Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23: Kedip (1)

/ \

k e d i p ;

gerak nyala api dan sebagainya yang kecil (sebentar kelihatan padam, sebentar menyala lagi)

\ /


 Pengumuman yang baru saja menggema di wilayah taman bermain tersebut membuat Binar mematung selama beberapa milisekon. Cewek itu menautkan kedua tangannya sendiri sebagai upaya penenangan diri. Bilik bianglala yang mereka naiki masih sedikit bergoyang akibat pergerakan yang terjadi beberapa menit sebelumnya, dan itu tidak memperbaik keadaan.

Sejenak, tidak ada yang bergerak ataupun bersuara, selain jantung Binar yang berdebar tidak karuan. Ia menahan napas, berusaha menenangkan organ tubuhnya yang malang itu, namun sepertinya tidak berefek banyak. Sebaliknya, jantungnya semakin berdegup cepat akibat panik kekurangan oksigen. Buru-buru, Binar meraup okseigen banyak-banyak.

Binar lupa kalau Rio dapat melihatnya.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Rio. Binar tidak dapat membaca intonasi, apalagi ekspresi milik cowok di hadapannya itu.

Binar mengangguk kecil. "Kamu sendiri?"

Yang tidak Binar duga, Rio langsung bungkam setelahnya. Binar tidak tahu harus melakukan apa, atau bertingkah bagaimana, sebab ia takut kalau-kalau ia akan salah gerak atau salah bicara lagi. Dengan cepat, Binar menekan kedua bibirnya rapat-rapat sambil menyumpahi dirinya sendiri dalam hati.

"Sori, aku salah ngomong, ya?" tanya Binar kemudian, meskipun dia bingung setengah mati mengapa menanyakan keadaan seseorang dapat menyinggung hati.

Rio menukas cepat. "Nggak, kok."

Hening sejenak. Binar menyandarkan tubuhnya agar terlihat lebih rileks, sementara Rio tidak menimbulkan suara apa-apa, sehingga sulit bagi Binar untuk menebak-nebak apa yang tengah dilakukan cowok itu.

"Gue sebenarnya sedikit takut ketinggian," gumam Rio setelahnya, nyaris seperti bisikan. Kalau Binar tidak terlatih menjadi pendengar yang baik layaknya kelelawar, mungkin dia tidak akan dapat menangkap perkataan Rio barusan. Untungnya, Binar sudah terbiasa, sehingga tanpa perlu diulang dua kali, ia langsung tahu apa yang Rio katakan.

Sebetulnya, pengakuan Rio barusan tidak begitu mengejutkan Binar. Seharian ini, cewek tersebut sudah merasa kalau Rio itu kelewat tegang tiap kali mereka menaiki wahana-wahana yang berhubungan dengan ketinggian. Binar juga tidak buta-buta amat untuk tidak merasakan kecemasan Rio selama mereka mengantri untuk menaiki bianglala ini tadi.

Binar agak bingung saja, mengapa Rio tidak jujur dan justru memendam semuanya sendiri. Harga diri? Gengsi? Bahkan ketika Binar bertanya tadi, Rio enggan berkata jujur. Kalau Binar sendiri, ia tidak akan mau berbohong dan mengorbankan jantungnya yang bisa copot kapan saja.

Binar pun menyuarakan pikirannya itu. Dan sebagai jawaban, Rio tertawa kecil. "Malu, lah. Lo yang cewek aja berani."

"Aku kan udah bilang, semua orang itu wajar punya ketakutan tersendiri," ucap Binar sembari menyunggingkan senyuman. "Berarti tebakanku tadi bener?"

Rio mendengkus pelan. "Hmm."

Binar terkekeh. Ia pun melepas snapback-nya dan menggunakannya sebagai kipas sambil menunggu bianglala kembali bergerak. Sepertinya, dia baru merasa kepanasan sekarang karena dia sudah tidak melakukan pergerakan berarti lagi, berbanding terbalik dengan berjam-jam yang lalu, di mana ia terus berlari ke sana dan ke sini sambil menyeret Rio untuk pergi ke wahana-wahana favoritnya.

"Nar," panggil Rio tiba-tiba.

"Ya?"

Rio terlihat ragu sesaat, sebelum akhirnya mengatakan, "Main twenty questions itu, yuk?"

"Apaan, tuh?"

"Itu, lho," Rio berpikir sejenak, "gue nanya, terus lo jawab. Abis itu, lo tanya, terus gue yang jawab. Gitu. Buat saling kenal satu sama lain aja."

Binar menaikkan sebelah alisnya.

"Sekalian buat ngisi waktu. Kita nggak tahu berapa lama kita stuck di sini."

Ide bagus, hanya saja Binar takut pertanyaan Rio akan menyentuh topik-topik sensitif. Bukannya Binar ingin berusaha terlihat sekretif dan tertutup, namun ada beberapa hal yang ia rasa hanya boleh disimpan baik-baik untuk diri sendiri.

Tapi, akhirnya, Binar pun mengangguk mengiakan.

"Lo boleh tanya duluan," ucap Rio.

Binar berpikir sebentar. "Warna kesukaan?"

"Lo serius?" gelak Rio. "Hitam. Hal yang paling lo sukai dari diri lo sendiri?"

Oke, itu sulit. Binar menyesal karena sudah menanyakan pertanyaan yang kelewat mudah untuk Rio. Warna? Memangnya apa fungsi Binar menanyakan itu? Dan berbanding terbalik dari jawaban Rio itu, Binar sendiri sih sudah sangat muak dengan warna hitam yang menyelimuti penglihatannya.

"Aku nggak tahu," jawab Binar akhirnya.

"Rambut lo bagus," usul Rio. "Atau hidung lo. Nggak pesek kayak gue."

Binar tertawa. "Mata. Aku suka mataku." Lalu, tanpa menunggu respons Rio, Binar langsung mengajukan pertanyaan berikutnya. "Apa lagi yang kamu takuti selain ketinggian?"

"Mati. Dan kehilangan," gumam Rio, terdengar seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Tempat yang mau lo kunjungi?"

"Kutub, atau tempat yang dingin-dingin. Di mana aja, 'kan?"

"Itu pertanyaan buat gue atau ...?"

Binar buru-buru menyerobot. "Bukan!"

Rio tertawa.

"Gimana lomba kamu yang kemarin?"

"Udah gue jawab: buruk," sahut Rio santai.

"Buruk kenapa?"

"Giliran gue sekarang," kekeh Rio. Binar mengerucutkan bibir, dan Rio pun melanjutkan. "Pernah pacaran?"

Aduh, lidah Binar langsung terasa pahit. "Pernah. Buruk kenapa?"

"Gimana, ya? Gue semacam ... bohong sama teman-teman gue. Pokoknya, buruk banget. Nggak usah tanya lagi, nanti kesempatan lo kebuang sia-sia," jawab Rio. "Berapa lama?"

"Pacarannya?"

"Iya."

Binar mengetuk-etukkan jari telunjuknya ke atas pahanya yang berbalut celana jins, sambil berusaha menghitung meskipun dirinya berharap kalau tiba-tiba ia amnesia atau sejenisnya. "Hampir dua tahun. Kayaknya. Kamu sendiri?"

"Pernah pacaran?" tanya Rio. Setelah dijawab dengan anggukan oleh Binar, cowok itu pun mengangguk. "Pernah. Makanan kesukaan?"

Binar menaikkan sebelah alisnya. "Banyak. Aku bukan tipe orang yang punya satu hal buat jadi sesuatu yang ter-favorit gitu. Tapi, aku suka cokelat."

"Kalau Alfa? Suka juga?"

"Ini giliran aku," peringat Binar. "Kamu ngerokok atau nggak?"

"Pernah. Cuma nyoba aja, sih." Rio menjawab dengan agak tidak sabar. "Pertanyaan gue tadi. Iya atau nggak?"

Aduh. Binar harus jawab apa? Rio menanyakan suka dalam konteks apa? Kenapa sih, cowok itu harus menanyakan pertanyaan yang membuat Binar merasa bingung dan gundah? Ini sih, lebih baik Binar disodorkan seratus soal trigonometri! Rambutnya memutih semua karena itu tidak apa-apa deh, asalkan posisinya tidak rumit begini!

-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro