Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

O4: Kerlip (2)

/ \

k e r l i p ;

cahaya kecil yang sinarnya tampak terputus-putus (sebentar terang, sebentar redup)

\ /


 Binar menghempaskan tubuhnya ke atas sofa ruang keluarga dengan helaan napas puas. Sementara itu, Nova meletakkan dua botol minuman dingin yang baru saja diambilnya dari kulkas ke meja, sebelum akhirnya ikut duduk di sebelah Binar. Meskipun mereka berdua berjalan-jalan di sore hari, sinar sang surya tetaplah menyengat dan seolah dapat menyayat kulit. Tapi, menurut Binar, berjemur sesekali lebih baik daripada mati kebosanan di dalam rumah.

Ayah dan bunda Binar sibuk. Keduanya adalah pekerja keras, sehingga Binar jarang melihat mereka di rumah kecuali saat makan malam. Binar mengerti, apalagi dibutuhkan jumlah uang yang tidak sedikit untuk membayar biaya donor kornea mata.

Sejujurnya, Binar sudah menyerah. Ia ingin mengibarkan bendera putih saja, dan terus menjalani hidupnya dalam pemandangan hitam yang kabur. Namun, baik Ayah maupun Bunda tidak setuju. Mereka bersikeras untuk menyembuhkan Binar. Lembur, pekerjaan ekstra, dan dinas ke luar kota pun dijalani.

"Nih, Kak," ucap Nova sambil meletakkan salah satu botol tadi ke dalam genggaman tangan Binar.

Binar tersenyum. Hawa dingin dari botol mulai menjalar melalui syarafnya, menimbulkan perasaan segar yang membuatnya lebih rileks. "Makasih, ya. Eh, sekarang jam berapa, Nov?"

Nova merubah posisi duduknya, lalu terdiam sejenak. Sepertinya sedang memperhatikan jam. Semoga saja informasinya akurat.

Setelah penantian selama beberapa lama, Nova pun menjawab. "Jam lima, Kak."

"Jarum panjang di angka dua belas, jarum pendek di angka lima?"

"Iya, Kak. Jarum panjangnya agak condong ke angka satu, sih."

Binar tertawa. "Oke. Kayaknya kamu bakal dijemput sebentar lagi."

Nova menghela napas keras. "Yah, aku tahu. Kak Alfa datang jam berapa, Kak?"

"Nggak lama lagi," jawab Binar tak pasti sembari merogoh-rogoh saku cardigan yang dikenakannya. Tangannya perlahan menyentuh sebuah kertas foto yang agak tebal. Ukurannya tidak begitu besar, namun sedikit lebih besar daripada telapak tangannya.

"Itu apa, Kak?" tanya Nova ingin tahu sambil merebut foto tersebut dari tangan Binar.

Binar berdecak kesal. "Kamu jangan suka asal sambar gitu, dong."

"Sori, Kak," kekeh Nova. "Ah, Kakak cantik banget! Tadi aku juga lihat dari jauh kalau Kakak difoto-foto sama orang. Dia teman Kakak?"

"Sini, ah," omel Binar dengan tangannya yang kembali merebut foto tersebut tanpa susah payah. Lalu, ia berpikir sejenak sebelum akhirnya mengedikkan bahu. "Nggak juga. Kalau teman, kita foto berdua. Selfie, gitu. Kalau aku difoto, artinya bukan."

"Oh? Terus, dia siapanya Kakak?"

Binar mengetuk-etukkan jari telunjuknya ke dagu. "Hmm, rekan kerja?"

"Wah! Kakak udah kerja sekarang? Ah, hebat banget!" seru Nova heboh. "Kapan aku bisa kerja juga, Kak?"

Dengan gemas, Binar menjulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Nova. "Sekolah dulu. Kalau kamu rajin belajar dan nilai-nilai kamu bagus, nanti kamu bisa kerja juga."

Nova manggut-manggut. Gadis kecil itu kemudian menggumamkan beberapa hal yang sayangnya tak dapat ditangkap oleh telinga Binar karena suara klakson mobil di depan rumah. Sontak, Binar dan Nova pun berdiri. Binar paling benci saat-saat seperti ini. Perpisahan, saat di mana dia harus mengucapkan selamat tinggal.

"Yuk, aku antar ke depan," ucap Binar.

Binar pun meraih tangan Nova dan menggenggamnya. Keduanya pun berjalan menuju ruang tamu. Nova kembali berceloteh mengenai cita-citanya yang akan sama seperti Binar, apapun itu, sementara Binar sendiri sibuk menjejalkan foto tadi ke dalam saku cardigan-nya lagi.

Binar menarik paksa kedua earphone yang menyumpal lubang telinganya ketika ia mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Dengan tertatih-tatih akibat terlalu lama duduk, Binar melangkah turun dari tempat tidurnya sambil merapikan rambut dan pakaiannya. Diraihnya botol parfum yang berada di meja rias, menyemprotkan isinya beberapa kali ke permukaan baju, lalu ia pun meletakkan botol tersebut kembali sambil berdeham untuk menjernihkan suaranya.

"Masuk!" serunya.

Ketukan pada pintu terhenti, diikuti oleh gerakan membuka dari benda berbahan dasar kayu itu akibat gaya dorong dari luar. Binar menyunggingkan senyum lebar ketika irama langkah kaki yang familier menyapa indra pendengarannya detik itu juga.

"Kak Alfa!" sapa Binar dengan semangat. "Masuk, Kak. Maaf kalau berantakan."

Alfa tertawa kecil. "Makasih, Sab. Aku taruh tasku di deket meja belajar kamu aja, ya."

"Iya, Kak," angguk Binar sambil perlahan merapikan buku-buku yang memenuhi permukaan meja belajarnya.

Belakangan ini, Binar tengah mencoba untuk melatih kemampuan membaca huruf Braille-nya. Sekadar berjaga-jaga, apabila ia tidak kunjung mendapatkan donor sampai penglihatannya betul-betul hilang, atau bahkan sampai malaikat maut menjemput.

Saat ini, meskipun sedikit dan agak memaksa, Binar dapat melihat gerakan samar yang ditimbulkan Alfa. Namun, hanya sekadar itu. Entah apa yang dilakukan Alfa pun Binar tidak tahu, apalagi pakaian yang dikenakan gurunya itu beserta warnanya. Andai saja Binar memaksakan netranya untuk dapat melihat, pasti dia sudah tahu rupa Rio, cowok yang memotretnya tadi.

Alfa mengambil alih buku-buku yang berada dalam tangan Binar. "Hari ini Nova dateng?"

Binar mengangguk.

"Aku ketemu Dokter Wirawan tadi. Katanya, kamu belum ketemu dia bulan ini."

Binar terdiam sejenak, lalu ia pun tertawa. "Ah, kita belajar apa hari ini, Kak? Aku suka audio book Biologi yang Kakak kasih. Belum selesai, sih. Sedikit lagi."

Alfa tersenyum kecil sambil duduk di atas kursi, diikuti oleh Binar yang segera duduk di sebelahnya dengan sedikit muram. "Kamu mau denger lagu apa dulu hari ini?"

"Apa aja."

Alfa terdiam, kemudian mengutak-atik ponselnya sebelum akhirnya alunan piano klasik mulai terdengar memenuhi ruangan. Binar mendengarkan dalam diam. Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang Binar sukai dari Alfa. Dia tenang, dewasa, dan sangat mengerti Binar.

Alfa adalah teman sekaligus guru Binar. Sejak Binar menderita kerusakan kornea mata dan penglihatannya perlahan menghilang, cewek itu memutuskan untuk berhenti sekolah dan terus mendekam diri di dalam kamarnya. Ia melamun setiap saat tanpa melakukan kegiatan bermanfaat. Hal itulah yang mendorong Ayah untuk memberikan pekerjaan pada Alfa, yang dulu berstatus sebagai mahasiswa jurusan Kimia.

Awalnya, Binar berpikir kalau Alfa itu musuh. Namun, sekeras dan sejahat apapun Binar memperlakukan Alfa, cowok itu tidak kunjung berhenti. Hingga akhirnya, Binar pun menyerah dan membiarkan Alfa membimbingnya.

Setidaknya, Binar bisa mensyukuri satu hal akibat kondisinya ini — dia dapat bertemu dan mengenal Alfa.

Lamunan Binar terbuyarkan ketika tangannya digoyangkan dengan lembut. Keheningan menyapa, dan Binar pun menyadari kalau musik yang tengah mereka dengarkan telah berhenti terputar.

"Mikir apa?" tanya Alfa. Ia menarik tangannya dan mulai membuka-buka bukunya untuk mencari materi hari ini.

Binar tersenyum. "Bukan apa-apa."

Alfa mengetuk-etukkan jarinya ke permukaan meja, ciri khasnya tiap kali ia tengah berpikir. Lalu, tiba-tiba, ia menyeletuk, "Sab, gigi apa yang nggak punya gigi?"

"Kak, aku nggak apa-apa."

"Emang kalau main tebak-tebakan harus apa-apa dulu?" balas Alfa. "Jawab, cepet."

Binar menghela napas. "Nggak tahu."

"Kamu bahkan nggak mencoba buat mikir!"

"Kasih tahu aja jawabannya."

"Nggak seru, dong. Apa gunanya tebak-tebakan kalau nggak ditebak?"

Binar lupa kalau Alfa pernah menjadi juara lomba debat nasional. Membahas topik berat saja bisa, apalagi hanya memperdebatkan hal remeh macam ini. Binar bisa mati kutu. Yah, sudah mati sejak dulu, sih.

Binar pun memaksakan dirinya untuk berpikir. "Gigi yang nggak punya gigi? Ompong!"

Alfa terdiam, lalu tiba-tiba cowok itu terbahak-bahak. "Salah!"

"Gigi bolong?"

"Salah!"

"Kasih tahu aja, plis."

"Hmm," Alfa menimbang-nimbang sebentar. "Yaudah. Jawabannya, Gigi Hadid waktu masih bayi. Gigi nggak punya gigi!"

Binar mendengus. "Gitu doang."

"Tapi nggak bisa nebak," tukas Alfa.

"Yaudah, kita belajar aja, Kak. Aku nggak apa-apa, serius. Hari ini materi baru?"

"Eh, ini apa?" Bukannya menjawab, fokus Alfa justru teralihkan pada sesuatu di meja belajar Binar. Otak Binar langsung berputar cepat, memikirkan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat membuat Alfa kaget begitu.

Terdengar suara kertas ditarik, lalu dibolak-balik. Ah, sepertinya, itu adalah foto yang dipotret oleh Rio. Seharusnya Binar tidak meletakkannya di sana.

"Wah, tekniknya bagus. Dalam rangka apa kamu foto-foto gini?"

Binar berdecak. "Bagus banget, ya? Nggak tahu, ada orang tadi tiba-tiba nawarin. Sebagai pengalaman aja, Kak."

Alfa terdiam lama. Cowok itu meletakkan foto tersebut kembali ke tempatnya, sebelum akhirnya berkata dengan suaranya yang dalam dan tegas, "Kamu tahu, sekarang modus kejahatan itu macam-macam."

"Aku tahu, Kak. Tapi dia bukan orang jahat."

"Nggak ada orang jahat yang menunjukkan kalau dirinya jahat."

Binar mengembuskan napas dalam-dalam. "Aku cuma mau senang-senang aja. Sekali aja. Kakak juga udah lihat, 'kan? Hasil fotonya bagus, dan aku bukannya dipaksa foto jorok atau apa —"

"Sabrina."

"Aku bosen, Kak. Di rumah terus. Sendirian. Harusnya Kakak bersyukur aku nggak manggil setan buat jadi temenku. Stop bates-batesin aku."

"Hah?! Setan? Kamu nggak belajar dari pengalaman para tokoh di film horor, ya?" Suara Alfa meninggi. Kemudian, sadar bahwa Binar sedang berusaha untuk bercanda, ia pun berdeham. "Maaf."

"Bukan salah Kakak," balas Binar dengan kikuk.

"Kamu mau aku ke sini lebih sering? Buat nemenin kamu?" tanya Alfa dengan hati-hati.

Binar menggeleng. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. "Nggak perlu. Aku bukan anak kecil."


a u t h o r   n o t e s ;

maaf telat update hehe semoga suka! c: ada kritik atau saran sejauh ini? jujur aja ya, dan jangan lupa pakai bahasa yang sopan!

sampai ketemu hari selasa~ doain aku cepet ketemu cast yang cocok supaya bisa bikin trailer dan moodboard-nya hehe c:

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro