13: Radiasi (1)
Binar membetulkan posisi duduknya. Bibirnya masih terus menyunggingkan seulas senyuman, sampai-sampai rasanya pipinya bisa berotot saking lamanya ia berbuat begitu. Dirinya tidak tahu harus berbuat apa lagi selain ikut terdiam sembari sesekali menyeruput minumannya, sementara Rio yang duduk di seberangnya sejak tadi terus bungkam. Kalau Binar tidak mendengar suara sepatu cowok itu yang diketuk-ketukkan dengan sebuah ritme teratur pada lantai kafe, bisa-bisa sekarang Binar sudah angkat kaki dari sana.
Semuanya terasa salah dan canggung. Binar tidak keberatan ia dan Rio berteman — selama tiga bulan, sesuai permintaan Rio yang membuat Binar agak waswas — namun sepertinya justru lawan bicara Binar itulah yang menyesal dan merasa keberatan mengenai keputusannya sendiri.
Binar mengerti. Dia juga sudah terbiasa memiliki perasaan itu; perasaan di mana Binar merasa kalau sebenarnya tidak ada yang tulus menyukainya seratus persen. Dan dari permintaan Rio kemarin, sudah sangat gamblang terlihat bahwa cowok itu ingin berteman dengan Binar karena sesuatu yang Binar tidak pahami.
Seharusnya, kalau Rio betulan ingin berteman dengan Binar — walaupun hanya berpura-pura, anggaplah begitu — Rio tidak akan terus mengangguri Binar bagaikan kambing congek begini. Paling tidak, seharusnya Rio memberikan kesan yang menarik sehingga Binar tidak merasa bodoh-bodoh amat.
Binar mengembuskan napas. "Rio."
"Hmm?"
"Aku pulang aja, ya."
Rio terlihat kaget. Mungkin, dia tidak mengira kalau Binar akan kabur begitu saja. Tapi, siapa juga yang tahan duduk diam selama berjam-jam, tanpa adanya interaksi? Binar bisa tertidur saking bosannya. Sayangnya, kalau Binar tidur, Binar takut ilernya membasahi baju favoritnya. Jadi, Binar hanya bisa bersabar sejak tadi.
"Kenapa?" tanya Rio dengan suara agak parau setelah terdiam sejenak.
"Nggak ada bedanya juga 'kan, ada aku sama nggak ada aku di sini?" balas Binar. Ia meraih tongkatnya yang tersandar pada meja sambil bersiap untuk berdiri, namun Rio menahan tangan Binar dan menarik tongkat tersebut menjauh dari pemiliknya.
Rio meletakkan tongkat tersebut entah di mana, kemudian menepuk-nepuk pundak Binar dua kali, memintanya agar duduk kembali. "Gue minta maaf. Gue agak nervous, dan gue lagi banyak pikiran."
Binar menghela napas, namun tak urung ia pun kembali duduk. "Kenapa harus nervous?"
"Ini pertama kalinya gue jalan berdua sama cewek," jawab Rio, sedikit ragu dan malu.
"Well, kita kan temen. Nggak ada bedanya aku sama temen-temen kamu yang cowok," sahut Binar setelah terdiam beberapa detik. Tangannya menggapai gelas minumannya di atas meja, namun sayang isinya sudah habis. Binar menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sambil mengerucutkan bibir.
"Tetep aja, Nar," kilah Rio. Cowok itu berdeham, lalu bangkit berdiri. "Gue beliin lagi, ya. Tunggu di sini."
Beberapa menit kemudian, Rio kembali dan segera meletakkan gelas minuman milik Binar di depan cewek itu. Dengan penuh semangat, Binar membuka bungkus yang menutupi sedotannya sebelum akhirnya segera mencelupkan sedotan tersebut ke dalam gelas, lalu mulai menyeruput isinya.
Setelah dahaganya perlahan hilang, Binar pun membuka mulutnya kembali. "Emangnya, apa yang kamu pikirin sampai serius banget gitu?"
"Banyak," jawab Rio singkat.
Binar tidak menyerah. "Salah satunya."
Binar dapat mendengar Rio menghela napas. "Dibebani tanggung jawab itu berat, ya?"
"Ya, tapi itu artinya kita cukup dipercaya, 'kan? Nggak semua orang bisa dapet kesempatan itu," jawab Binar sambil manggut-manggut mendengar ucapannya sendiri. Samar, ia teringat pengalamannya ketika menjadi ketua kelas saat kelas satu SMP. Pengalaman yang menyenangkan, meskipun dia terus-menerus ditegur guru akibat kelasnya yang ramai bagaikan pasar.
"Lo bener," angguk Rio. "Tapi, gimana kalau lo tahu kalau lo nggak capable melakukan tanggung jawab itu? Gimana kalau lo merasa kalau lo nggak berhak?"
Binar tersenyum. "Yah, kamu harus stop mikirin hal-hal buruk. Orang-orang yang milih kamu itu artinya udah cukup percaya sama kamu. Kamu mungkin nggak merasa berhak, tapi gimana pendapat teman-teman kamu?"
"Gue bahkan nggak bisa ambil satu foto dengan becus, Nar," sembur Rio akhirnya. Cowok itu terdengar agak frustrasi.
"Rio, kamu cinta fotografi?"
"Banget, Nar."
Binar mengangguk, puas akan jawaban Rio. "Then, put your heart into it. Jangan meras terbebani. Anggep kalo cuma ada kamu, kamera kamu, dan objek yang mau kamu foto. Selebihnya nggak penting, Yo. Hasil itu cuma ... apa, ya? Bonus? Yang terpenting itu, kamu enjoy sama apa yang kamu lakuin."
Rio terdiam.
"Kamu harus lebih percaya diri, Rio," lanjut Binar. "Bahkan, Kak Alfa bilang foto yang kamu ambil itu bagus, kok!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro