27. Fusi (3)
Rio tidak tahu kenapa dia harus menghabiskan hari Minggu paginya untuk pergi memutari kota Jakarta demi mencari sebuah alamat. Harusnya, sekarang dia masih berbaring sambil memeluk bantal dan guling, dengan mata terpejam rapat dan arwah mengawang-ngawang di alam mimpi. Sayangnya, karena ojek online yang ditumpanginya harus mampir di bengkel selama beberapa menit karena ban yang bocor, Rio harus bertanya ke sana-sini karena nampaknya sang abang ojek juga salah alamat.
Untungnya, ketika jam menunjukkan pukul sebelas pagi (iya, jam sebelas itu masih pagi!), akhirnya Rio sampai juga di gerbang sebuah kampus yang dimaksudkan Ghea dengan peluh menghiasi kening dan tengkuk.
Ah, kenapa sih, belakangan ini dia cupu sekali? Sedikit-sedikit sudah kelelahan.
Mengedikkan bahu, Rio pun melangkah cepat memasuki wilayah kampus tersebut. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sebuah sosok familiar yang sudah berjanji untuk menemuinya pukul sebelas kurang.
Kaki Rio berhenti bergerak begitu ia sudah berada di bawah sebuah pohon teduh yang melindunginya dari terik sinar matahari. Dikeluarkannya ponsel dari saku celana, sebelum akhirnya ia menekan-nekan layar benda elektronik tersebut untuk menelepon.
"Halo?"
"Ghe, di mana orangnya?" tanya Rio cepat. Keningnya berkerut karena tiba-tiba ia merasa mual. Ah, dia harus segera pergi dari sini dan menyantap makan siang.
Ghea berdecak. "Katanya di deket gerbang, kok! Lo nggak lihat siapa-siapa di situ?"
Rio melemparkan pandangannya kembali ke arah gerbang. Matanya sedikit menyipit. "Yang mana, sih? Pusing nih gue. Pake baju apa?"
"Putih," jawab Ghea setelah terdiam sejenak. "Lo harusnya nggak usah maksain pergi kalau emang lagi sakit. Gue kan bisa."
"Masa lo terus," gumam Rio. Matanya bergerak-gerak mencari sosok berbaju putih di antara beberapa orang yang sedang bolak-balik di sekitar gerbang. "Eh, orangnya tinggi, ya?"
"Nggak tahu. Gue cuma liat foto profilnya doang. Ganteng, sih."
Rio mendengkus. "Selera lo biasanya agak aneh gitu, jadi gue nggak percaya. Gue tutup dulu, ya. Nanti gue telepon lagi kalau ada apa-apa."
"Terserah lo, deh. Makasih, Yo."
"Sama-sama." Panggilan pun ditutup.
Rio menghela napas, lalu berlari-lari kecil kembali ke arah gerbang. Dihampirinya seorang cowok berkemeja putih yang sedang memegang sebuah map biru. Perawakannya tinggi, terlihat rapi, dan wajahnya kelihatan nggak buruk-buruk amat, kalau memang ini orang yang Ghea maksud.
Sepertinya tadi orang ini tidak ada di sini saat Rio sampai.
"Ezra?" tanya Rio untuk memastikan.
Orang itu menoleh cepat ke arah Rio. Seulas senyum terulas di bibirnya, namun entah mengapa Rio melihat sedikit kekakuan di dalam senyuman tersebut. "Rio, ya?" Rio mengangguk, dan Ezra pun melanjutkan, "Ke tempat yang lebih adem dikit, yuk."
Rio menautkan alis, namun tak urung tetap mengikuti Ezra. Keduanya pun melangkah memasuki kampus lebih dalam lagi, dan Rio makin bertanya-tanya ketika Ezra mengajaknya ke kantin. Cowok itu dengan cuek langsung duduk pada salah satu bangku, diikuti oleh Rio yang duduk di depannya dengan ragu-ragu.
"Ghea bilang, formulirnya mau langsung diisi di tempat, 'kan? Sekalian, kalau lo mau makan."
Rio memandangi Ezra dengan aneh.
"Gue nggak bermaksud apa-apa, cuma lo kelihatan pucet banget. Nanti kalau lo pingsan, gue bingung harus ngapain," terang Ezra cepat, membuat Rio mengangguk pelan sambil mengusap tengkuknya. Lawan bicara Rio itu pun meletakkan mapnya di atas meja, dan juga sebuah pulpen yang sudah kehilangan tutupnya. "Nih, lo isi aja. Tanya kalau ada yang bikin bingung atau apa. Lo mau makan apa? Gue pesenin."
Cowok ini kenapa sok akrab sekali? Bukannya Rio mengeluh, sih. Tapi, agak aneh saja. Atau memang sifatnya begitu?
Rio ingin menjawab 'apa aja', tapi dia takut Ezra memesankannya makanan mahal, sehingga dia hanya bergumam pelan, "Nasi goreng."
Ezra mengangguk. "Minumannya?"
"Air mineral botol aja."
"Oke. Diisi, ya. Gue ke sana dulu."
Rio mengangguk pelan. Ezra pun berbalik dan pergi menghampiri kios makanan yang kelihatan sibuk. Cowok itu menoleh singkat ke arah Rio untuk mengacungkan ibu jari, dan Rio pun membalasnya dengan senyuman singkat sebelum akhirnya fokus mengisi formulirnya.
—
"Gue tanda tangan di sini?"
Ezra yang tengah memainkan ponselnya memindahkan fokusnya pada Rio begitu cowok itu menyuarakan pertanyaannya. Ditatapnya sejenak bagian formulir yang ditunjuk dengan jari, kemudian ia mengangguk. "Iya. Udah selesai?"
Rio membubuhkan tanda tangannya, lalu mendorong map berisi formulir tersebut pada Ezra kembali. "Udah."
"Oke. Gue cek sebentar ya, biar lo bisa langsung pulang," ucap Ezra sambil menarik map tadi mendekat. "Eh, Rio."
"Hmm?" Rio mengangkat wajahnya yang baru saja menunduk untuk melahap nasi gorengnya yang sudah agak mendingin.
Ezra meletakkan ponselnya ke atas meja. "Lo asma, nggak?"
"Nggak, kenapa?"
"Kalau gue ngerokok, boleh?"
Mata Rio sedikit melebar ketika memdengar penuturan Ezra. Diliriknya sekitar, sebelum akhirnya ia mengedikkan bahu. "Emangnya di sini boleh ngerokok?"
"Nggak tahu," kekeh Ezra. "Gue bukan anak kampus ini."
"Lho? Terus ...?"
"Jangan mikir macem-macem dulu," sergah Ezra cepat. "Gue emang nggak ngerti apa-apaan sih, soal fotografi. Gue di sini sebenernya gantiin temen gue, toh cuma ngasih formulir."
Sebelah alis Rio terangkat. "Kenapa harus di sini?"
"Gue nyari orang."
"Oh?"
"Bukan hilang beneran, tapi gue semacem kehilangan kontak," terang Ezra tanpa diminta. Cowok itu tidak jadi mengeluarkan bungkus rokoknya, melainkan justru sibuk mencerna tulisan tangan Rio yang untungnya masih bisa dibaca. "Tempat ini doang yang bisa jadi penghubung. Itu pun kalau gue hoki. Aduh, mulut gue pahit banget rasanya."
Rio sebenarnya tidak mengerti, tapi dia manggut-manggut saja. Disodorkannya pulpen tanpa tutup tadi pada Ezra ketika cowok itu menengadahkan tangannya.
"Udah lengkap, sih," angguk Ezra sambil menutup mapnya. Lalu, ia menoleh ke arah kios-kios kantin lagi. "Gue mau minjem korek dulu. Lo mau di sini atau ...?"
Rio tersenyum tipis. "Kayaknya gue pulang aja."
Ezra membalas senyum tersebut dengan lebih ramah daripada sebelumnya. "Oke. Soal uang pendaftaran, nanti temen gue aja yang omongin sama Ghea."
Rio menggerakan kepalanya kembali untuk mengangguk, sebelum akhirnya ia segera merapikan meja yang sedikit kotor, memasukkan ponsel dan dompetnya ke saku celana, kemudian bangkit berdiri. Ia baru akan melangkah pergi ketika tersadar kalau map pendaftarannya masih ada di atas meja. Menghela napas, Rio pun duduk lagi, menunggu Ezra kembali.
Sambil menunggu, Rio melemparkan pandangannya ke sekitar. Ternyata banyak juga individu sejenis Rio yang sangat mencintai hari Minggu, sebab kantin tidak begitu ramai, dan sepertinya semuanya sedang duduk dengan malas-malasan.
Bagaimana ya, rasanya menjadi mereka? Rio sering sekali berpikiran demikian tiap kali melihat seseorang yang menarik minatnya. Dia tidak tahu itu hal yang baik atau buruk.
Tangan Rio sudah hampir menarik ponselnya dari saku ketika tiba-tiba sebuah sosok familiar menghampirinya dengan seulas senyum secerah matahari. Rio sampai harus menyipitkan matanya karena silau, sekaligus sebab ia tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas.
"Rio? Kenapa di sini?"
Kening Rio berkerut. Siapa, ya? Ah, Indo. Atau Alfa? Ha, lucu sekali. "Alfa? Lo sendiri ngapain di sini?"
"Kampus gue di sini."
"Oh."
"Iya."
Kecanggungan sudah bersiap untuk menyelimuti atmosfer di antara keduanya ketika tiba-tiba Ezra kembali dengan sebuah korek di tangan kiri. Sebatang rokok yang belum dinyalakan terjepit di antara kedua bibirnya yang kering.
Cowok itu menatap Rio dan Alfa bergantian. "Belum pulang, Yo?"
"Takut mapnya dicuri orang," jawab Rio dengan nada sarkas yang membuat Ezra meringis dan buru-buru mengambil map yang dimaksud serta langsung mendekapnya dalam pelukan.
"Sori. Ini siapa?"
Rio berdeham. "Gurunya temen gue. Lo beneran cuma gurunya Binar, 'kan?"
Alfa hanya memutar bola mata.
Ezra ber-'oh' pelan. Diraihnya batang rokoknya kembali ke luar. "Masih muda?"
"Nggak baik menilai dari tampilannya," kekeh Rio. "Ah, iya. Alfa, ini—"
"Reza," tukas Ezra cepat. "Gue Reza. Salam kenal."
Raut bingung langsung menghiasi wajah Rio. "Eh ... Reza, ini Alfa."
Alfa menyodorkan tangannya, yang langsung dibalas Ezra dengan kuat. Rio menelan ludah. Perasaannya berubah tidak enak.
-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro