16: Radiasi (4)
Oke. Jadi, kesimpulan pertama adalah: Rio bodoh. Bukan hanya karena cowok itu baru menyadari kalau tidak seharusnya dia mengatur-atur hidup Binar — memangnya, cewek itu siapanya? — namun juga karena Rio dengan percaya dirinya mengajak Binar ke wahana permainan video di salah satu mall dekat situ.
Bukannya apa-apa, tapi Rio sekarang benar-benar merasa resah. Masalahnya, semua permainan di sini bersifat visual. Tidak mungkin Rio bermain sendiri dan membiarkan Binar berdiri diam menontoninya — aneh sekali! — dan tidak mungkin juga Rio meminta Binar untuk ikut bermain — itu sih, namanya seperti sedang mengejek!
Rio mengerucutkan bibirnya, berpikir keras. Matanya menyusuri seisi tempat tersebut dengan kening berkerut. Sementara itu, Binar duduk dengan tenang di salah satu bangku sambil terus menyeruput minumannya yang tinggal sedikit.
"Nar, kayaknya kita ke tempat lain aja," ucap Rio setelah terdiam sesaat. Dirinya malu luar biasa. Sudah mengatur, eh, ternyata sarannya juga tidak lebih baik!
Binar menautkan alis. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Yuk," sahut Rio, sembari menarik tangan Binar lembut untuk menuntunnya berdiri.
Namun, Binar menahan tangannya. "Bentar. Kamu bisa main DDR?"
"DDR? Double data rate?"
"Serius, deh. Emangnya ini toko komputer?" Binar berdecak. "Aku masih inget kalau main itu."
Rio menatapnya dengan sangsi. "Serius?"
"Dua-rius."
Meskipun ragu, Rio pun tetap menuntun Binar berjalan memasuki tempat bermain itu. Suara-suara game memenuhi tempat tersebut, membuat Binar sesekali menautkan alis karena kehilangan fokus. Melihat itu, Rio refleks meletakkan tangannya yang awalnya berada di saku celananya pada siku tangan Binar agar cewek itu tidak kebingungan.
Binar menyunggingkan seulas senyum penuh rasa terima kasih, sebelum akhirnya langkah mereka berhenti begitu mesin video permainan musik itu sudah berada di depan keduanya.
"Lo yakin masih inget?" tanya Rio sembari melangkah naik untuk berdiri pada platform injakannya. "Awas kesandung."
Binar ikut melangkah naik sambil menyengir. "Masih. Asal lagunya jangan susah-susah."
Rio menggigit bibir bagian dalamnya, kemudian mengangguk kecil. "Oke. Siap-siap — agak munduran dikit, Nar. Lo yang pilih aja lagunya."
Tak lama kemudian, setelah Rio menggesekkan kartu pada mesin, Binar pun memilih lagu dan level kesulitan yang harus mereka tempuh. Wajah cewek itu terlihat bersinar senang, dan Rio tiba-tiba teringat akan perkataannya di rumah Savero. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hatinya.
Rio bukannya bermaksud ingin mengejek Binar. Hanya saja ... dia malu. Dia takut Ghazi dan Savero akan memandangnya dengan aneh, atau mungkin justru menghakiminya.
"Rio! Udah mulai lagunya!"
Seruan Binar membuat Rio kembali tersentak pada dunia nyata. Cowok itu buru-buru menatap layar besar di hadapan mereka, sebelum akhirnya menginjak tombol-tombol panah yang berada di bawah kakinya. Sesekali, ia melirik ke arah Binar yang terlihat sangat ahli.
Ketika lagunya telah selesai, Rio bersandar pada penyangga yang berada di belakang tubuhnya sambil menunggu nilai mereka terpampang. Ia menimbang-nimbang sesaat, sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Kok lo bisa masih inget? Atas-bawah, kiri-kanan, gue aja pusing."
"Kamu baru pertama kali main. Dulu, aku sering banget main ini sepulang sekolah. Waktu SMP," jawab Binar. Lalu, ia mengedikkan dagunya ke arah layar. "Berapa skor kamu?"
"Lo dapet A," sahut Rio, mengabaikan pertanyaan Binar, karena ia malu telah terkalahkan.
"Kamu berapa?"
Rio berdeham, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling game center tersebut. "Mau main apa lagi?"
"Big Cannon!" usul Binar dengan penuh semangat.
"Apaan lagi, tuh?"
Binar memukul lengan Rio main-main. "Yang kita tekan tombol, terus ada bola jatuh itu, lho! Nanti, kita bisa dapat banyak tiket."
Rio manggut-manggut. "Kayaknya gue tahu. Emangnya itu nggak buang-buang uang, ya?"
"Tiketnya kan bisa ditukar sama barang-barang lucu!"
"Ambil boneka aja," usul Rio sambil melangkah menuruni platform. "Keluar uang dikit, eh, dapet boneka."
Binar tergelak. "Itu kalau kamu bisa dapat dalam sekali coba, Yo. Impossible."
Rio mencubit pipi Binar gemas. "Nggak usah sok tahu. Ayo, lihat gue beraksi!"
—
Rio mengempaskan tubuhnya pada kursi food court dengan wajah kecut. Sepertinya, dunia sedang tidak berpihak padanya. Setelah menghabiskan banyak uang untuk permainan ambil boneka yang menyebalkan itu, Rio tidak mendapatkan hasil apa-apa. Binar juga menertawakannya, namun setelahnya cewek itu berkata kalau semua orang mengalami hal yang sama, sehingga Rio tidak perlu merasa gagal.
Binar melahap kentang goreng berlumur kejunya dengan nikmat. Ia menelannya sebelum akhirnya membuka mulut. "Kenapa sih, nggak mau photo box?"
"Gue suka foto, tapi nggak suka difoto."
"Halah," tukas Binar sambil mengelap tangannya yang dipenuhi keju dengan tisu. "Kamu tahu nggak, sih, kenangannya itu yang bernilai, bukan muka kita di foto itu."
Rio mendelik. "Tahu. Tapi, gue lebih milih memotret kenangan orang lain, karena itu lebih berkesan. Buat gue, maksudnya. Pandangan kita kan beda."
Binar hanya manggut-manggut. Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti atmosfer di antara keduanya. Binar sibuk dengan makanannya, sementara Rio mengeluarkan ponselnya untuk melihat informasi terbaru dari klub Fotografi.
Sebagian besar anggota sudah mengirimkan fotonya. Rio rasanya ingin menangis. Diliriknya Binar yang masih sibuk makan di hadapannya, kemudian ia pun menghela napas. Seharusnya, dia berdiam diri saja di rumah dan terus berusaha mencari objek foto yang bagus.
"Kamu udah ketemu inspirasi, belum?" tanya Binar, seolah dapat membaca pikiran Rio.
"Belum. Dia nyasar kayaknya," jawab Rio asal.
Binar tertawa. "Apa sih, temanya?"
"Human interest," jawab Rio. "Atau bisa juga street photography."
"Apaan, tuh?"
"Human interest itu ... manusia sebagai objek fotonya gitu. Tapi, bukan kayak foto full body atau portrait atau sejenisnya, tapi lebih ke potret hubungan manusia antar lingkungan di sekitarnya," sahut Rio, agak kurang yakin. "Dan kalau street photography ... yah, foto di jalanan — di publik. Ngerti, 'kan?"
Binar manggut-manggut, kemudian menggeleng. "Nggak, sih. Tapi, aku bingung, apa susahnya nyari foto dengan tema itu?"
"Emangnya semua pemusik pasti bisa selalu bikin lagu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro