22: Kilau (2)
/ \
k i l a u ;
cahaya berkilap; cahaya yang memantul
\ /
"Udah lama aku nggak ke sini."
Ucapan Binar membuat Rio sejenak mengalihkan pandangannya dari jalanan untuk menatap cewek yang tengah berjalan di sebelahnya itu dalam diam. Rio hanya dapat mengeratkan genggamannya sekilas pada tangan Binar, sebelum akhirnya netranya kembali menatap lurus ke depan. Lagipula, apa yang Rio dapat katakan? Toh, dia sudah tahu, apa alasan mengapa Binar tidak lagi pergi ke sini — selain karena orang tuanya yang kelihatan sibuk, Binar tidak mungkin pergi ke sini dengan teman-temannya, atau dengan Alfa.
Rio memejamkan matanya sejenak. "Lo seneng?"
"Seneng," angguk Binar sambil tersenyum tipis. "Kita naik wahana apa dulu?"
"Makan dulu, nggak?" tawar Rio.
Binar mengerutkan kening, kemudian dengan cepat menggeleng. "Nanti mual. Lagian, nanti keburu malem! Kamu nggak niat ya, ajak aku ke sini?"
"Bukan gitu," kekeh Rio. "Yaudah. Lo mau naik apa?"
"Kora-kora, yuk?"
Alis Rio terangkat sebelah. "Yakin?"
"Kamu takut?" balas Binar.
"Nggak, lah!"
"Yaudah, ayo."
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya, namun tak urung terus berjalan bersisian dengan Binar menuju wahana yang tadi Binar sebutkan. Cowok itu mengangkat kamera yang tergantung di lehernya dengan tangannya yang bebas, menyalakan benda tersebut, kemudian melepaskan genggaman tangannya pada Binar sejenak.
"Senyum, Binar."
Binar menoleh ke arah Rio. Dia terlihat bingung, namun tetap tersenyum. Kelihatannya ia baru menyadari apa yang tengah dilakukan Rio setelah terdengar suara 'cekrek' dari kamera cowok itu.
"Kamu foto aku?!"
"Ssst. Jalan aja terus."
Binar mencebikkan bibirnya. Rio kembali memotret cewek itu. Dengan malu, Binar mempercepat langkahnya, berusaha meninggalkan Rio, namun tentu saja dia tidak bisa jauh-jauh karena tidak tahu arah. Apalagi, Binar meninggalkan tongkatnya di rumah.
Rio mengulum senyumnya. Ia berlari mundur sembari terus berusaha mengambil foto cewek itu. Mengapa bisa ada orang se-fotogenik ini, ya?
Rio berdecak ketika Binar memutuskan untuk menutupi seluruh wajahnya dengan tangan. Rio pun kembali menghampiri Binar. Namun, bukannya menggenggam tangan cewek itu, Rio justru merangkul Binar sambil mengangkat kameranya tinggi-tinggi.
Rio tersenyum pada kamera seiring dengan Giselle yang mengabadikan momen tersebut secara permanen ke dalam memorinya.
—
Langit sudah berubah agak gelap ketika Rio dan Binar selesai menyantap mie instan dalam cup mereka. Binar berjalan mengikuti Rio sembari menyeruput minumannya banyak-banyak, sementara Rio berusaha mencari wahana lain yang belum mereka naiki sambil memijit-mijit otot dan uratnya yang masih menonjol akibat panik saat menaiki beberapa wahana tertentu.
Wahana tertentu, maksudnya wahana yang berhubungan dengan ketinggian. Rio sendiri tidak takut ketinggian, hanya saja ... dia takut jatuh.
"Ah, Yo," ucap Binar sambil menyodorkan gelas minumannya pada Rio kalau-kalau cowok itu mau meminta. Rio menerima gelas tersebut dengan sebelah alis terangkat, namun tak urung tetap menyeruput sedikit setelah memutarkan sedotannya terbalik. "Kita naik bianglala, yuk!"
Minuman berupa teh susu itu berbalik masuk ke saluran pernapasan Rio seketika, akibat ditelan terlalu cepat. Ia langsung terbatuk-batuk, sementara rasa sakit menyerang hidung dan tenggorokannya tanpa ampun.
Binar terlihat panik. "Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa," sahut Rio menenangkan. Matanya berair, sementara hidungnya perih. Tentu saja dia apa-apa. Namun, dia tidak mau terlihat lemah.
Lagipula, dibandingkan dengan hal tersebut, rasanya kemungkinan dia mati lebih besar kalau menaiki roda raksasa itu. Bisa-bisa Rio terkena serangan jantung. Bagaimana kalau bianglala itu macet? Bagaimana kalau terjatuh? Atau menggelinding, seperti yang ada di film?
Binar menepuk-nepuk pundak Rio. "Duduk dulu?"
"Nggak usah," balas Rio. "Jadi naik bianglala?"
Raut wajah Binar berubah cerah. "Boleh?"
"Karena gue baik, gue bolehin," angguk Rio. "Tapi, antriannya agak panjang. Nggak apa-apa?"
Binar mengangguk cepat. "Nggak apa-apa!"
Dan kenyataannya memang begitu. Dengan sabar, tanpa mengeluh, Binar berdiri dalam barisan antrian sementara Rio berusaha menghilangkan rasa nyeri pada hidungnya. Untung saja, Binar membawa persediaan tisu kecil dalam tasnya kalau-kalau Rio butuh untuk mengelap air mata dan ingusnya.
Antrian tersebut tidak berlangsung lama. Setidaknya bagi Rio, karena cowok itu berharap dia dapat mengantri sampai besok saja. Atau sampai tahun depan. Atau sampai dirinya lulus SMA, terserah, lah. Yang jelas, Rio sudah berdoa semoga saja bianglala itu rusak sehingga dia tidak perlu naik ke atasnya.
Binar melangkah memasuki salah satu bilik bianglala, diikuti Rio di belakangnya, sebelum akhirnya sang petugas menutup pintu rapat-rapat. Bianglala tersebut mulai berputar perlahan, kemudian berhenti untuk mengeluarkan dan memasukkan orang baru di bilik setelah mereka.
Rio memutuskan untuk fokus menatap Binar saja. Cewek itu kelihatan sangat senang. Tangannya bergerak untuk melepas kacamata, membuat sinar mentari petang langsung memantulkan cahayanya di mata Binar yang tak kalah indahnya.
Menyadari pikirannya barusan, Rio cepat-cepat mengalihkan pandangan sambil menyumpah-nyumpahi dirinya sendiri dalam hati. Namun, dia semakin menyumpah-nyumpah ketika matanya secara refleks menatap ke bawah. Sial, sudah tinggi sekali!
"Kamu takut ketinggian, ya?" tanya Binar pada cowok di depannya itu sembari menyelipkan kacamata hitamnya di bagian depan kaus yang dipakainya. Snapback yang dikenakannya telah diputar terbalik ke belakang.
Rio menautkan alis. "Nggak."
Binar tersenyum. "Aku pikir wajar, kalau orang punya rasa takut. Kamu nggak perlu malu. Kamu tahu, sejak penglihatanku berkurang, aku jadi makin takut sama banyak hal. Dulu, aku nggak takut menyeberang jalan, karena aku bisa lihat kanan-kiri.
"Sekarang nggak bisa, karena selain sedikitnya lampu merah khusus pejalan kaki yang disediakan, banyak juga pengemudi yang nggak mau berhenti atau sekadar mengurangi kecepatannya di dekat zebra cross. Di jembatan penyeberangan juga — banyak kendaraan yang lewat sana. Aku merasa nggak aman di mana-mana, jadi aku jarang keluar rumah."
Rio ingin berkata kalau Binar dapat meminta seseorang untuk mengantarkannya, namun dia teringat kesibukan kedua orangtua Binar, dan juga Alfa yang tidak bisa selalu berada di sisi cewek itu. Tidak mudah juga menaiki taksi atau angkutan sejenis sendirian, mengingat tingkat kriminalitas yang menukik tajam.
Namun, Rio tidak harus mengatakan apa-apa. Karena tiba-tiba, pihak taman hiburan tersebut mengumumkan dengan suara lantang, bahwa bianglala yang tengah mereka naiki dilanda kemacetan dan enggan bergerak — dan diharap semuanya tetap tenang.
Sial. Mana bisa Rio tenang?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro