20: Redup (4)
Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada Ghazi yang menyeret-nyeretnya di hari Minggu pagi hanya untuk sekadar menyantap sarapan di luar. Tiba-tiba saja, ketika Rio baru saja bangun — masih lengkap dengan air liur yang mengering di pipi, rambut acak-acakan, dan mata yang sedikit kecil — Ghazi sudah berada di depan pintu rumah Rio, bersama dengan Savero yang terlelap di jok penumpang depan.
Alhasil, Rio hanya mencuci muka dan menggosok gigi seadanya, kemudian masuk ke dalam mobil Ghazi hanya dengan kaus dan celana pendeknya yang sering dipakai tidur.
Rio tidak se-pemalas itu, sih. Biasanya, dia sudah terbangun jauh lebih pagi, malah. Namun, dia benar-benar panik dan gugup akibat foto yang dikirimkannya pada Ghea semalam, sehingga dia terpaksa mengajak Felix untuk melakukan movie marathon bersama hingga larut malam. Dan ketika pagi datang, Felix, Mama, dan Papa sudah pergi ke gereja duluan karena telah menyerah untuk membangunkan cowok itu.
Sepertinya, Rio hanya melakukan pembelaan terhadap diri sendiri.
Rio mengetuk-etukkan jarinya pada kounter sembari menunggu pesanannya selesai, sementara Ghazi dan Savero pergi mencari tempat duduk karena pesanan mereka sudah lebih dahulu jadi. Sembari menunggu, Rio mengeluarkan ponselnya untuk mengecek pesan.
Helaan napas panjang keluar dari bibirnya begitu ia menyadari kalau Ghea belum mengabarinya apa-apa setelah mengirimkan pesan, "Email lo udah sampe, nanti gue cek" yang dikirim cewek itu sekitar delapan jam yang lalu.
Semoga saja Ghea tidak tenggelam dan dimakan piranha atau sejenisnya.
"Silahkan, pesanannya. Selamat menikmati!"
Rio mengerjapkan matanya, kemudian tersenyum singkat pada pelayan restoran barusan dan segera mengangkat nampannya. Kepalanya menoleh ke sana dan ke mari untuk mencari kedua sahabatnya, sebelum akhirnya kakinya melangkah cepat menghampiri mereka.
"Geseran dikit, Sav," ucap Rio, meminta Savero untuk menggeser nampannya yang memakan tempat.
Savero buru-buru merapikan letak nampannya. "Sori."
Rio meletakkan nampannya di atas meja, kemudian mengempaskan tubuhnya ke atas kursi. "Lo ngidam apa gimana sih, Ghaz? Pagi-pagi, ngajak orang makan ginian. Delivery aja, kenapa?"
"Kita harus memudahkan orang, Yo," ucap Ghazi sok puitis. "Kasihan 'kan, pagi-pagi disuruh antar makanan ke rumah orang. Kalau mereka sendiri belum sarapan gimana?"
"Yah, lo nggak kasihan juga sama gue?" sembur Rio kesal.
Ghazi terbahak. "Ini semacam hubungan timbal-balik, Yo. Lo juga demen nyusahin gue."
"Aduh, makan aja, kenapa, sih?" tanya Savero, mencoba melerai perdebatan yang ada sebelum nafsu makannya surut.
Rio dan Ghazi langsung bungkam. Sementara Ghazi meraup banyak-banyak kentang bersaus keju ke dalam mulut, Rio membuka mulutnya besar-besar bak kudanil dan memasukkan setengah porsi burger ke dalam mulutnya tersebut.
Savero berdecak, kemudian melempari kedua temannya itu dengan setumpuk tisu. "Jorok. Makannya biasa aja, dong."
Ghazi menelan kunyahannya sambil mengelap bibirnya yang belepotan menggunakan salah satu tisu. "Daripada itu, gue mau nanya sesuatu yang serius ke lo, Yo."
Rio menaikkan sebelah alisnya. Seperti Ghazi, ia juga mengelap bibirnya yang dihiasi sedikit saus tomat. "Apa?"
"Lo lagi deket sama cewek, ya? Jujur!"
"Hah?" Rio tersedak air liurnya sendiri. "Kenapa tiba-tiba—"
"Ghea, ya?" tanya Ghazi lagi, enggan memberikan Rio celah untuk mengalihkan pembicaraan.
Savero tertawa. "Ghaaaz."
Rio meneguk soft drinknya untuk membasahi tenggorokannya yang kering, lalu ia pun memandangi kedua temannya dengan mata sedikit disipitkan. "Kenapa kalian berasumsi gitu?"
"Kenapa Ghazi berasumsi kayak gitu," ralat Savero, enggan disalahkan.
"Banyak alesannya, Yo. Tapi, yang paling menonjol, lo kelihatan beda gitu, beberapa hari ini," terang Ghazi setelah berpikir sejenak. "Dan lo hapus fingerprint gue dari handphone lo."
Rio menyengir. "Hah? Beda gimana? Dan kalau soal fingerprint sih, gue cuma males aja ada banyak, soalnya gue kemarin nambahin buat jempol kaki juga, in case gue disekap dan gue cuma bisa menjangkau handphone gue pakai kaki."
"Kaki lo nggak selentur itu, Yo," sahut Ghazi.
"Lo nggak tahu 'kan, kalau waktu kecil, gue bisa split?" tanya Rio.
Ghazi membuka mulutnya, kemudian mengatupkannya lagi. "Lo sengaja mancing gue biar keluar dari topik, ya?"
"Nggak."
Ghazi memelototi Rio.
Dengan malas, Rio pun menunjuk Savero. "Dia tahu, tuh. Tanya dia aja."
"Savero, lo selama ini tahu?!" pekik Ghazi kesal.
"Mulut lo soalnya gede. Lebih gede daripada burger gue, nih. Padahal, gue beli ukuran jumbo," komentar Savero setelah mendelik ke arah Rio sejenak.
Ghazi merengut. "Jahat."
"Fakta," balas Savero. "Nih, deh. Clue-nya, orang yang kita temuin di perpustakaan umum."
Ghazi menautkan alis, berpikir keras. Rio dan Savero menunggu dengan sabar selama beberapa menit, sebelum akhirnya Ghazi mengembuskan napas dengan jengkel. "Emang gue pernah ke perpustakaan umum?"
"Nggak inget, 'kan? Yaudah. Makan aja."
—
Gue udah cek email dari lo, tulis Ghea di dalam kolom obrolannya dengan Rio, itu foto lama lo, 'kan? Lo pernah tunjukin ke gue. Kenapa nggak jujur aja kalau lo nggak bisa ikutan? Tapi nggak apa-apa, gue tetep masukin sebagai entry, karena termasuk salah satu dari yang paling bagus.
Rio menggigit bibirnya. Dikuncinya layar ponselnya tersebut, sebelum akhirnya dilemparkannya benda pipih itu ke atas tempat tidur. Kakinya bergerak-gerak untuk memutar kursi belajar yang tengah ia duduki, sementara tangannya mengetuk-etuk pahanya sendiri dengan ritme cepat.
Seperti yang Rio perkirakan sebelumnya, keputusannya itu pasti akan berakhir buruk. Bukan hanya karena foto yang ia kirim adalah foto lama, namun karena dia sudah berkata pada Ghea kalau dia sudah memiliki foto untuk dikirimkan. Rasanya seperti melakukan kebohongan besar — atau memang benar begitu adanya.
Rio memejamkan matanya ketika kepalanya, lagi-lagi, terasa pening. Ia melangkah cepat menuju kamar mandi untuk membuang isi perutnya, namun tidak ada yang keluar. Dinyalakannya keran, dan dibiarkannya air dingin membasuh tangannya.
Rio menatap pantulan dirinya di cermin.
"It's okay. You tried."
-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro