O9: Interferensi (1)
/ \
i n t e r f e r e n s i ;
penjumlahan superposisi dari dua gelombang cahaya atau lebih yang menimbulkan pola gelombang yang baru; campur tangan
\ /
"Roma! Lo mandi apa mati, dah?!"
Suara gedoran bertubi-tubi pada pintu yang nyaris membuat benda malang tak bersalah itu ambruk ke dalam membuat Rio, yang tengah memandangi wajahnya di depan cermin, memutar bola mata dengan malas. Belum sempat Rio bermonolog dan melontarkan kata-kata penyemangat untuk dirinya sendiri, abangnya sudah datang saja. Padahal, Rio sudah sengaja bangun agak lebih pagi agar tidak ada pengganggu.
Rio cepat-cepat membasuh wajah dan segera melangkah keluar dari kamar mandi. Hampir saja tangan Felix yang membentuk kepalan guna menggedor-gedor pintu sejak tadi itu berhasil mengetuk kepala Rio. Untungnya, Rio berhasil berkelit, meskipun berefek samping jatuhnya handuk Spongebob-nya yang baru disetrika kemarin malam.
"Lo kenapa buru-buru banget bangun jam segini?" tanya Rio heran sambil berusaha meredam kekesalannya. Dipungutnya handuk tersebut dengan tangan, sebelum akhirnya melemparnya ke keranjang pakaian kotor di dekat pintu kamar mandi.
Felix buru-buru menyerobot masuk. Ditutupnya pintu kamar mandi di depan wajah Rio. Refleks, Rio melangkah mundur sebelum hidungnya menjadi mirip Voldemort, atau tokoh-tokoh dalam komik Tahilalats.
Terdengar suara berisik kucuran air dan jatuhnya beberapa botol sabun di dalam kamar mandi tersebut. Kemudian, Felix mematikan keran air untuk menjawab. "Gue kebelet. Jauh-jauh, sana. Kecuali mau dihantui wangi yang tak terlupakan sepanjang hari."
"Jangan lupa disiram sampai bersih!" peringat Rio sambil bergidik.
Ia pun langsung memutar tubuh dan melangkah menjauhi ruangan itu untuk memasuki kamarnya. Diputarnya kenop pintu, lalu Rio pun mendorong pintu tersebut ke dalam agar terbuka. Setelahnya, ia melangkah masuk sambil berusaha memikirkan baju apa yang harus ia kenakan hari ini. Namun, dipikir-pikir seperti apa pun, tetap saja pilihan Rio selalu terjatuh pada kemeja putih berlengan panjang serta celana jins hitam.
Rio segera mengenakan pakaian tersebut, kemudian menyisir rambutnya. Dioleskannya gel pada rambutnya itu agar rapi. Lalu, Rio mengambil ponsel dan dompet, memasukkan keduanya ke dalam saku celana, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan kamarnya untuk menyantap sarapan di ruang makan.
Di meja makan, Papa sudah duduk dengan nyaman sembari menikmati kopi buatan Mama. Di hadapannya, terdapat sebuah gadget berbentuk tablet yang layarnya menampilkan sebuah situs berita. Sementara itu, Mama sedang sibuk meletakkan piring berisi sarapan mereka pagi ini di atas meja.
Ketika kaki Rio menginjak permukaan lantai ruang makan, Mama langsung menghampiri anak bungsunya itu dengan senyuman cerah. "Pagi, Rio. Udah mandi?"
"Udah," angguk Rio kalem. Ia membiarkan Mama menepuk-nepuk lengannya sambil menuntunnya menuju kursi di seberang tempat duduk Papa. "Makan apa, Ma?"
"Mama cuma sempat bikin spaghetti. Nggak apa-apa, ya?"
Rio buru-buru menggeleng. "Itu udah enak, Ma. Makasih, ya."
Papa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi yang sejak tadi dipelototinya itu sambil tersenyum tipis pada Rio. "Hoi."
"Eh, Papa. Pagi, Pa," sapa Rio. Bibirnya bergerak membentuk cengiran kecil.
"Abangmu udah bangun, 'kan?"
Rio mencebikkan bibir. "Duh, udah rame banget dia, mah. Rio masih mandi, udah digedor-gedor terus! Untung Rio nggak lagi buang air besar—"
"Rio ...." peringat Mama. Matanya memelototi Rio, lalu pandangannya bergeser ke arah meja makan. Ah, iya. Tidak boleh bicara macam-macam di depan makanan. Tapi, Rio kan hanya bicara kenyataan!
Sebagai jawaban, Rio hanya meringis. Dipindahkannya segarpu besar pasta ke permukaan piringnya, lalu dituangkannya saus daging ke atasnya, lengkap dengan taburan keju yang banyak. Dengan antusias, Rio meraih garpu dan mulai mengaduk-aduk makanannya untuk mencampurkan antara spaghetti dengan sausnya.
Papa menyeruput kopinya. "Eh, omong-omong, akhirnya lomba Fotografi gimana, Yo?"
"Gimana apanya?" Rio balas bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari piring spaghetti-nya yang menggiurkan.
"Yah, progress-nya. Kamu udah dapat foto bagus? Temanya apa, sih?"
"Oh," angguk Rio. Ia menghentikan adukannya sesaat untuk berpikir. "Aku udah coba foto, sih. Tapi, belum bagus hasilnya. Temanya human interest sama street photography gitu."
Papa manggut-manggut. Keningnya berkerut, dan jari tangannya mengelus-elus dagu, tanda bahwa beliau tengah memirkan suatu hal yang menarik. "Jadi, memotret kayak sejenis interaksi sosial gitu, ya?"
"Nggak juga, sih."
Papa memandangi Rio lamat-lamat.
"Maksud aku, iya. Papa bener. Nggak salah, kok, nggak."
—
Rio berjalan keluar dari gereja bersama Felix dan puluhan orang lain sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya sedikit menyipit untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang berbeda antara di dalam dan di luar ruangan. Kakinya melangkah perlahan menuju lapangan parkir, ditemani oleh senandungan Felix yang agak sumbang.
"Eh, Rom," panggil Felix tiba-tiba.
"Stop panggil gue Roma."
Felix mendengkus. "Nggak apa-apa, ah. Nanti, gue yang jadi Ani-nya."
"Jijik."
Mendengar respons Rio, Felix pun tertawa. "Nggak usah baper-an gitu, lah. Ini gue mau ngomong serius, nih."
Rio menendang salah satu kerikil yang berada di dekat kakinya. "Apaan?"
"Ada cewek cakep," sahut Felix. Lalu, sebelum Rio bereaksi apa-apa, ia cepat-cepat melanjutkan, "Beneran cakep. Nggak bohong."
Rio menyipitkan matanya. Diliriknya abangnya itu dengan curiga, sebelum akhirnya ia pun melemparkan pandangannya ke kerumunan orang-orang yang berada di sekitar mereka berdua. Ada terlalu banyak orang, dan kelihatannya semua manusia berjenis kelamin wanita yang berada di sana hanyalah nenek-nenek dan juga ibu-ibu seumuran Mama.
Sudah Rio duga. Selera Felix memang agak tidak normal.
"Bukan di situ. Di sana," ujar Felix sambil menangkup kepala Rio dengan kedua tangannya dan menggerakkan kepala tersebut agar menoleh ke arah yang ia maksud. Untung saja, otot Rio tengah rileks sehingga syarafnya tidak terjepit atau semacamnya.
Mata Rio langsung bergerak-gerak mencari sosok yang Felix maksud. Cewek cantik ... cewek cantik ... Eh? Itu kan Sabrina, cewek yang Rio foto di taman waktu itu?
"Udah lihat, 'kan? Cakep, 'kan?" tanya Felix antusias.
Rio tidak menyahut. Kedua alisnya bertaut. Memang, taman yang Rio kunjungi waktu itu tidak begitu jauh dari rumah, namun ia tidak menyangka kalau ternyata Sabrina datang ke gereja yang sama dengannya.
Felix menggoncangkan lengan adiknya dengan bibir mengerucut kesal. "Woi, Jerry!"
"Gue Tom," sembur Rio. Matanya masih memperhatikan Sabrina dari kejauhan. Cewek itu nampak tengah berdiri bersisi-sisian dengan seorang pria dan juga seorang cowok yang umurnya tidak kelihatan begitu jauh darinya (dan Rio).
Ayah dan abangnya? Atau temannya? Sepertinya terlalu dekat kalau hanya berteman. Tapi, tidak ada salahnya juga teman pergi ke gereja bersama. Rio tidak dapat menahan rasa penasarannya.
"Lo kenal dia?" tanya Felix lagi. Rasanya, Rio ingin menyumpal mulut abangnya itu dengan kerikil.
"Kenal," jawab Rio akhirnya.
Felix berdecak dengan penuh semangat. "Mantap. Yaudah, ayo kita samperin. Abis itu, gue tanya nomornya. Abis itu—"
"One step at a time, Bang."
"Iya, iya," angguk Felix. "Omong-omong, yang di sebelahnya itu pacarnya bukan, ya?"
Rio nyaris tersedak air liurnya sendiri. "Hah?"
"Kelihatan dekat banget gitu. Atau abangnya, ya?"
Jantung Rio rasanya hampir copot tadi. Ketika mendengar hipotesis kedua Felix, entah mengapa Rio merasa lega, namun juga sekaligus merasa kesal pada abangnya itu karena sudah membuatnya panik tanpa alasan yang jelas.
Felix pun menarik lengan Rio untuk menghampiri Sabrina setelah memastikan kalau kedua orangtua mereka masih sibuk berbincang-bincang dengan beberapa orang tua lain. Rio ingin memelototi Felix, tapi nanti justru dia yang lelah sendiri karena memelototi leher abangnya. Kalau Rio menendang kaki Felix, rasanya biadab sekali melakukan hal macam itu di depan tempat ibadah.
Jadi, Rio hanya bisa terdiam. Mengikuti langkah kaki Felix, sambil berusaha membentuk seulas senyum kaku yang asimetris untuk ditunjukkan pada Sabrina dan juga ayah serta abang cewek itu.
Haish.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro