17: Dispersi (1)
/ \
d i s p e r s i ;
pergerakan untuk perpindahan individual, terutama untuk mendiami lingkungan baru; penguraian atau pembiasan warna
\ /
Setelah perut terisi penuh oleh makanan-makanan enak yang tersedia di food court, Binar dan Rio pun meninggalkan mall tersebut dan kembali melangkahkan kaki mereka di atas trotoar jalan raya. Masker menutupi hidung dan mulut keduanya — terima kasih pada Binar — dan di tangan masing-masing terdapat sebuah cup es krim rasa cokelat yang sudah kosong — terima kasih pada Rio yang sudah mendapatkan sampel gratis dari toko es krim baru di dekat perempatan jalan.
Binar mengetuk-etukkan tongkatnya dengan santai di atas jalur kuning, kakinya melangkah mengikuti irama. Sementara, Rio yang berjalan di sebelahnya ikut melangkah sesuai ritme Binar sembari menjejalkan salah satu tangannya ke dalam saku celana.
Rio mengambil cup es krim Binar dari tangan cewek itu dengan lembut, lalu melemparnya ke dalam tempat sampah bersamaan dengan miliknya sendiri. Binar menggumamkan ucapan terima kasih samar, bibirnya menyunggingkan senyum kecil.
"Nar," ucap Rio tiba-tiba, setelah mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju halte. Rio akan pulang dengan bus karena dia ada sedikit urusan (katanya), dan cowok itu berbaik hati memesankan taksi untuk Binar. Karena Binar dan sang sopir hanya akan berdua saja, Rio pun akhirnya memutuskan untuk memesannya di tempat yang berada di luar kawasan three in one.
Binar mendongakkan kepalanya, menaikkan sebelah alis sebelum akhirnya kembali memandang lurus ke depan. "Apa?"
"Kenapa ya, gue jadi kayak seneng terus kalau abis jalan bareng lo? I mean, kayak ... otak gue jadi jalan lagi. Belakangan ini gue lagi suntuk banget, lo tahu 'kan? Lo bikin gue nyaman aja."
Binar tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Nggak usah jujur-jujur amat, kenapa?"
"Yah, in case lo nanya alasan gue minta lo buat jadi temen gue," sahut Rio santai. Cowok itu menginjak beberapa dedaunan kering yang terjatuh, menimbulkan suara gemerisik yang enak didengar.
"Makasih udah ngasih tahu," balas Binar setelah terdiam sejenak.
Rio terkekeh pelan. "Kita udah sampai."
Mereka pun berhenti berjalan. Rio menuntun Binar untuk duduk pada salah satu bangku, sementara dirinya celingukan mencari taksi yang telah dipesannya tadi.
Nyaman, ya? Sepertinya, Binar belum pernah membuat seseorang berpikiran seperti itu tentangnya. Binar itu aneh dan berisik, dan saat sekolah dulu, temannya tidak banyak-banyak amat. Beberapa anak cenderung tidak menyukainya, malah. Mungkin, karena Binar sering marah-marah di kelas saat menjadi ketua?
Binar tidak tahu. Mengingat pengalamannya dahulu membuat hatinya nyeri dan kesal. Bisa-bisa, nanti dia terkena penyakit gondok.
"Nar, taksi lo udah ada," ucap Rio, tiba-tiba muncul di sebelah Binar bagaikan jin.
Binar menahan diri untuk tidak berteriak kaget. Disikutnya cowok itu dengan pelan, sembari ia membawa dirinya sendiri untuk berdiri. "Oke. Di mana?"
Dengan kasual, Rio meraih tangan Binar dan menggenggamnya. Dituntunnya Binar menuju taksi yang dimaksud, dan sepanjang perjalanan yang singkat itu, rasanya Binar ingin menyumpahi dirinya dalam hati karena sempat-sempatnya tersenyum bagaikan orang bodoh. Untungnya, dia menutupi mulutnya dengan masker.
Apakah Rio tersenyum juga? Tertutup masker ataupun tidak, Binar tidak bisa melihat senyum lawan bicaranya itu. Sayang sekali.
Terdengar suara pintu dibuka, kemudian Rio membuka mulutnya kembali. "Masuk, Nar. Maaf nggak bisa nganterin lo pulang."
"Santai aja," tukas Binar langsung sebelum Rio berasumsi yang tidak-tidak.
Rio tertawa. "Yaudah, masuk sana. Jangan lupa pakai sabuk pengaman. Pak, jaga temen saya, ya. Awas aja kalau sampai lecet!"
Binar melangkah masuk ke dalam mobil. Diselipkannya sedikit rambutnya ke belakang telinga, sebelum akhirnya Rio mengalihkan fokusnya dari Pak Sopir menuju temannya itu.
"Hati-hati, ya. Omelin bapaknya kalau ngebut-ngebut."
Binar mendengkus.
—
Sesampainya di rumah, Binar langsung masuk ke kamar dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur yang empuk setelah membayar tarif taksi yang dinaikinya. Keyla ikut berbaring di sebelahnya sembari menggosok-gosokkan wajahnya dengan manja ke tangan Binar, meminta untuk disayang. Jadi, sambil memejamkan mata, tangan Binar bergerak untuk mengelus-elus puncak kepala anjingnya itu.
Baru saja Keyla mendengkur kesenangan, Binar kembali teringat akan janjinya dengan Alfa. Lidahnya tanpa sadar berdecak begitu menyadari bahwa ia tidak jadi membaca apa-apa selama seharian ini, sehingga ia pun cepat-cepat bangkit berdiri untuk menghampiri tasnya.
Dirogohnya isi tasnya yang tidak begitu banyak itu. Tangannya pun menarik keluar sebuah buku agak tebal yang tadi sempat ia raba judulnya. Binar meletakkan buku tersebut di atas meja, kemudian ia duduk di hadapan buku tersebut sambil mengangguk-angguk pada dirinya sendiri.
"Mohon kerjasamanya, Sherlock," gumam Binar sebelum mulai membuka buku tersebut. Wangi khas yang begitu Binar kenali langsung menusuk indra penciumannya. "Ah, betulan buku baru. Kapan Kak Alfa taruh, ya?"
Tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya itu, Binar mulai membaca. Jemarinya bergerak pelan di atas permukaan kertas, menyalurkan informasi melalui impuls sistem perabanya menuju otak. Binar mulai menikmati cerita yang disuguhkan pada buku itu ketika tiba-tiba sebuah memori yang tidak ingin diingatnya kembali lagi.
Cepat-cepat, Binar menggelengkan kepala. Dirobeknya sebuah kertas kosong dari atas mejanya untuk dijejalkan ke dalam bukunya itu sebagai pembatas sementara, kemudian Binar menutup buku tersebut.
Dia akan mencoba membacanya lagi nanti.
Atau mungkin, saat Alfa ada di sini. Sehingga dia tidak perlu mengingat detail-detail tidak penting yang dapat membuatnya sebegini kesal.
Daripada marah-marah tanpa alasan yang jelas, Binar pun meraih ponselnya dan segera mengaktifkan fitur Siri. Diperintahkannya ponsel tersebut untuk menelepon mamanya. Rasanya sudah satu abad sejak terakhir kali Binar mendengar suaranya.
-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro