10: Interferensi (2) Part II
/ \
Pernah tidak, berada dalam suatu tempat, atau mungkin lebih tepatnya terperangkap di dalamnya, lengkap dengan suasana canggung yang menyelimutinya? Binar tengah berada di posisi itu saat ini, dan rasanya ia jadi malu sendiri, padahal bukan dia penyebab kecanggungan ini. Semuanya terjadi akibat Papa, yang seenaknya saja mengajak Rio dan Felix makan siang bersama sebelum akhirnya mempercayakan anak gadis semata wayangnya pada kedua orang asing itu.
Maksud Binar, apakah papanya bahkan tidak peduli? Binar tahu pekerjaannya penting, tapi bukankah lebih baik kalau Papa membiarkan Binar makan di rumah saja? Bukankah itu akan lebih aman?
Siapa tahu, ternyata Rio adalah penculik dan Felix bertugas menjual orang sebagai tenaga kerja ilegal? Binar tidak akan laku, dan akhirnya nanti dia akan dibuang karena tidak berguna. Lalu, jasadnya akan mengapung di laut beberapa hari setelahnya. Mama akan panik dan segera pergi pulang ke Jakarta, kemudian ....
Tunggu. Binar kan tidak sedang membuat skenario drama horor!
Sejak kepergian Papa sekitar lima belas menit yang lalu — terbukti dari lagu ke-4 yang tengah terputar di restoran ini — meja mereka benar-benar sunyi senyap. Selain suara dentingan antara piring dan sendok, Binar tidak mendengar apa-apa lagi. Sesekali — hanya sesekali — ia dapat mendengar Rio dan Felix berbisik-bisik, meskipun yang kedengaran hanyalah suara samar yang tidak begitu meyakinkan.
Binar bosan. Untungnya, makanan di piringnya hanya tinggal sedikit. Akan sangat baik kalau ia bisa cepat-cepat pulang.
"Gue berasa kayak makan sama presiden," sembur Felix tiba-tiba. Cowok itu membanting alat makannya ke piring, membuat Binar sedikit terlonjak karena kaget. "Sumpah, nggak tahan banget diem-dieman gini!"
"Makan sama presiden kayaknya bakal jauh lebih baik daripada ini," angguk Rio setuju. "Ini lebih kayak ... makan malam terakhir sebelum dihukum pancung."
Binar mengulum senyum. "Maaf, ya. Aku nggak punya topik yang menarik."
Felix menepukkan kedua tangannya dengan semangat. "Lo baru aja menemukan topik, Nar. Kayak cinta yang dateng tiba-tiba, topik juga bisa kita temukan di saat-saat nggak terduga!"
Rio berdeham. "Contohnya?"
"Lo umur berapa?" tanya Felix setelah terdiam selama sepersekian detik.
"Siapa?" tanya Binar.
"Lo."
Binar membulatkan mulutnya, membentuk huruf O. "Oh! Aku umur enam belas."
"Tahun ini?" tanya Felix lagi.
"Tahun lalu. Sebentar lagi mau tujuh belas," sahut Binar kalem. "Kamu sendiri?"
"Sembilan belas," jawab Felix sambil lalu. "Berarti, lo seangkatan sama Rio, ya?"
Binar mengedikkan bahu. Mana dia tahu?
Felix terkekeh. "Yah, nggak penting juga. Kalau guru lo itu ... umur berapa? Tiga puluh?"
Alfa terbatuk-batuk, kelihatannya baru saja tersedak oleh makanannya sendiri. Otomatis, Binar meraih gelas minumannya untuk memberikannya pada cowok itu. Alfa menerimanya setelah menggumamkan ucapan terima kasih.
Setelah napas Alfa kembali teratur dan suasana meja kembali kondusif, Felix membuka mulutnya lagi.
"Sori, gue nggak bermaksud."
Alfa mengibas-ibaskan tangannya. "Emang saya kelihatan setua itu?"
"Binar pakai aku-kamu, dan lo pakai saya-anda? Kalian hidup di zaman kerajaan, ya?" tanya Felix dengan nada aneh.
"Bang ...." desis Rio tidak setuju. "Sori, abaikan aja dia. Sampai mana kita tadi? Ah, iya. Jadi, lo homeschooling, Nar? Gimana rasanya?"
Binar tersenyum kecil. "Yah, gimana ya? Biasa-biasa aja. Kadang bosen, sih. Rasanya, mau kembali lagi ke masa lalu dan ketemu teman-teman lama."
Hening sejenak. Kemudian, Felix bertanya, "Oh? Sejak kapan kondisi lo ... 'begitu', Nar?"
"Awal masuk SMA. Kayaknya. Aku sendiri lupa," jawab Binar. Ia terdiam agak lama, sebelum melanjutkan, "Atau aku sendiri yang lagi berusaha buat lupa."
"Lo tahu," ucap Rio, "lo nggak selamanya butuh mata buat ngeliat. Lo tahu kelelawar? Yah, pasti tahu, lah, ya?"
Binar tak bisa menahan tawanya.
"Kelelawar nggak bisa ngeliat dengan baik, jadi mereka pakai gelombang suara. Jadi, maksud gue, semuanya tergantung persepsi lo aja. Ada orang yang pake otak buat berpikir, dan ada yang pake hati. Ada orang yang nulis pake tangan kanan, dan ada yang pake tangan kiri," lanjut Rio. "Like, kita semua punya tujuan yang sama, tapi nggak semuanya bisa ditempuh lewat cara yang sama."
Selama beberapa lama, meja diselimuti oleh keheningan panjang. Tangan Binar tidak jadi menyuapkan makanan ke mulutnya, melainkan tetap terpaku di udara. Seperti Binar, Felix dan Alfa tidak menimbulkan suara apapun. Seisi dunia seperti takjub, seolah-olah Rio baru saja melakukan atraksi balet sambil menaiki mobil balap.
Rio berdeham. "Reaksi, dong. Siapapun?"
"Gue tahu nama lo ada unsur Mario-nya, Rom," Felix bersuara, mewakilkan semuanya, "tapi ... gue nggak nyangka Mario Teguh sampai bisa ngerasukin lo begini. Lo tadi ibadahnya nggak bener, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro