15: Radiasi (3)
Terdengar suara cangkir diletakkan, kemudian decit kursi yang ditarik. Binar menghirup napas dalam-dalam, dan hidungnya meraup wangi parfum Alfa yang manis, namun tetap maskulin. Binar menebak kalau Alfa tengah menyunggingkan senyumnya saat ini.
Seperti biasanya, Binar dan Alfa duduk bersebelahan di depan meja belajar Binar untuk ... yah, tentu saja, belajar. Sebuah buku terbuka lebar di hadapan keduanya, dan lagu klasik yang diputarkan Alfa baru saja selesai begitu cowok itu memutuskan untuk membuatkan mereka berdua teh sebagai teman belajar. Katanya, agar impuls otak Binar lebih lancar bekerja, meskipun Binar merasa efeknya sama saja.
Setidaknya, teh buatan Alfa enak.
"Jadi, kamu udah baca buku apa aja minggu ini?" tanya Alfa setelah menyesap tehnya dan meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja. Ia menanti-nanti dengan sabar, menunggu jawaban Binar, sementara Binar sendiri tidak kunjung menemukan jawabannya.
Betul juga. Minggu ini, dia sudah membaca apa saja? Atau lebih tepatnya ..., apakah dia membaca minggu ini?
Ah, sepertinya tidak! Pasti, karena pertemuannya dengan Rio belakangan ini. Binar sampai melupakan hobi sekaligus kewajibannya itu.
Binar mengerutkan kening, kemudian ia menghadapkan wajahnya pada Alfa yang masih menunggu. Hanya butuh waktu beberapa detik mereka berpandang-pandangan hingga akhirnya Alfa mengerti. Cowok itu tidak berkomentar apa-apa selama beberapa saat, dan Binar jadi merasa bersalah. Seolah-olah, ia adalah seorang murid yang mengecewakan — meskipun memang benar begitu, sih.
"Nggak apa-apa," ucap Alfa setelah mengembuskan napas dalam. "Selalu ada lain waktu. Aku ngerti kalau baca itu bisa bikin jenuh kalau dipaksain."
Binar mengangguk kecil, kemudian kembali menghadap ke arah meja belajar. "Aku bakalan baca lagi, Kak."
"Nggak apa-apa," ulang Alfa, kali ini seperti sambil tersenyum. Ia bergerak untuk membolak-balikan halaman buku Binar. "Terus, kamu ngapain aja belakangan ini?"
Binar terdiam.
Alfa buru-buru melanjutkan. "Bukannya aku mau melangkahi hak-hak pribadi kamu, ya! Aku cuma mau tahu aja. Kalau nggak mau ngasih tahu juga nggak apa-apa."
Binar tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum. "Iya, Kak."
Hening selama beberapa saat, sebelum akhirnya Alfa berdeham. Sepertinya, ia menyadari kalau Binar tidak mau membicarakan hal itu dengannya. Jadi, dengan senyum yang agak dipaksakan, ia meletakkan buku Binar kembali di hadapan cewek itu.
"Materinya masih sama kayak kemarin. Soalnya mau aku dikte atau ...?"
Binar mengangguk. "Dikte aja, Kak."
Alfa mengambil buku Binar kembali sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Setelah menemukan posisi yang nyaman, matanya mulai memindai isi halaman tersebut. "Kayak yang udah kita pelajari minggu lalu, pembahasan kita itu seputar tanaman — kamu yakin masih ingat semua, Nar?"
"Dengan jelas, Kak," angguk Binar, meminta Alfa melanjutkan.
"Oke. Aku langsung ke pertanyaan, ya," ucap Alfa. Telunjuknya bergerak menyusuri halaman buku yang tengah dibukanya, mencoba mencari pertanyaan yang dapat ia lontarkan pada — dan yang sepertinya masih diingat oleh — Binar. "Ah, oke. Apa fungsi Siklus Krebs?"
Kedua alis Binar langsung bertaut. "Kakak beneran nggak percaya, ya, kalau aku masih ingat materinya?"
"Jawab aja."
Binar mengerucutkan bibir, namun tak urung mengiyakan. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab, "Penghasil energi."
"Jawabnya yang niat dikit, dong."
"Kakak juga nggak niat ngasih soalnya."
Alfa menghela napas. "Iya, deh. Aku yang salah. Maaf, ya. Nggak usah cemberut lagi."
Binar tersenyum.
"Mau aku cariin yang susah sekalian?"
Namun, Alfa tidak sempat mendengar jawaban Binar karena tiba-tiba ponsel cewek itu berbunyi dengan nyaring di atas meja. Sang pemilik benda elektronik nan pipih itu terlonjak, sementara Alfa mengerutkan keningnya. Binar tidak pernah menyalakan ponselnya saat mereka belajar.
Biasanya.
Mata Alfa bergerak untuk mengintip layar ponsel Binar dan berhasil melihat kalau bunyi barusan berasal dari fitur alarm, meskipun Binar berusaha sekuat tenaga untuk buru-buru menyembunyikan ponselnya tersebut di balik punggung.
Lima detik kemudian, kamar Binar kembali dihiasi keheningan. Alfa berdeham sekali lagi, sementara Binar membetulkan posisi duduknya yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.
"Aku lanjut, ya."
Binar merasa tenggorokannya kering. "Kak."
"Hmm?"
"Aku ada urusan. Ini ... barusan suara alarm supaya aku ingat."
Alfa menaikkan salah satu alisnya. "Oh? Kamu harus pergi sekarang?"
"Iya, Kak."
Alfa terdiam sejenak, sebelum akhirnya menutup buku Biologi Binar dan mengangguk kecil. "Oke. Aku pulang, kalau gitu. Salam buat papa kamu."
Binar menelan ludah. "Iya, Kak."
Alfa merapikan barang-barangnya di atas meja, menjejalkan semuanya ke dalam tas, sebelum akhirnya mengacak-acak rambut Binar dan berlalu dari kamar cewek itu. Untuk sejenak, Binar terdiam dan meresapi keheningan yang menyelimuti ruangan setelah Alfa pergi.
Namun, ia buru-buru tersadar dan segera berlari menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
—
Binar mengetuk-etukkan tongkatnya pada trotoar. Jalur khusus pada trotoar yang dicat dengan warna kuning itu ia lalui dalam diam, sementara angin meniup wajah dan rambutnya dengan lembut. Kacamata hitam menutupi kedua matanya, karena Binar merasa tidak begitu percaya diri tiap kali berjalan sendirian.
Tiba-tiba, Binar merasakan sesuatu yang dingin dan sedikit basah menyentuh pipinya. Ia hampir saja berteriak kalau orang yang menjadi pelaku kejahatan barusan tidak membekap mulutnya.
"Nanti dikiranya gue ngapa-ngapain lo, lagi." Orang itu, Rio, berkata. "Duduk dekat situ aja. Ini minum lo."
Binar mendelik ke arah Rio dengan kesal. Sambil mengikuti Rio yang berjalan cepat menuju salah satu bangku yang terdapat di trotoar, Binar mengelap pipinya yang basah akibat gelas minuman dingin barusan menggunakan punggung tangannya.
Setelah Binar meletakkan bokongnya pada permukaan bangku, Rio ikut duduk di sebelahnya. Cowok itu sibuk membuka plastik sedotan dan menusukkan sedotan itu pada gelas, sementara Binar merogoh-rogoh tas ranselnya untuk mencari masker.
Ada-ada saja si Rio ini. Sudah tahu, asap kota Jakarta sebegini banyak, namun dia malah mau menghabiskan waktu di pinggir jalan.
"Minum lo gue taruh di sini. Awas tumpah," ucap Rio sambil meletakkan gelas plastik berisi minuman kesukaan Binar di sebelah cewek itu.
Binar mengangguk, kemudian menarik dua masker dari dalam tasnya. Disodorkannya satu pada Rio. "Pakai."
"Gimana caranya gue minum kalau pake masker?"
"Pakainya kalau lagi nggak minum, lah," sahut Binar, tidak percaya akan pertanyaan Rio barusan.
Rio mengangguk-angguk kecil sambil menerima masker tersebut. Binar tersenyum puas dan segera menyangkutkan kedua tali masker pada daun telinga. Dibiarkannya masker tersebut menutupi dagunya, sementara ia meneguk minumannya.
Hmm, enak.
Binar menarik maskernya naik, kemudian diletakkannya gelas minumannya kembali di sebelahnya. Ia pun merogoh tasnya lagi untuk mengeluarkan salah satu buku yang belum ia baca — tentu saja, dalam huruf Braille. Binar tidak yakin apa judul buku ini, tapi karena sampul plastik masih menyelimuti bagian luarnya, Binar menyimpulkan kalau ia belum membacanya.
Kening Binar berkerut begitu tangannya berhasil meraba judul buku tersebut. Sherlock ... Holmes? Sejak kapan dia suka misteri? Atau Alfa yang diam-diam meletakkannya di rak buku Binar?
"Gue se-ngebosenin itu, ya, sampai lo harus bawa-bawa novel tebel gitu pas lagi jalan bareng?"
Binar tersentak dari lamunannya. "Apa? Nggak!"
"Tutup, Nar."
"Tapi, ini penting ...."
Rio menghela napas. Cowok itu bangkit berdiri. "Tutup. Ayo, kita main. Biar lo nggak bosen."
a/n
rest in peace jonghyun :'c
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro