarikan dari antara pemandangan putih akhir tahun. Kelopak-kelopak mungil ikut terbawa arus angin yang berhembus di sekitar--hempaskan mereka ke permukaan jalanan lembut berlapis salju, memperindah karpet beludru putih dengan keelokan diri.

Kini mereka tidak ada artinya lagi.

Angin dingin yang sempat terasa hangat bagi kalian, sekarang dua kali lipat terasa lebih dingin dari sebelumnya. Deretan pohon bunga sakura tersebut memandang lesu eksistensi di bawah mereka, rasa kebahagiaan yang menghilang, mereka diliputi rasa duka. Mahkota-mahkota bunga merah muda mengorbankan diri gugur terbawa arus angin; menyapa kedua insan yang ternaungi kemudian berakhir jatuh dan bercampur dengan tumpukan salju di alas pijakan kaki mereka. Bunga kanzakura tidak mampu sirnakan tekanan berat yang berada di sekitar kalian. Kalian berdua bertatap-tatapan tegang, saling menunggu reaksi dan jawaban dari masing-masing individu. Dirimu terutama, ingin memuaskan penasaran dalam dada--bertanya-tanya alasan apa yang mendasari tindakan si pemuda.

Di lain sisi Rio tahu dia menciptakan kesalahan besar karena pilihannya, pilihan yang membuat Rio melihat ekspresi yang paling tidak ingin dilihat darimu, apalagi penyebab utama ialah dirinya. "Perjanjian," jawab Rio menyesal sedalam-dalamnya, "Sebagai warga negara asing yang pindah ke Jepang, Ayahku menandatangani perjanjian persetujuan bahwa keluarga kami harus bersiap sedia mengabdi dan mengorbankan diri untuk Jepang."

Dirimu meraih tangan Rio yang dingin tidak terlapisi apapun, tangan besar itu jelas sekali gemetar begitu kau menggenggamnya erat diliputi cemas dan kekhawatiran. "Begitu juga dengan dirimu?" Kalimat terlontar guna memastikan fakta pahit meski kau menolak percaya. Air bening di ujung mata mulai berkumpul, sedikit saja kau kehilangan kontrol atas emosimu, maka dipastikan air matamu akan tumpah.

Rio mengangguk samar, "Benar. Suratnya datang sekitar bulan Agustus dan perasaan bimbang serta takut menghalangiku untuk menemuimu. Aku tidak ingin melukaimu, [Name], maafkan aku."

Dirimu menggeleng, "Bukan salahmu, jangan menyesal." Genggamanmu menguat, sampai-sampai kau merasa sanggup meremukkan tulang tangan kekasihmu dengan seluruh tenaga dibantu emosi milikmu. Kau tahu, paham betul bagaimana perasaan kalian berdua saat ini. Sama-sama hancur, setidaknya itulah yang kau rasa. Rio memang tidak dengan terang-terangan menunjukkan sisi lemahnya padamu, tetapi dari getar nada suara beratnya, jelas terselip rasa takut.

Ini berat baik untukmu maupun untuk Rio. Susah rasanya melepas kepergian Rio bagimu dan susah rasanya memendam perasaan takut kehilangan dirimu bagi Rio. Tetapi kau belajar menghargai, mengingat seberapa susah bagi lelaki itu membulatkan tekad kepada pilihannya.

"Terima kasih, [Name]." Rio membiarkan tingkah lakumu, tidak merespon lebih lanjut, "Pekerjaanku akan membahayakan, karena itu lebih baik kita-"

"Tidak!"

Kau memotong perkataan Rio secepat kilat, tampak tidak mau mendengar kata-kata selanjutnya terucap sebab tahu betul apa maksud sang lelaki meski belum terangkai dalam kata. Sementara itu Rio jelas terkejut. Ini pertama kalinya kau meninggikan suara saat berbicara padanya dan Rio bisa memaklumi sikapmu mengingat dirimu telah bersusah payah menahan emosi agar tidak meledak di hadapannya.

"[Name?]" Rio memperhatikan kepalamu yang semakin menunduk, mengkhawatirkan keadaanmu. Gadis kuat sepertimu tidak akan semudah itu pingsan karena syok, bukan?

"Jangan--" Kau menjeda perkataanmu, "Jangan dilanjutkan--aku tidak ingin kita berpisah. Sampai kapanpun, sampai kapanpun aku akan menunggumu!" Dirimu menghambur dan memeluk Rio tidak ingin melepasnya. Bendungan air matamu pecah dengan mudahnya. Kau menangis meraung-raung, menyembunyikan rupamu dalam lindungan dada bidang Rio.

Sebagai balasannya Rio mengelus punggung serta mengusap-usap rambutmu yang berantakan. Dia membiarkan kau menangis, tidak keberatan pakaiannya basah karena ulahmu, bagi Rio kepercayaanmu padanya lebih penting di atas segala hal.

"Terima kasih. Aku berjanji pasti akan kembali padamu. Tunggulah aku di musim semi ... lagi, [Name]."

Pasti, aku pasti akan menunggumu walau itu memakan sepanjang sisa hidupku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro