O6: Alfa (1)
/ \
a l f a ;
bintang utama atau yang paling terang dalam suatu gugus bintang
\ /
Mimpi indah Binar terpaksa harus terputus di tengah jalan akibat bunyi jam bekernya yang memekakkan telinga. Cewek itu meraba-raba nakas dengan sebelah tangan untuk mencari asal suara, sementara tangannya yang satu menarik selimut agar lebih rapat lagi. Di luar sedang hujan, dan itu membuat Binar malas bangun pagi. Rasanya, gravitasi pada tempat tidurnya sangat kuat, didukung oleh suasana dingin nan sejuk yang merupakan perpaduan antara angin dari air conditioner dan juga dari cuaca di luar jendela.
Binar mengembuskan napas lega ketika akhirnya bunyi yang mengganggunya barusan telah berhenti. Ia menenggelamkan wajahnya semakin dalam pada bantal, dan mulai kembali terbang ke alam mimpi kalau saja pintunya tidak diketuk-ketuk dari luar. Terpaksa, dengan kesadaran yang masih setengah, Binar bangkit perlahan untuk duduk.
"Siapa?" tanyanya dengan suara parau. Tangannya meraih gelas air mineralnya dari nakas, sebelum akhirnya meneguk isinya banyak-banyak hingga tandas.
Ketukan pada pintu berhenti, disusul oleh suara Mama yang terdengar sangat asing di telinga Binar. "Hari ini Mama berangkat ke Surabaya, lho. Ayo, sarapan bareng-bareng."
Binar terkesiap. Sekarang tanggal berapa? Mengapa dia bisa lupa?
Dengan cepat, Binar bangkit berdiri. Diraihnya tongkat untuk berjaga-jaga, sementara kakinya terus melangkah menuju pintu. Ditarik pintu tersebut agar membuka, dan seseorang, yang tak lain dan tak bukan adalah mamanya, bergerak untuk merangkul Binar dengan hangat.
"Hari ini tanggal enam?" tanya Binar, merasa sedikit resah.
Akibat tidak bersekolah secara resmi lagi, terkadang Binar lupa hari dan tanggal. Terkadang, Alfa memang mengingatkan dan mengharuskan Binar untuk mengingat serta menuliskannya pada buku latihan, namun tidak setiap hari cowok itu dapat membimbing Binar, sehingga akhirnya Binar lupa juga kalau sudah terlalu lama.
"Belum, kok. Masih tanggal dua. Keberangkatannya dipercepat," jawab Mama sambil mengelus puncak kepala Binar. Kini, semakin bertambahnya umur Binar, tingginya perlahan menyaingi tinggi mamanya. Padahal, Mama sudah cukup jangkung untuk ukuran perempuan.
Mengingat hal itu, Binar jadi kembali teringat akan Si Cowok Kamera. Kalau tidak salah, namanya Rio, ya? Cowok itu berkata kalau Binar cocok difoto. Karena apa? Apakah karena ia tinggi?
"Oh," angguk Binar setelah pikirannya kembali fokus pada percakapannya dengan Mama. "Pulangnya berarti juga lebih cepat?"
Mama menghela napas. "Kayaknya, kalau pulang sesuai rencana awal, deh."
"Oh."
Bos Mama sepertinya sangat ambisius dan bossy. Atau mungkin ia adalah seseorang yang sinting dan agak gila kerja. Kalau Binar pikir-pikir, rasanya Mama sudah bekerja melebihi batas jam kerja maksimum yang telah ditetapkan pemerintah. Seolah-olah, Binar dan Si Bos tengah berebut untuk mendapatkan perhatian Mama — yang tentu saja dimenangkan oleh lawan, karena faktor uang.
Andaikan saja mereka bermain tarik tambang ... Binar pasti menang! Sejak kecil, itulah jenis lomba yang paling Binar sukai. Sayangnya, ia sudah tidak bisa mengikutinya lagi sebab orang-orang memandang kemampuannya dengan sebelah mata.
Ah, kalau saja dulu Binar tidak sebodoh itu, tentu saja kini ia tidak perlu meratapi nasib matanya dan juga dirinya sendiri. Kalau saja dulu Binar tidak berusaha bertahan, pasti sekarang ia tengah hidup bahagia. Kalau saja dulu Binar segera memeriksakan matanya ...
"Mama cuma sempat bikin telur orak-arik. Nggak apa-apa, ya?" tanya Mama sambil menarik bangku untuk Binar.
"Nggak apa-apa," jawab Binar. Ia duduk dengan perlahan, sementara hidungnya mencium wangi telur dan kentang rebus yang memenuhi udara. "Makasih, Ma."
Mama mengiyakan dengan penuh semangat. "Sini, piring kamu."
Binar meraba meja untuk mengambil piringnya, kemudian mengangkat benda porselen tersebut untuk disodorkan pada Mama. Mama langsung mengisinya dengan menu sarapan pagi ini. Sambil menunggu, Binar berusaha mencari suara ataupun sosok lain di dalam ruangan, namun hasilnya nihil.
"Nih," ujar Mama. Binar menyambut piring yang sudah terasa agak berat itu dengan kedua tangannya, sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja.
Sambil meraih sendok, Binar menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk kembali meyakinkan dirinya. "Papa mana, Ma?"
"Lembur," jawab Mama sambil menarik bangkunya mendekat ke arah meja, menimbulkan suara tajam yang membuat Binar mengernyitkan hidung.
"Lagi?"
"Lagi."
Binar menghela napas. Ia memaksakan seulas senyum pada Mama, kemudian menunduk untuk melahap makanannya. Lidahnya dimanjakan oleh rasa masakan Mama selama sesaat, sebelum tiba-tiba Binar merasa sangat sedih dan ingin menangis.
"Aku bakalan kangen Mama."
Mama meletakkan sendoknya di atas piring, lalu berdiri dan melangkah menghampiri anak semata wayangnya itu. Dipeluknya Binar dengan erat, sementara hujan di luar turun semakin deras, seolah-olah turut serta merasakan kesedihan yang Binar rasakan.
"Mama sayang Binar. Mama janji, nanti kita senang-senang bareng, ya?"
Binar terisak. Ia mengangguk, sementara tangannya memeluk Mama semakin erat.
—
Binar hampir berhasil menyelesaikan buku yang tengah dibacanya saat ia menunggu Alfa datang. Cewek itu duduk dengan lesu di sofa ruang tamu, dengan pakaian rapi dan lengkap yang tadi pagi ia siapkan bersama Mama sebelum beliau berangkat ke bandara. Kakinya yang dibalut oleh kaus kaki pendek semata kaki terus mengetuk-etuk lantai dengan tidak sabar, sementara satu-satunya suara yang menemaninya hanyalah suara jarum jam yang terus berdetik, dan juga suara tetesan air dari keran westafel yang kurang tertutup rapat.
Tik, tes ... tik, tes ...
Ketika Binar nyaris saja mati akibat kebosanan dan juga mengantuk, bel pintu berbunyi. Binar menutup bukunya dengan perasaan semangat bercampur lega, dan ia pun segera bangkit berdiri untuk menghampiri pintu tersebut.
"The trouble is not in dying for a friend, but in finding a friend worth dying for," ucap Binar, mengutip salah satu kutipan dari salah satu penulis kesukaannya, Mark Twain, untuk benar-benar meyakinkan dirinya bahwa yang berada di luar adalah Alfa.
Alfa terdiam sejenak. "Everyone is a moon, and has a dark side which he never shows to anybody."
Binar tersenyum puas dan segera membuka pintu. "Terlalu gampang?"
Alfa tertawa renyah. "Yah, tapi aku lebih suka kalau kamu pilih kutipan-kutipan dari penulis yang aku suka."
"Maksud Kakak, dari penulis Ensiklopedia?"
"Penyusun," koreksi Alfa sambil melangkah memasuki rumah Binar. "Omong-omong, mamamu bilang kalau kamu sendirian lagi hari ini."
Binar mengangguk. Ia kembali duduk di sofa ruang tamu, sementara Alfa bergerak melepaskan sepatu. "Mama ke Surabaya, dan Papa lembur."
Gerakan Alfa terhenti. Cowok itu terdiam agak lama, sebelum akhirnya membuka mulut. "Kamu mau belajar di sini kayak biasa?"
"Maksudnya?" tanya Binar bingung. "Emang mau kayak gimana lagi?"
"Yah," Alfa berdeham. "Hari ini aku bawa mobil karena hujan. Kalau kamu mau, kita bisa jalan-jalan dulu sebentar dan belajar di luar. Sekalian refreshing, dan kali aja kita bisa ke perpustakaan umum."
Binar terkesiap. "Boleh, tuh?"
"Aku gurunya, dan aku mengizinkan."
"Wah," ucap Binar penuh kekaguman sambil bertepuk tangan. "Aku cinta banget. Ayo, kita pergi!"
Alfa tertawa. "Santai aja. Perpustakaannya nggak bakalan hilang ditelan bumi."
"Bukan perpustakaannya yang bikin aku tertarik, tapi jalan-jalannya," sahut Binar dengan cengiran. Alfa mengacak-acak rambut cewek itu sambil tersenyum.
a u t h o r n o t e s ;
double update! maaf update-nya lama, dan semoga suka. kritik, saran, dan pendapat selalu ditungguuu!
sampai ketemu hari jum'at c:
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro