O3: Kerlip (1)
/ \
k e r l i p ;
cahaya kecil yang sinarnya tampak terputus-putus (sebentar terang, sebentar redup)
\ /
"Sembilan belas ... dua puluh! Oke, aku cari, ya!"
Binar melangkah mundur menjauhi dinding, kemudian kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Bibirnya melengkung ke bawah sedikit ketika menyadari bahwa seisi rumah kini dalam keadaan hening. Hanya ada suara gitar yang tengah dipetik oleh ayahnya di lantai atas, dan juga bunyi langkah kaki anjing peliharaannya, Keyla, yang sedang asyik berlari-larian di dekat kakinya.
Binar mengetuk-etukkan tongkatnya dengan pelan ke lantai, kemudian ia pun mulai berjalan. Meskipun Binar sudah menghafal setiap jengkal isi rumah ini di luar kepalanya, tetap saja ia perlu memakai tongkat kalau sedang bermain, apalagi kalau Keyla tiba-tiba berjalan di depannya.
Umur Binar memang sudah hampir 17 tahun, tetapi ia tetap selalu memainkan permainan petak umpat tiap kali sepupunya, Nova, datang ke rumah. Selain karena Nova masih sangat kecil dan belum punya teman atau saudara, Binar sendiri sering merasa kebosanan sehingga kegiatan ini semacam simbiosis mutualisme.
Langkah Binar memelan begitu ia dan Keyla melewati ruang makan. Samar, Binar dapat mendengar suara tawa tertahan di bawah meja. Senyum Binar terbit, dan cewek itu pun segera berjongkok dan menyingkap taplak yang menutupi kolongnya.
"Ketemu!" seru Binar, bersamaan dengan suara tawa Nova yang langsung meledak lucu.
"Kak Binar curang, ya?" ucap Nova sambil merangkak keluar dari bawah meja. Binar mengulurkan tangannya, membantu Nova untuk berdiri.
Binar mengacak-acak rambut Nova. "Nggak, lah. Tanya aja Keyla."
Keyla menyalak.
"Iya, deh," sahut Nova dengan agak tidak ikhlas.
Binar merogoh saku sweater-nya sejenak, sebelum akhirnya mengeluarkan sebatang cokelat dari dalamnya. Disodorkannya cokelat itu dengan main-main ke arah Nova, lalu ia kembali memasukkannya ke dalam saku ketika tangan gesit Nova hampir menyambar makanan manis tersebut dari tangannya.
"Eits, nggak boleh! Kesepakatannya kan kamu harus menang, baru dikasih cokelat!"
Nova langsung meraih kedua tangan Binar dan menariknya dengan penuh semangat. Selama sepersekian detik, jantung Binar rasanya hampir copot karena ia kehilangan panduan arah dari tongkatnya. Namun, otak Binar segera mengirimkan impuls-impuls berisikan denah rumah ke seluruh indranya, sehingga langkah kakinya kembali stabil.
Belok kiri. Masuk ruang tamu. Buka pintu depan, lalu ditutup. Kemudian, Nova melepaskan genggaman tangan mereka sejenak untuk meletakkan sepasang sandal di depan kaki Binar. Binar segera mengenakannya setelah menggumamkan ucapan terima kasih.
Binar langsung merasakan terpaan angin sore yang sepoi-sepoi di wajahnya ketika Nova kembali menuntunnya keluar dari pekarangan rumah. Indra pendengarannya pun mulai dipenuhi oleh berbagai macam suara berbeda — suara tetangga-tetangganya, suara klakson mobil, suara cipratan air dari tanaman yang sedang disiram, dan suara kucing yang sedang sibuk mencari makan.
"Kita mau ke mana?" tanya Binar pada Nova yang sudah berjalan dengan kecepatan biasa, tak lagi berlari.
"Taman," jawab Nova. "Kita main masak-masakan ya, Kak! Kita lomba. Nanti, yang masakannya nggak enak, berarti kalah!"
Binar menautkan alis. "Masak pakai apa?"
"Daun, bunga ... ah, Kakak masa' nggak tahu?"
"Siapa yang mau nyobain hasil masakannya nanti?"
Nova terdiam sejenak, berpikir-pikir sambil menerawang. Binar dapat merasakannya dari genggaman tangan mereka yang sedikit melonggar.
"Yang penting, kita masak dulu, Kak. Pokoknya, aku harus menang!"
Binar tertawa. "Yaudah."
—
Binar duduk di salah satu bangku taman yang tersedia, menunggu Nova selesai mengumpulkan satu per satu dedaunan, bunga-bunga, dan buah-buahan kecil yang berjatuhan, sambil menyenandungkan lagu kesukaannya. Kakinya mengetuk-etuk permukaan aspal mengikuti tempo, berusaha mengalihkan fokusnya dari memikirkan orang-orang yang saat ini sedang memperhatikannya lekat-lekat. Daripada merasa rendah diri, lebih baik Binar melakukan hal-hal yang disukainya.
Sebuah perasaan kurang nyaman mulai hinggap dalam hati Binar ketika Nova tak kunjung kembali. Harusnya, Nova membiarkan Keyla untuk ikut serta agar dapat menjaganya. Binar menghela napas dalam. Tanpa tongkatnya, ia merasa benar-benar buta.
Binar baru akan bangkit berdiri ketika tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Tanpa butuh berpikir lama pun Binar tahu kalau orang itu bukanlah Nova. Badannya jauh lebih berat dan besar, sehingga pundak mereka berdua nyaris bersentuhan. Refleks, Binar beringsut menjauh sambil mengingat-ingat jurus-jurus bela diri yang pernah diajarkan ayahnya.
Cara tercepat, tendang saja 'itu'-nya! Ah, tapi, itu kan hanya untuk cowok. Bagaimana kalau orang ini membawa teman-temannya? Bagaimana kalau jumlah mereka banyak? Bagaimana kalau ada ceweknya? Tidak mungkin Binar bertengkar dengan cara jambak-jambakan.
"Sori, saya nggak bermaksud lancang," orang yang duduk di sebelahnya tersebut berkata. Binar terdiam sejenak, berusaha mencerna suara lawan bicaranya yang terdengar asing itu.
Suaranya agak berat, namun jernih dan terdengar hangat. Meskipun begitu, Binar tidak bisa berleha-leha begitu saja. Motif-motif kejahatan belakangan ini sangat beragam. Apalagi, sampai sekarang, Nova belum terlihat juga batang hidungnya.
Yah, Binar memang tidak dapat melihatnya, sih.
"Siapa, ya?" tanya Binar setelah terdiam beberapa lama.
"Romario. Panggil aja Rio," sahut cowok di sebelahnya. Binar sedikit menundukkan kepalanya, mengira-ngira apakah tangan Rio terjulur untuk menjabat miliknya.
Binar menggerakkan tangannya ke depan, namun ia tidak menemukan tangan atau benda apapun selain angin. "Eh, saya Sabrina."
"Agak ke atas sedikit," ucap Rio dengan kekehan kecil sambil menggerakkan tangannya ke bawah untuk menjabat tangan Binar dengan erat dan bersahabat. Rasa curiga Binar perlahan terkikis.
"Sori," balas Binar, kemudian menarik tangannya kembali. "Kenapa, ya?"
"Hm?"
Binar menggigit pipi bagian dalamnya. "Kenapa kamu ke sini?"
Binar tidak dapat menghilangkan nada suara penuh tuduhan itu dari pertanyaan yang ia lontarkan barusan. Binar juga tidak punya alasan untuk tidak menuduh cowok di depannya ini macam-macam. Atau setidaknya, belum.
"Oh," Rio membetulkan duduknya. "Saya tahu ini aneh banget, tapi ... saya lagi butuh objek foto."
"Dan ...?"
"Dan saya mau motret kamu."
Binar melongo. "Hah?"
"Kamu berhak nolak, kok. Tapi, saya pikir, kamu itu cocok buat difoto," ucap Rio dengan terburu-buru. "Saya juga biasanya motret objek mati, dan saya bukan profesional yang bisa kasih kamu bayaran atau apalah. Jadi, kamu boleh nolak."
"Fotonya buat apa?" tanya Binar ingin tahu.
Rio tertawa kecil. "Saya lagi mencari ... apa, ya? Inspirasi?"
Binar menunggu.
"Saya baru mulai mau mendalami fotografi lagi. Saya sempat berhenti selama beberapa lama karena satu dan lain hal. So, saya butuh inspirasi dan ide-ide supaya 'jiwa' saya bangkit lagi," jelas Rio dengan agak enggan. "Kamu boleh nolak, kok."
Binar tersenyum, lalu menggeleng cepat. "Saya nggak bermaksud gitu."
Keheningan menyelimuti atmosfer keduanya selama beberapa lama. Binar menimbang-nimbang keputusannya. Sementara itu, entah mengapa ia tidak bisa membaca gerakan ataupun ekspresi yang ditunjukkan Rio kecuali cowok itu menimbulkan suara. Selain hipotesis kalau Rio masih duduk di sebelahnya, Binar tidak akan tahu kalau ternyata cowok itu tengah menjulurkan lidah ke arahnya untuk meledek atau sejenisnya.
Ah, mengapa sih, Binar tidak bisa berhenti berpikiran negatif?
"Kalau saya setuju, boleh cetak hasilnya dan kasih ke saya?" ucap Binar akhirnya.
Rio terkesiap. "Kamu serius mau?"
"Jawab dulu."
"Iya, sepuluh kali cetak juga nggak apa-apa!"
Binar tertawa. "Yaudah. Saya harus pose gimana?"
a u t h o r n o t e s ;
bagaimana pendapat kamu tentang binar?
oh, dan maaf ya kalau aku suka nggak jawab komen, soalnya sibuk banget! kalau sempet pasti dibales kokkk c:
sampai ketemu hari jum'at!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro