11: Interferensi (3)
/ \
Apa-yang-baru-gue-bilang-tadi-gue-bahkan-nggak-tahu-dan-itu-sangat-bukan-gue-banget-plis-tolongin-gue, kurang lebih, merupakan manifestasi dari jeritan hati Rio setelah acara makan siang mereka bersama Binar dan Alfa hari itu. Bahkan, setelah beberapa hari terlewati, Rio masih terus memikirkannya dan akhirnya panik sendiri.
Bukannya karena dia mengatakan suatu dosa besar yang tidak terampuni. Hanya saja ... dia merasa tidak enak. Dia baru saja mengenal Binar, dan itu hanyalah pertemuan kedua mereka. Namun, Rio sudah seenaknya saja mengucapkan petuah-petuah yang bisa saja melukai hati Binar.
Ah, mulut bodoh!
Rio memukul bibirnya sekali. Dua kali. Tiga kali. Sakit juga, tapi tidak apa-apa. Semoga Binar tidak merasa sakit macam ini di hatinya. Kalaupun iya ... tolong maafkan Rio, ya, Binar!
"Gue baru halusinasi, atau lo barusan beneran nampar mulut lo sendiri, Yo?" tanya Ghazi dengan kedua alis berkerut dalam. Tangannya yang menggenggam sebuah tusuk sate padang mengambang di udara.
Rio mengerjapkan matanya, kemudian memandangi kedua temannya dengan cengiran. "Lo halusinasi."
"Seisi kantin halusinasi, maksud lo?" balas Ghazi lagi. Ia menggerakkan dagunya ke arah seseorang di belakang Rio ketika cowok itu menautkan alis bingung.
Rio pun berbalik, dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Ghea. Wakil ketua ekskul Fotografi itu berjalan menghampiri mereka dengan tangan kiri memeluk buku dan tangan kanan menggenggam dua lembar uang sepuluh ribuan. Senyum kecilnya terukir, membuat Rio refleks membalasnya meskipun hanya secepat kedipan mata.
Ketika Ghea sudah mencapai meja tempat Rio dan ketiga temannya duduk, ia langsung meletakkan bokongnya di atas kursi plastik di sebelah Rio. Ghazi dan Savero memandangi cewek itu sambil sibuk melahap daging yang tertancap pada tusuknya.
Ghea meletakkan bukunya di atas meja. "Gimana?"
"Apanya?" Rio balas bertanya.
"Soal lomba, lho. Lo udah nemu objek? Lo beneran masih niat jadi ketua, 'kan? Lo tahu 'kan, kalau anggota kita udah baik banget mau ngasih kesempatan kedua buat lo?" cerocos Ghea langsung sembari mengantungi uangnya. Matanya bergerak mencari kios makanan yang enak, namun sesekali tetap menatap Rio yang justru sibuk membungkam mulutnya sendiri dengan nasi uduk.
Rio mengunyah agak lebih lama, kemudian menelannya. Lalu, ia menghela napas bagaikan seseorang yang sudah frustrasi berat. "Gue tahu. Gue juga lagi usaha."
"Gue ngerti," angguk Ghea. Cewek itu mengerucutkan bibir untuk melanjutkan, "Gue bisa kasih beberapa hasil foto anak-anak. Buat referensi lo."
Rio mengerjapkan matanya. "Boleh?"
"Sekali-sekali."
"Yaudah, boleh, deh. Soft copy-nya aja," sahut Rio antusias.
Ghea mendengkus. "Iya, lah. Emang kalau hard copy mau lo apain? Pajang di dinding?"
"Iya," jawab Rio kalem.
Ghea memandangi cowok itu dengan aneh. Namun, ia tidak memusingkannya dan justru bangkit berdiri. "Jagain buku gue, ya. Lo juga, Sav, Ghaz. Gue mau beli makan dulu."
Tanpa menunggu respons dari ketiga penghuni meja yang ditinggalkannya, Ghea segera melangkahkan kaki menuju kios gado-gado. Rio memperhatikannya sejenak, sebelum akhirnya kembali fokus melahap makanannya.
"Emangnya, lo ada masalah apa, deh?" tanya Ghazi setelah menyeruput es jeli-nya. "Maksud gue, fotografi kan dulu hidup lo banget. Kenapa sekarang lo kayak orang kena teror gitu tiap Ghea ngomongin ekskul di depan lo?"
Rio melirik Ghazi sambil mengaduk-aduk nasi uduknya tanpa minat. Nafsu makannya perlahan terkikis. "Ada, lah. Kapan-kapan gue kasih tahu."
"Lo nggak apa-apa, 'kan?" Kali ini, Savero ikut angkat bicara.
"Tenang aja. Mending, cepetan abisin makanan lo semua. Udah mau bel."
—
Sepulang sekolah, Rio langsung makan, lalu mandi. Dipilihnya baju yang paling nyaman, kemudian dirapikannya rambut dengan gel. Setelah itu, Rio pun mengambil Giselle dan mengalungkannya untuk diajak jalan sore. Di luar, cuaca sangat cerah dan mendukung pencahayaan. Kalau lancar, Rio pasti akan mendapatkan foto bagus, paling tidak satu atau dua.
Rio mengenakan sepatu kets-nya dan melangkah meninggalkan rumah. Ditemani siulan burung dan aspal yang basah akibat disiram para tetangga pencinta alam, Rio mulai membidik objek-objek menarik dengan bantuan Giselle. Kameranya itu berusaha keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal, begitu pula Rio yang terus menekan tombol jepret, sebelum akhirnya jarinya bergeser menuju tombol hapus.
Tidak bisa. Rio tidak bisa.
Ekspresi cowok itu berubah suram. Kakinya bergerak untuk menuntunnya menuju taman. Lalu, Rio menghempaskan tubuhnya ke atas bangku taman yang panjang. Matanya bergerak ke sana dan kemari, mencari sosok familier yang ia temui di tempat ini beberapa hari yang lalu. Namun, hasilnya nihil. Selain anak-anak yang asyik berlari-larian dan menaiki ayunan, Rio tidak melihat siapapun lagi di sekitar situ.
Jadi, ia pun memejamkan mata. Kepalanya terkulai ke belakang, membuat rambutnya yang sudah dirapikan oleh gel sedikit rusak. Namun, Rio tidak ambil pusing dan terus menikmati kegelapan yang menderanya.
Beginilah ... Ini yang dilihat Binar setiap hari.
"Kamu ke sini lagi?"
Mata Rio sontak terbuka lebar. Tubuhnya sendiri hampir melompat karena kaget. Butuh beberapa kerjapan mata hingga akhirnya Rio sadar bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Binar.
"Eh? Binar? Ngapain ke sini?" tanya Rio linglung. Ia menggeser tubuhnya untuk memberikan Binar tempat duduk.
Binar mengedikkan bahu. "Bosen aja di rumah. Sepi."
"Alfa?"
"Dia kan nggak dateng tiap hari," jawab Binar sambil terkekeh. "Dan umur dia baru dua puluh satu, tahu."
Rio menautkan alis. "Hah?"
"Felix kan nebaknya tiga puluh," terang Binar.
"Oh! Iya, iya," angguk Rio, kemudian tertawa. Sementara itu, dalam hatinya Rio meringis. Detail sekecil itu saja Binar ingat, apalagi ucapan Rio yang lebih panjang dari kereta api dan lebih dalam dari palung di lautan tersebut?
Ah, mati saja.
Keheningan pun mulai mendominasi. Rio berpura-pura sibuk memotret kembali, sementara Binar duduk diam, nampak bingung harus melakukan apa. Rio menggeser pandangannya ke arah cewek itu sambil menurunkan Giselle.
"Kenapa lo mau lupa?"
Binar menoleh ke arahnya. Kedua alis terangkat tinggi. "Hah?"
"Kenapa lo mau lupa sama penyebab lo buta? No offense, tapi bukannya seharusnya lo nerima badan lo apa adanya?" ulang Rio.
"Oh," gelak Binar. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecut yang cenderung terlihat miris. "Aku bukannya nggak nerima kondisiku, Rio. Aku cuma ... merasa bodoh aja, karena mataku sampai begini karena suatu hal yang nggak penting."
Rio terdiam, menunggu Binar melanjutkan. Namun, ketika cewek itu tak kunjung membuka mulut lagi, Rio pun menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku taman.
Ia berdeham. "Hidup gue juga nggak baik-baik amat."
"And why is that?"
"Gue kehilangan semangat hidup."
Mulut Binar terbuka karena kaget.
"Yah, bukan kayak orang depresi gitu, sih. Tapi, gue lagi ... apa, ya? Berusaha bikin Tuhan marah? Sebagai hukuman karena dia nggak berlaku adil ke gue?"
Binar mengerutkan alis. "Bukannya justru kamu yang rugi sendiri? Dan gimana caranya kamu tahu Tuhan adil atau nggak?"
"Well, gue tahu, Nar. Dari sebuah kertas sialan yang sekarang udah ada di Tempat Pembuangan Akhir!"
"Kamu nggak harus bentak aku kayak gitu," ucap Binar sambil mengernyit tidak suka.
"Gue nggak bentak lo," sahut Rio cepat-cepat. "Gue cuma lagi marah aja. Bukan sama lo."
Binar hanya mengerucutkan bibir. "Kertas apa itu? Kenapa kamu buang?"
"Binar," panggil Rio setelah diam sejenak, mengabaikan pertanyaan lawan bicaranya barusan.
"Hmm?"
"Lo mau berteman sama gue selama tiga bulan?"
"Hah? Kenapa harus tiga bulan?"
"Mau atau nggak?" tanya Rio lagi.
Binar terdiam. Rio tak dapat membaca ekspresinya. Setelah beberapa menit yang terasa bagaikan berabad-abad, Binar pun mengembuskan napas. "... Mau. Tapi, kenapa—"
Rio buru-buru bangkit berdiri. "Oke! Udah agak sore, jadi gue harus ... pulang. Lo juga harus pulang. Kita ketemu lagi di sini besok. Dah!"
"Rio!" panggil Binar, terlihat kelabakan ketika Rio betul-betul melangkah pergi meninggalkannya. Namun, Rio semakin mempercepat langkahnya menuju rumah tanpa menoleh, sementara sebuah senyum sedih terpatri di bibirnya.
Ah, sepertinya yang barusan adalah sebuah keputusan yang salah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro