O7: Berkobar (2)
/ \
b e r k o b a r ;
menyala besar
\ /
Suara pantulan bola-bola basket pada permukaan lapangan meramaikan suasana siang ini. Matahari bersinar terik di atas kepala, namun teman-teman sekelas Rio masih saja terus bersemangat berlarian ke sana dan kemari. Sementara itu, Rio sendiri menghabiskan waktunya menontoni kegiatan teman-temannya itu sambil duduk di bawah naungan pohon. Giselle berada di pangkuannya, beristirahat sejenak setelah berhasil mengambil beberapa foto fantastis yang akan Rio cetak sore nanti.
Ghazi memantul-mantulkan bola basketnya sambil berlari mendekati Rio. Matanya menyipit akibat panas terik matahari ketika ia menatap sahabatnya itu. "Main, sini!"
Rio mengangkat tangannya dengan cengiran lebar. "Gue lagi manja-manjaan dulu sama Baby G."
"Halah," sembur Ghazi. Tangannya bergerak untuk melemparkan bola basketnya ke arah Rio, yang tentu saja menangkapnya dengan sigap meskipun Giselle hampir jatuh membentur lantai.
"Sana, main! Ganggu aja, lo."
Ghazi tertawa, menerima kembali bolanya yang dilempar dengan brutal oleh Rio, kemudian menggiring bolanya ke tengah lapangan untuk bergabung bersama teman-teman sekelas mereka yang lain. Rio memperhatikan kerumunan itu dengan senyuman tipis. Ia menghela napas, sebelum akhirnya mengangkat Giselle untuk mengambil beberapa foto lagi.
Foto Savero tertawa — cekrek.
Foto ketua kelas mereka, Reno, yang tengah melompat untuk memasukkan bola ke dalam ring — cekrek.
Foto aib Ghazi — cekrek.
Rio memperhatikan hasilnya sambil tersenyum kecil.
"Aduh, capek gue," ujar seseorang sambil duduk di sebelah Rio. Tangannya yang berkeringat bersentuhan dengan lengan Rio, membuat Rio refleks beringsut untuk menggeser tubuhnya sedikit menjauh.
"Jorok, Ro," keluh Rio, buru-buru mengelap lengannya yang ternodai itu dengan celana abu-abunya.
Orang itu, Savero, hanya tertawa. Matanya memperhatikan Rio dengan seksama, sementara tubuhnya disandarkan dengan rileks ke batang pohon yang tengah menaungi mereka berdua. "Lo kenapa nggak olahraga? Tumben banget. Biasanya lo yang lari-lari paling heboh kayak manusia purba."
"Nggak enak badan," jawab Rio sekenanya.
"Nggak kelihatan begitu bagi gue," balas Savero, mulai memejamkan matanya dan menikmati angin sepoi yang membelai wajahnya dengan lembut. "Omong-omong, lo akhirnya gimana sama Ghea?"
Rio melirik sahabatnya itu sekilas, sebelum akhirnya kembali fokus memandangi pemandangan sekitar melalui lensa Giselle untuk mencari objek baru. "Lo nanya gitu kayak gue abis berantem alay gitu, deh. Udah damai, kok."
"Gue juga agak kaget, sih. Nggak nyangka lo mau mengundurkan diri dari Fotografi," ucap Savero setelah diam selama beberapa saat.
"I have my reasons."
Savero tersenyum kecil. Matanya masih terpejam erat, sepertinya mulai lengket karena terlalu mendalami kesejukan dan ketenangan suasana di sekelilingnya. "Yah, gue tahu lo pasti punya alasan. Rasa bingung gue tuh, kayak ... rasa bingung Isaac Newton waktu ada buah apel jatoh."
Rio terbahak. "Pardon?"
"Gue sama Isaac — mantap, sok akrab banget, ya, gue? — sama-sama tahu kalau suatu hal berbeda yang kita amati itu terjadi karena suatu alasan. Dia tahu apel jatoh karena suatu alasan, dan gue tahu lo begitu karena suatu alasan juga."
Cengiran lebar masih terpatri di wajah Rio. "Oke ... terus?"
"Terus, gue ingin mencari tahu alasannya, kayak dia mencari tahu soal si apel dan akhirnya menemukan gravitasi," lanjut Savero, ikut tertawa. "Aduh, udah kayak di novel-novel, belum?"
"Mau minta gue cerita aja ribet banget." Rio mendengkus sambil menendang kaki Savero dengan pelan.
Savero membetulkan posisi duduknya. "Yaudah, tapi lo nggak usah cubitin gue gitu, dong."
"Hah?"
"Kulit gue perih," timpal Savero lagi, perlahan membuka matanya.
Hening sejenak. Rio memperhatikan kulit leher Savero dengan mata membulat kaget. Cowok itu buru-buru bangkit sambil menampar-nampar pipi Savero. "Itu semut rangrang, Gila. Berdiri, cepetan!"
—
"Rio pulang!"
Sapaan Rio dibalas dengan sebuah sahutan samar dari arah dapur. Rio menutup pintu rapat-rapat, melepas sepatunya dan meletakkannya di dalam rak, kemudian berjalan menghampiri dapur dengan langkah penuh semangat. Matanya langsung berbinar melihat tumpukan pisang goreng yang baru matang tengah diangkat oleh mamanya untuk diletakkan di atas piring berlapiskan tisu.
Mama menoleh sejenak ke arah Rio, sebelum akhirnya kembali fokus memasak makanan yang berada di panci lainnya. "Gimana sekolah?"
"Gitu, deh," sahut Rio tak jelas. "Rio ambil satu, ya, pisangnya. Dua, deh. Atau tiga, ya?"
Mama tertawa. "Bawa pakai piring kecil aja. Sisain sedikit buat abangmu sama Papa."
"Bang Felix ke mana?" tanya Rio. Kakinya bergerak untuk melangkah menuju rak piring dan mangkuk. Ia membuka pintunya, meraih sebuah piring kecil plastik dengan gambar sebuah kereta biru konyol bernama Thomas, kemudian meletakkan beberapa buah pisang goreng ke atasnya.
"Kayaknya nyari buku bacaan. Buat referensi gitu, katanya," sahut Mama agak keras agar terdengar di antara suara ayam berbumbu yang tengah dihajar oleh minyak panas dalam panci. "Padahal, Mama udah bilang buat santai aja. Toh, dia lagi liburan, 'kan."
Rio memasukkan salah satu pisang goreng ke dalam mulutnya. "Bosen, kali. Dia kan orangnya hiperaktif. Kayak cacing kepanasan kalau nggak ada yang bisa dikerjain."
"Iya, kali, ya?"
"Emang iya."
Mama mengacak-acak rambut anak bungsunya itu dengan gemas. "Sombong sekarang sama Mama."
"Ih, Maaa. Rio kan pakai gel!"
"Udah sampai di rumah juga, 'kan?"
Rio mengerucutkan bibir. Ia melangkah menuju kulkas dan segera membuka pintunya. Wajahnya langsung diterpa suhu dingin menyejukkan, sementara matanya mencari-cari minuman dingin kesukaannya. Rio berdecak puas, dan tangannya pun terjulur untuk mengambil sebuah kaleng susu cokelat dari dalam kulkas tersebut.
"Rio ke kamar, ya, Ma," pamit Rio sambil sibuk membawa piring dan kalengnya dengan kedua tangan. Tasnya yang hanya ia sampirkan ke salah satu bahu agak merosot turun, membuatnya harus meletakkan piring Thomas-nya kembali ke meja dapur untuk membetulkannya, kemudian lagi-lagi mengambil piring biru itu.
Mama mengangguk. "Jangan lupa belajar."
"Iya," jawab Rio, berjalan cepat meninggalkan dapur. Ketika cowok itu sudah berada agak jauh dari ruangan tersebut, ia pun menambahkan, "kalau inget!"
Mama berseru melontarkan protes, namun Rio tidak terlalu sibuk berlari menaiki tangga untuk mendengarkannya. Salah satu pisang gorengnya hampir terjatuh, namun untungnya tubuhnya langsung sigap untuk menunduk, sehingga gorengan yang malang itu tertangkap oleh mulutnya. Sedap.
Sesampainya di kamar, Rio langsung meletakkan kaleng dan piringnya ke atas meja belajar. Lalu, ia membuka ritsleting tas ranselnya untuk mengeluarkan Giselle dan sebuah map berisi foto-foto yang baru dicetaknya.
Rio menggeser piringnya agak menjauh, sementara foto-foto tersebut ia sebar di atas meja untuk diperhatikan satu per satu. Senyumnya perlahan terbit, bersamaan dengan tangannya yang membuka laci mejanya untuk mengambil selotip.
"Cari yang kosong," ucapnya pada diri sendiri sambil memperhatikan dinding kamarnya yang terlihat luar biasa ramai itu untuk mencari tempat bagi foto-foto barunya. "Atau timpa aja? Atau buang? Tapi sayang, banyak yang bagus."
Rio menggigit bibir. Ia pun membawa foto-foto tersebut beserta selotipnya menuju salah satu pojok ruangan yang dindingnya terlihat agak sepi. Kemudian, ia mulai menempel foto-foto dengan teman-temannya sebagai objek itu pada dinding.
Tempel, tempel, tempel.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro