#2💜
Musim Gugur Di Depan Kantor Pos
Sinar mentari menembus jendela kantor pos berkaca tipis, memancari rambut indah seorang gadis kecil berkepang dua. Gadis itu membawa sebuah surat di tangannya untuk dikirimkan pada orangtuanya yang jauh disana. Setiap bulannya, ia mengirimkan pesan dari kertas lusuhnya untuk berkirim kabar. Surat menyurat menjadi kegiatan favoritnya selama tinggal bersama nenek di kampung halaman
Setiap kali musim gugur, gadis kecil itu selalu menyadari kehadiran seorang pemuda memakai setelan jas berwarna cokelat, berkemeja garis-garis berwarna kopi, dengan topi baret dan juga tas selempangnya. Pemuda tersebut tak mengirimkan surat pun memiliki urusan di kantor pos. Pemuda itu, setiap musim gugur datang, selalu duduk dibangku depan kantor pos, dibawah pohon Gingko Biloba yang daunnya menguning cantik.
“Nadya, kau datang lagi. Apakah hari ini waktunya kau untuk mengirimkan surat kepada orangtuamu?” sapa pemuda itu pada gadis kecil yang menatapnya.
Gadis kecil itu berlari kecil, menghampiri pemuda tersebut dan memeluknya hangat. “Tentu saja Tuan Jingga. Saya tak akan pernah melewati jadwal pengiriman surat untuk orangtua saya,” gadis kecil bernama Nadya itu menjeda perkataannya, lalu melanjutkan, “Tuan, saya masih penasaran. Ini sudah musim gugur ketiga semenjak kita bertemu. Saya masih tidak mengerti mengapa tuan hanya memberikan saya sebuah daun gingko disaat saya meminta penjelasan mengenai tujuan tuan berada disini?”
Pemuda yang bernama Jingga itu hanya terkekeh. Ia membelai rambut Nadya sembari berkata dengan suaranya yang lembut. “Suatu saat, kau akan mengerti Nadya. Alasan kenapa saya selalu berada di depan kantor pos disaat musim gugur ini. Juga arti daun gingko yang saat ini kamu pegang.”
Musim gugur demi musim gugur telah berlalu. Nadya pun masih bertemu dengan Jingga di depan kantor pos setiap kali musim gugur datang. Nadya selalu mempertanyakan hal yang sama dan Jingga memberikan jawaban yang tak jauh berbeda dari jawaban-jawabannya di musim gugur lalu.
Sayangnya pada musim gugur ke tujuh, Nadya harus kembali ke kota dan menetap bersama orangtuanya karena neneknya telah tiada. Semenjak saat itu, ia tak pernah pergi ke kampung halamannya, kampung yang paling cantik ketika musim gugur datang. Ia mungkin akan merindukan kantor pos berwarna merah bata itu dan juga Jingga, pemuda yang selalu menunggu di depan kantor pos setiap musim gugur tanpa alasan yang belum ia ketahui.
Waktu demi waktu terus berlalu. Gadis kecil berkepang dua itu kini tumbuh menjadi remaja perempuan yang cantik dan jelita. Ia bekerja di sebuah label surat kabar yang cukup besar namanya. Ketika hari sudah petang, Nadya segera pulang ke rumahnya. Esok hari, ia harus pergi ke kampung halamannya untuk mencari bahan tulisan yang akan dimasukkan ke dalam rubrik kisah inspiratif dalam surat kabarnya.
Sesampai di rumah, ia tak sengaja menyenggol tas kerja ayahnya yang berada di ruang tamu. Disana, ia menemukan sebuah foto hitam putih yang terlihat cukup usang. Terdapat dua pasangan yang tengah berbahagia di dalam foto tersebut.
“Nadya, kamu sedang apa nak?” Suara ayahnya itu mampu membuat jantung Nadya berdetak kencang. Pasalnya, suara ayahnya itu cukup berat dan di ruang tamu, hanya ada satu lampu minyak yang menyala.
ayahanda, maafkan saya. Tadi tidak sengaja, tas ayah tersenggol oleh saya,” Nadya menyerahkan tas itu, lalu ia segera bertanya, “Ayah maaf jika saya terlalu lancang dan mencampuri urusan pribadi. Tetapi, siapakah orang-orang yang ada di foto ini? Mereka semua nampak tidak asing di mata saya.”
Nadya lalu menyerahkan foto tersebut pada ayahnya. Semburat senyum terlukis di wajah ayahnya. Lalu, segera ayahnya bercerita mengenai foto tersebut.
“Pasangan puan dan tuan yang ada disebelah kanan ini, ayah dan ibu nak. Yang berada disebelah kiri, itu teman kami,” perlahan, senyum ayah Nadya sedikit mengendur, lalu ia melanjutkan. “Sudah lama ayah tidak bertemu dengannya semenjak ia kehilangan kasih pujaan hatinya,”
Nadya sedikit bingung. Sebelum ia membuka suara, ayahnya segera berbicara kembali. “tuan itu bernama Jingga. Puan disebelahnya bernama Nirmala. Puan belahan jiwanya pergi ketika mereka akan melangsungkan pernikahan mereka. Satu bulan setelah kami pergi ke luar kota untuk mencari pekerjaan baru karena ibumu sudah mengandungmu, usia 3 minggu.”
Nadya hampir tak bisa berkata-kata. Takdir macam apa yang mempermainkan Jingga hingga pujaan hatinya pergi meninggalkannya? Sebagai seorang sahabat, tentu ia merasa marah kepada calon istri dari Jingga tersebut. Apalagi setelah ditelisik, ternyata ia juga sahabat dari ayahnya sendiri.
“Ayah tahu, seharusnya ia masih berada di kampung halaman kita. Saya yakin ia tak akan pergi kemana-mana. Jika kamu bertemu dengannya, katakan jika ia mendapat titipan salam dari sahabat lamanya, Danu dan Renjani.”
Keesokan harinya, Nadya pun siap untuk berangkat. Tak lupa membawa perlengkapannya untuk mencari berita. Ia berangkat menggunakan bus, persis seperti yang ia lakukan beberapa tahun silam ketika ia pertama kali datang ke kampung halamannya semenjak ia lahir.
Nadya tiba-tiba teringat dengan daun gingko pemberian Jingga. Tak disangka, ia masih menyimpan daun itu di buku harian lamanya yang sudah cukup usang. Di halaman bukunya, terdapat beberapa catatan mengenai makna dan khasiat tumbuhan yang sepertinya ia rangkum dari buku perpustakaan beberapa tahun silam. Lalu, ia menemukan sebuah catatan mengenai daun Gingko Biloba. “Seharusnya saya tahu apa maksud kamu, Tuan Jingga.”
Angin bernyanyi rusuh, cakrawala termendung sendu. Cuaca yang sangat tidak bersahabat di musim gugur yang seharusnya cerah dan hangat ini. Menerjang angin, Nadya tetap berusaha untuk pergi ke tempat dimana semua kenangan musim gugurnya berasal, gedung kantor pos berwarnakan merah bata.
Samar-samar, ia melihat seorang pria paruh baya duduk dibangku persis dibawah pohon gingko. Pria itu seusia ayahnya. Tanpa basa-basi, Nadya segera menghampiri pria paruh baya tersebut.
“Tuan Jingga, itu kamu kan?”
Tuan yang dipanggil pun mendongakkan kepalanya. Ia melihat Nadya lalu tersenyum hangat. Senyuman yang sama ketika pertama kali Nadya menemuinya.
“Puan manis kini sudah besar. Tidak saya sangka pembawaanmu mirip sekali dengan Danu, namun memiliki paras secantik Renjani.”
Nadya yang mendengar hal itupun terkejut. Pasalnya, ia belum menyebutkan nama dari kedua orangtuanya dan ia tahu segalanya. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Daripada menjawab pertanyaan dari gadis muda itu, justru Jingga melempar sebuah pertanyaan lain kepadanya. “Bagaimana, kau sudah menemukan jawaban dari teka-teki atas daun Gingko Biloba? Ternyata membutuhkan waktu yang lama ya, hingga diri saya sudah tidak muda lagi.”
Nadya lalu duduk disamping Jingga, membuka catatannya, lalu ia membacanya. “Saya menemukan ini di sebuah perpustakaan di tengah kota. Daun ini memiliki arti harapan dan umur panjang. Karena pohon ini hidup lama, ia juga biasa dilambangkan sebagai cinta sejati yang tak akan pernah lekang oleh ruang dan waktu.”
“Tepat sekali, itu dia jawabannya. Memang tak bisa diragukan lagi, kau menuruni kecerdasannya Danu.” ujar Jingga sambil mengusap kepala Nadya.
Merasa belum puas, Nadya menepis tangan Jingga, menatap matanya tajam. “Tuan, saya butuh kelanjutan dari kisah tuan. Lalu ceritakan, kenapa Nirmala meninggalkan tuan dan apa hubungannya dengan diri tuan yang selalu duduk di depan kantor pos selama musim gugur tiba?” gertak Nadya.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis, menanggapi antusias dari Nadya akan kisah romansanya. Ia mulai membetulkan jas cokelatnya sembari berkata, “Baiklah anak muda, duduk dengan nyaman dan saya akan mulai bercerita.”
“Saya tak sengaja bertemu 3 orang sahabat saat liburan musim gugur tiba. Danu, Renjani, dan juga Nirmala. Kami bertemu di depan kantor pos disaat akan mengirimkan surat kepada sanak saudara. Dari sana, kami menjadi teman,” ungkap Jingga menjeda perkataannya. Lalu ia melanjutkan, “Kami berempat hanya bisa bertemu saat liburan musim gugur. Kami memiliki banyak kenangan indah. Pada musim-musim lainnya, kita selalu bertukar kabar melalui surat.”
Jingga mulai mengambil sebuah daun Gingko Biloba yang gugur. Menyuruh Nadya membuka telapak tangannya. Lalu, ia meletakkan daun itu di telapak tangan halus milik Nadya. “Sampai akhirnya pada suatu musim gugur, saya jatuh hati dengan paras Nirmala. Perasaan saya mulai dipenuhi olehnya, bermula ketika ia menjelaskan arti dari daun ini. Persis seperti apa yang engkau katakan kepada saya.”
Jingga menatap cakrawala dengan cukup sendu. Ia tersenyum getir, sembari menceritakan kisahnya kembali. “Saat saya membuat janji khusus hanya untuk bertemu dengannya di musim gugur, saya menyatakan perasaan saya. Pucuk di cinta ulam pun tiba, ia menerima perasaan saya,” ungkapnya, masih dengan senyum getir yang menghiasi wajahnya. “Lalu kami resmi menjalin hubungan. Kami bahkan menghadiri pernikahan Danu dan Renjani sebagai sepasang kekasih. Melihat itu, kami juga berencana menikah dalam waktu dekat,”
Nadya yang mendengarnya ikut tersenyum getir. Baru ia sadari bahwa mereka berempat adalah seorang sahabat yang saling jatuh cinta satu dengan lainnya. Setelah jeda sejenak, Jingga melanjutkan, “Kami berdua lalu berjanji untuk saling bertemu disini, di depan kantor pos, mengukir kisah-kisah indah untuk memperkuat ikatan kita. Sampai akhir hayat, kami ingin tempat ini menjadi saksi kisah perjalanan cinta kita. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk melaksanakan sebuah janji suci disini.”
Senyum yang awalnya terlukis di wajah Jingga, perlahan pudar. Digantikan oleh sepasang mata sendu yang menyedihkan. Karena tidak sabar, Nadya menyelak Jingga sebelum ia sempat berbicara.
“Apakah ia meninggalkan tuan saat acara pernikahan kalian sudah dekat? Mengapa setega itu hingga ia melepaskan pria baik seperti tuan?”
“Benar, ia meninggalkan saya,”
Satu frasa, membuat Nadya cukup marah. Kalau ia menjadi Jingga, ia akan mencabik-cabik wanita tersebut. Belum sempat Nadya memberikan tanggapan, Jingga kembali berbicara, “karena saya rasa, Tuhan lebih sayang padanya. Malaikat maut menjemput Nirmala tepat semalam sebelum pernikahan kami dilaksanakan.” tutur Jingga, sembari tertawa miris.
Nadya sungguh terkejut. Nirmala meninggalkan Jingga bukan karena ia wanita yang jahat, melainkan takdir yang memisahkan. “Dua hari sebelum pernikahan, kami bertengkar hebat. Saya hampir saja membatalkan pernikahan jika Danu tidak mengirimkan surat perihal sakit yang diderita Nirmala. Nirmala, ia menderita kanker otak. Sebelum saya sempat melayangkan maaf, ia telah pergi.”
Air mata mulai mengaliri pipi Jingga yang dingin. Ia lalu menatap Nadya. Nadya bisa melihat, pancaran aura kesedihan dari netra pria paruh baya itu. “Sampai akhir hayatnya, saya tidak bisa menemaninya. Duka itu sangat dalam dan berbekas di hati saya. Hingga akhirnya saat musim gugur tiba, saya selalu berada disini, di depan kantor pos, berharap ia kembali.”
Nadya yang merasa tidak enak akan prasangkanya, menundukkan kepalanya. “Maaf saya sudah menilai Puan Nirmala dengan salah.” Sesal Nadya sembari mengayunkan kakinya.
“Kamu tahu puan manis, apa yang saya dapatkan selama merenung disini?” tanya Jingga kepada Nadya. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu
Segala yang indah itu, tidak bertahan selamanya. Seperti salju yang jatuh di musim dingin, seperti bunga yang berguguran pada musim gugur, seperti sinar mentari yang jatuh untuk menghangatkan bumi. Mereka terjatuh dan sirna. Namun, rasa itu tetap ada dan bertahan selamanya,” Jingga kembali mengambil daun Gingko yang berguguran, lalu mengarahkannya ke langit sembari mengucap, “Walau raga puan terkasih, Nirmala tak lagi disini, tapi jiwa dan kenangannya tetap hidup pada hati saya, pada tempat ini. Sampai ajal saya menjemput, saya akan selalu memenuhi janji kami, untuk bertemu disini, agar kenangan tentang dirinya tetaplah hidup dan abadi, seperti cinta kasih kita, seperti pohon daun Gingko Biloba.”
Perlahan, angin mulai berhenti bertiup. Sinar mentari mulai menampakkan keberadaannya, menyinari dua insan manusia yang sedang duduk berbagi kisah. Cakrawala nampak mulai bersahabat, ia menunjukkan warna Jingga yang teduh, seteduh kisah kasih Tuan Jingga dan Puan Nirmala. Rasa penasaran Nadya kini telah terjawab. Ia ingin berterima kasih kepada Tuan Jingga karena telah membagikan kisahnya.
Saat ia menengok kearah Jingga, pria paruh baya itu telah tertidur dengan lelap dan tenang. Sebuah senyum kecil nan tipis tergurat pada wajahnya yang begitu tenang. Nadya mencoba menghampirinya, menggoyang-goyang kecil badan Jingga. Namun, Jingga diam tak berkutik.
“Tuan … Tuan Jingga?”
Nadya segera memeriksa nadi Jingga. Pada akhirnya, ia menyadari sesuatu.
“Tuan Jingga, semoga bahagia dengan Puan Nirmala disana. Cerita asmaraloka pada musim gugur di depan kantor pos tidak akan pernah saya lupakan.” pungkas Nadya, berlinang air mata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro