Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14: Radiasi (2) [Part II]

 "Ini oke," kata Ghazi sambil manggut-manggut pada hari Senin berikutnya. Mereka bertiga — Rio, Ghazi, dan Savero tentunya — tengah asyik menyantap pizza keju di kamar Savero yang adem. "Tapi, kelihatan banget kalo foto ini diambil secara nggak sengaja."

Sementara Savero sedang mengunyah pizza dengan hikmat, Ghazi dan Rio duduk tidak jauh dari cowok itu sembari memperhatikan foto yang Rio ambil sore kemarin. Foto tersebut masih berbentuk soft copy, dan kini mereka tengah melihatnya lewat laptop Savero yang keyboard-nya kehilangan huruf A.

Mendengar komentar Ghazi, Rio mengembuskan napasnya dengan perlahan. "Yah, emang kenyataannya gitu."

Savero mengambil tisu dan mengelap tangannya yang sedikit berminyak. Kemudian, ia merangkak mendekati kedua sahabatnya untuk ikut mengintip foto yang diambil Rio. Foto dengan burung gereja sebagai objek utama tersebut, tak sesuai dugaan Rio, ternyata berhasil membuat Savero membelalakkan matanya.

"Keren!" refleks Savero sembari mendorong Ghazi agar tidak menghalangi pandangannya. "Lo yang ambil, Yo?"

Rio mengangguk. Ada sedikit perasaan senang yang timbul dan membuat hatinya menghangat. "Tapi, itu nggak sengaja. Bener juga, ya. Kalau ini burung nggak lewat ... nggak mungkin gue bisa ambil foto sebagus ini."

"Hush," semprot Ghazi sambil menggeleng tidak suka begitu mendengar ucapan Rio barusan. Ia meraih sepotong pizza lagi, lalu menjejalkannya ke mulut Rio. Rio tak mengeluh dan justru melahap makanan tersebut dengan sukarela. "Semua ini masalah mindset, Yo. Lo sadar nggak, barusan lo ngapain? Lo baru aja ngejelek-jelekin karya lo — diri lo! Apalah arti sebuah karya, kalau yang buat bahkan nggak suka; nggak bangga; nggak percaya diri sama apa yang dia buat?"

Rio terdiam. Begitu pula Ghazi. Sementara Savero menyandarkan tubuhnya pada pundak Rio sambil berpikir.

Tak lama kemudian, ia membuka mulut. "Yo."

"Hmm?" tanya Rio sambil bergerak untuk mengeluarkan flashdisk-nya dari laptop Savero.

"Lo ikut Fotografi karena apa?"

Gerakan tangan Rio terhenti. Cowok itu kelihatan kehilangan kata-kata. "Karena ... gue suka?"

"Nggak usah dijadiin beban," sahut Savero kemudian. Ia tersenyum tipis ketika Rio meliriknya.

Ghazi tiba-tiba berdiri. "Mau pipis!"

Tanpa menunggu respons dari Rio dan Savero yang memandangnya tanpa ekspresi, Ghazi pun segera pergi ke kamar mandi yang berada di luar kamar Savero. Pintu hampir terbanting saking hebohnya cowok itu menutup pintu, sebelum akhirnya keheningan kembali menyelimuti ruangan.

Savero bangkit dari posisinya yang agak canggung barusan dan duduk dengan tegap. "Yo."

"Apa lagi?" tanya Rio. Ia sibuk memainkan ponselnya yang sibuk berbunyi daritadi — grup Fotografi ternyata sedang ramai karena ulang tahun salah seorang anggotanya, Rendi. Rio juga ikut mengucapkan selamat ulang tahun, meskipun hanya seadanya dengan sebuah stiker gratis yang terlihat memalukan.

"Ada yang mau lo ceritain ke gue — dan Ghazi?"

Rio mengunci layar ponselnya, lalu menoleh ke arah Savero. "Eh ... nggak?"

"Lo yakin?"

Rio tidak menjawab.

Savero menyisir rambutnya dengan tangan. "Gue kemarin ke kafe buat beliin Nyokap kopi."

Sepertinya, Rio tahu ke mana arah percakapan ini. Ia hanya bisa menelan ludah. Matanya tertuju lurus ke arah lantai.

"Gue lihat lo lagi sama cewek," lanjut Savero dengan perlahan. "Dia siapa? Gue bukannya gimana-gimana, ya. Cuma penasaran aja. Dan lo nggak pernah cerita kalau lo lagi deketin cewek, jadi gue awalnya kira kalau itu sepupu lo atau apalah."

"Lo tahu," gumam Rio.

"Hah?"

"Lo tahu kalau dia nggak bisa ngeliat," ujar Rio, kali ini lebih jelas.

Savero mengerjapkan matanya. "Ya? Terus kenapa kalau gue tahu? Apa hubungannya sama percakapan kita?"

"Lo nuduh gue suka sama dia. Lo pikir gue suka sama dia. Lo nggak tahu apa-apa, Sav. Lagian ... lagian ... dia buta!"

"Rio, chill. Lo apa-apaan, sih?" semprot Savero tidak percaya. Sementara Rio langsung menutup mulutnya rapat-rapat, kaget akan apa yang baru saja ia ucapkan.

Sumpah, Rio tidak bermaksud begitu! Dia hanya tidak mau Savero mengira ia menyukai Binar, itu saja. Kenapa semuanya jadi terdengar salah? Kenapa juga dia harus malu memiliki teman seperti Binar?

Teman. Kata itu terasa hambar di lidah Rio.

Pintu kamar Savero tiba-tiba terbuka. Kepala Ghazi menyembul ke dalam, sementara kedua mata cowok itu menatap Rio dan Savero bergantian.

"Rio kenapa? Siapa yang buta?"

Savero melotot. "Jangan ngomong kata itu lagi! Alergi, gue!"

"Kenapa, sih?" Ghazi balas nyolot sambil menutup pintu di belakang punggungnya.

"Nggak ada kata yang lebih sopan, apa?"

"Di buku Biologi juga ketulisnya 'kebutaan'!"

Rio bangkit berdiri. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, lalu memandang kedua temannya dengan emosi yang bercampur aduk. "Sori. Gue pulang dulu."

Hancur sudah suasana hati Rio. Dan kali ini, dia tidak bisa menyalahkan siapapun.


--

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro