Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18: Dispersi (2)

 "Ada apaan?"

Rio melompat turun dari bus Transjakarta yang ditumpanginya sambil menempelkan ponselnya ke telinga. Dimasukkannya salah satu tangan ke saku jaketnya, sementara tangannya yang lain telah menggenggam ponselnya tersebut sejak beberapa menit yang lalu. Dirinya masih mengenakan masker pemberian Binar, meskipun rasanya agak tidak nyaman dan gerah.

Orang di ujung telepon, Ghea, berdecak sangat keras hingga sepertinya lidah serta air liurnya hampir terpental ke layar ponsel. "Lo harus cepet-cepet submit foto lo, Yo."

"Kenapa?" tanya Rio lagi sambil melangkah semakin cepat memasuki gerbang sekolah. Satpam yang menjaga di dalam pos mengangguk ke arahnya dengan wajah yang menyiratkan kebosanan, dan Rio segera membalasnya dengan lambaian tangan singkat.

"Deadline-nya dimajuin," ujar Ghea pelan. Kalau cewek itu panik, dia jelas-jelas tidak menunjukkannya. "Jadi, paling lambat besok."

Rio hampir saja melontarkan kata kasar saking kagetnya. Penyelenggara acara itu siapa, sih? Dia pikir mencari objek bagus itu mudah? Seenaknya saja memajukan tenggat waktu!

Sepertinya, beberapa umpatan berhasil lolos dari mulut Rio, karena kemudian Ghea berdeham untuk mengalihkannya. "Gue tahu. Gue juga kesel. Tapi, mau gimana lagi, Yo? Ini lomba perdana kita. Kita nggak akan bisa maju kalau kita pilih-pilih. Seenggaknya, sebelum tim kita dapat banyak penghargaan atau menang banyak lomba, kita nggak usah banyak mau dulu."

"Lo di mana?" tukas Rio tanpa repot-repot merespons petuah Ghea yang — sejujurnya — agak benar itu. Dia sudah terlanjur kesal, sekaligus panik, sehingga rasanya rambutnya sudah memutih beberapa helai. "Masih di Kamar Gelap?"

Ghea mengiyakan. Rio pun segera menutup telepon dan memasukan ponselnya ke saku celana. Dengan gesit, cowok itu berlari-lari kecil menuju markas ekskul Fotografi itu.

Kamar Gelap berada di sudut tergelap sekolah, tepatnya di sebelah ruang janitor. Ukurannya memang agak luas, namun tidak begitu cukup untuk menampung seluruh anggota ekskul jika sedang ada rapat atau jika sedang ada tugas maupun latihan mencetak foto. Pintunya sudah agak lapuk, dan dihiasi satu buah gerendel yang kuncinya dipegang oleh tiga orang: Rio, Ghea, dan salah seorang karyawan sekolah.

Interior ruangan itu, untungnya, tidak buruk-buruk amat. Sebuah meja panjang yang digunakan untuk meletakkan alat-alat pencetak foto terletak di bagian belakang ruangan, tapi tidak menempel pada dinding. Puluhan bangku plastik ditumpuk di pojok ruangan bagian depan, dan terdapat beberapa meja kayu seperti yang dulu mereka miliki di kelas untuk keperluan rapat. Meja-meja itu adalah meja-meja yang telah tidak terpakai lagi, sebab sekarang mereka sudah tidak menggunakan meja itu untuk belajar.

Dan berkat uang keanggotaan yang diurus oleh Una, sang bendahara, mereka dapat membeli tirai untuk menutupi tiga jendela yang berada di ruangan itu. Tak lupa juga air conditioner, yang sepertinya sekarang sudah butuh diperbaiki karena suaranya agak mengganggu.

Fotografi tidak dapat menuntut apa-apa dari sekolah, sebab sejak awal ekskul mereka memang sudah berada dalam posisi yang riskan. Sekarang, mereka juga harus cepat bergerak agar Kepala Sekolah mengetahui potensial ekskul mereka sebelum memutuskan macam-macam — seperti pembubaran, misalnya.

Rio mengembuskan napas. Ia menghentikan langkahnya di depan pintu Kamar Gelap, kemudian dengan perlahan membuka pintu tersebut untuk menjengukkan kepalanya ke dalam ruangan. Netranya pun menangkap sosok Ghea yang tengah sibuk menuliskan sesuatu ke dalam buku agendanya.

"Ghea!" seru Rio, setengah berbisik.

Ghea mendongakkan kepalanya. Tubuhnya sedikit tersentak akibat kaget. "Bikin kaget aja. Kok ke sini?"

"Nggak apa-apa," sahut Rio asal sembari melangkah memasuki ruangan. Ditutupnya pintu dengan rapat, sebelum akhirnya ia berjalan menghampiri Ghea dan segera menarik salah satu kursi untuk duduk di atasnya.

Ghea mendengkus, kemudian kembali fokus menuliskan sesuatu dalam bukunya. Tak butuh waktu lama, sebab ia hanya menulis beberapa kata sebelum menutup pulpen dan juga bukunya itu. Perhatiannya pun akhirnya terfokus pada rekannya tersebut. "Lo masih belum ada objek?"

Rio menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering. "Udah, kok."

"Berarti nggak ada masalah dong, sama deadline barunya?"

Rio mengangguk pelan, lalu cepat-cepat menggeleng. "Gue belum ada hard copy-nya."

"Nggak apa-apa." Ghea mengibas-ibaskan tangannya. "Yang utama itu soft copy-nya, kok. Hard copy kalau diminta aja."

Ah, sial.

Rio manggut-manggut sambil mengetuk-etukkan jari telunjuknya ke atas meja. "Gue kirim nanti."

"Jangan malem-malem."

"Hmm."



Cara mencari inspirasi kalau lagi suntuk|

Cara mencari inspirasi kalau|

Cara mencari inspi|

Cara men|

Ca|

|


Rio mengacak-acak rambutnya dengan emosi. Dilemparkannya ponsel malangnya itu ke atas meja, sementara dirinya merebahkan tubuh ke atas tempat tidur dan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam ke bantal.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, dan Rio belum juga mendapatkan satu buah foto pun. Rasanya kepalanya akan meledak. Yah, biarlah, meledak — supaya Rio tidak perlu mengumpulkan hasil fotonya!

Rio memutar tubuhnya sehingga punggungnya-lah yang menyentuh kasur empuknya. Ia menggigit pipi bagian dalamnya kuat-kuat, menahan teriakan dan sumpah serapah yang akan ia ucapkan.

Rio benci pada dirinya sendiri. Sepertinya, sejak surat itu datang, otaknya jadi betul-betul sakit. Bisa-bisa, Rio jadi sinting duluan.

Helaan napas panjang nan kasar pun keluar dari mulut Rio. Cowok itu bangkit berdiri, kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Dinyalakannya laptop, lalu sambil menunggu benda tersebut menyala, Rio memutar-mutarkan kursi belajarnya hingga pusing sendiri.

Diliriknya kalender. Ekspresi Rio sedikit mengeruh ketika ia menyadari kalau bulan pertamanya hampir habis. Dengan cepat, ia kembali memfokuskan pandangannya pada layar laptop. Dan setelah laptop-nya itu menyala sepenuhnya, cowok itu pun segera membuka galeri.

Alis Rio sedikit bertaut ketika ia sibuk melihat-lihat foto yang pernah diambilnya. Ekspresinya tegang dan serius, seolah-olah tengah dijatuhi hukuman mati.

"Ah," ucap Rio puas ketika menemukan sebuah foto lama yang sesuai dengan tema lombanya kali ini. Seingat Rio, foto itu diambil saat dirinya masih sangat amatir dalam menggunakan kamera. Mengapa hasilnya lebih bagus daripada puluhan foto yang Rio ambil hari ini, ya?

Dalam hitungan detik, foto tersebut kini telah berada dalam kotak masuk surel Ghea.

-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro