Bab 08
AZKA, KENAPA lelaki itu bisa ada di sini?
"Kamu ...."
"Aku enggak sengaja lewat sini tadi. Dan kebetulan, aku merasakan ada aura kegelapan dan suara yang berasal dari sini. Jadi, aku samperin deh," terang Azka sebelum Zay meminta penjelasan dengan raut horornya itu.
Zay meneguk saliva. Kalau begitu ... bukankah itu berarti Azka menguping?
Kedua tangan Zay meraih bahu Azka dan mengguncangnya hebat.
"Katakan, kamu enggak menguping, 'kan? Kamu nggak tahu apa yang terjadi di dalam, 'kan? Katakan padaku, Azka!" bentak Zay. Tak hanya tubuhnya yang bergetar, tetapi suaranya juga.
Ketakutannya itu benar-benar tidak bisa diatasi. Bagaimana jika Azka mengetahuinya? Bagaimana jika ia memberitahukannya kepada orang-orang? Bagaimana jika—
Oh, sungguh menyebalkan! Overthinking-nya mulai lagi.
Sementara itu, Azka yang mulai pening karena tubuhnya terguncang meraih lengan Zay yang masih berlapis sarung tangan.
"Za-zay, stop dulu, oke? Aku pusing," ucap Azka.
Zay yang mulai sadar, perlahan menjauhkan tangannya dari bahu Azka. "Ma-maaf ...."
"Oke, pertama, aku minta maaf karena sudah menguping. Kedua, ehm, ya ... aku mendengar dan melihat apa yang terjadi di dalam lewat kaca," jawab Azka canggung.
"... kenapa? Kenapa, Ka?" Zay menatap Azka dengan kepala agak menunduk. Rautnya benar-benar terlihat frustrasi. Zay yang sudah lama tidak menangis, kini sesegukan pelan.
"Ah, Zay." Azka meringis. Hatinya diserang rasa bersalah. Melihat air mata yang mengalir di pipi Zay dan tatapannya yang frustrasi, Azka jadi semakin merasa bersalah dan tidak tega.
"Kamu—kamu pasti membenciku. Iya, 'kan?! Jangan munafik! Pasti sehabis ini kamu langsung menjauhiku, 'kan?!" pekik Zay sembari mengucek kelopak mata. Bahunya bergetar hebat. "Tapi—tapi ... jangan kasih tahu yang lain! Aku ... aku mohon, Ka ...."
Zay ambruk ke tanah karena sudah tak mampu menahan beban tubuhnya. Jemarinya memegang pergelangan tangan Azka yang berlapis kemeja dan lengan jas.
Hati Azka terenyuh. Dadanya ... entah kenapa rasanya sakit sekali melihat gadis di hadapannya menangis. Selama ini, ia selalu melihat sosok Zay yang tegas, dapat diandalkan, serta ramah dan murah senyum walaupun rautnya berbanding terbalik. Dan sekarang, Zay menangis karenanya?
Ingin rasanya Azka mengulurkan tangan dan memeluk sang gadis untuk menenangkannya. Dan Azka, benar-benar melakukan apa yang dipikirkannya.
Ia berjongkok, kemudian tanpa sadar tangannya terulur, meraih tubuh Zay dan mendekapnya. Telapak tangan kanan Azka mengusap bagian belakang kepala sang gadis dengan lembut.
"Tenanglah, Zay. Aku enggak lantas membenci kamu. Aku juga enggak akan memberi tahu ini pada yang lain. Kalau kamu minta rahasiakan, akan aku rahasiakan kok," ujar Azka.
Nadanya yang kalem begitu menenangkan, seperti air. Sukses membuat tangis Zay terhenti—ah, bukan. Dirinya bukan berhenti menangis karena perkataan Azka, melainkan karena lelaki itu tiba-tiba mendekap dan mengelus kepalanya. Zay terlalu syok. Belum pernah ia dapatkan perlakuan seperti ini sebelumnya.
Tangan Zay tidak bergerak untuk membalas dekapan Azka. Rasanya memang ... hangat. Namun, di sisi lain, ia marah. Ia marah karena Azka—yang notebene-nya orang asing—main asal menyentuh bahkan memeluknya.
Saat ini Zay masih dikuasai ego dan ketakutannya. Tangannya terangkat, kemudian menepis dan mendorong tubuh Azka untuk menjauh darinya.
"JANGAN MENYENTUHKU!" hardik Zay sambil memeluk tubuhnya sendiri. Air matanya keluar lagi.
Azka tersentak. Sudah tiga kali—atau empat, mungkin—ia dibentak oleh Zay. Dan lagi, ia memang tak berharap pelukannya akan dibalas oleh Zay, tetapi tak menyangka jika Zay sampai menepis dan mendorongnya.
"Maaf, Zay. Aku—aku cuma mau menenangkan kamu. Aku pikir kamu bakal lebih tenang kalau dipel—"
"Kalau masih mau hidup, jangan sentuh aku lagi—apalagi peluk!" ancam Zay, kemudian bangkit berdiri.
"O-oke, tapi lukamu—"
"Berisik!"
Dengan kaki yang bisa ambruk kapan saja, Zay mulai melangkah dan meninggalkan Azka. Lelaki itu hendak mengejar Zay andai gadis itu tidak membentak dan berkata baik-baik saja.
Pipi dan lengan terluka, tubuh bergetar, kaki rapuh, dan sedang menangis. Bahkan dari kejauhan, Azka bisa melihat gadis itu berjalan sempoyongan.
Jadi, di mana letak baik-baik sajanya? Azka sungguh tak habis pikir.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Azka langsung menoleh ke asal suara. Pak Erik baru saja keluar dari ruang latihan. Alisnya bertaut, sedangkan tangan kiri berkacak pinggang. Atensinya langsung terfokus pada lelaki berseragam SMA Bhayangkara.
"Kamu, siapa?" tanya Pak Erik, menunjuk Azka.
"Oh, Bapak belum keluar toh. Saya kira sudah," balas Azka disertai senyum lebar. "Saya Azka Banyubiru dari kelas XI-1, Pak. Bapak pasti guru magang baru itu, ya?" lanjut Azka, menggebu-gebu.
Aura penuh tekanan dan intimidasi yang tadi sempat dirasakannya kini semakin jelas. Sepertinya aura itu berasal dari Pak Erik.
Pak Erik memasang wajah cengo. "Kamu tahu saya? Padahal saya belum mengajar kelas kamu, lho," kata Pak Erik heran.
Azka menyengir, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Itu sih, karena banyak yang membicarakan Bapak. Jadinya saya tahu."
"Wah, saya terkenal dong? Padahal ini baru hari pertama saya mengajar!" Pak Erik tergelak. Kemudian, matanya mengedar. Hari sudah gelap. Pemandangan sekitar hanya jalan setapak, lampu jalanan, serta beberapa gedung yang terlihat.
"Benaran lho, Pak! Katanya, Bapak elementer kegelapan, ya?" tanya Azka yang dijawab anggukan dari Pak Erik.
"Enggak heran kalau Bapak cepat terkenal. Jarang-jarang ada elementer kegelapan yang memasuki sekolah ini. Sekalinya masuk, ya heboh."
"Hahaha! Di mana-mana juga begitu kali, Azka!" Pak Erik terkekeh. "Nah, kamu kenapa ada di sini? Kan sudah malam, tidak kembali ke asrama?"
"Ini mau balik kok, Pak," jawab Azka. Lantas, ia teringat dengan luka Zay. "Oh iya, Pak. Itu Zay terluka."
Raut Pak Erik berubah. "Ribut-ribut tadi itu ulah kamu sama Zay, ya?"
Azka meringis dan tersenyum masam. "Iya, Pak. Ehm, saya juga minta maaf karena sudah menguping tadi."
"Lho, jadi dari tadi kamu menguping? Saya kira tadi cuma perasaan saya saja saat merasakan ada aura lain di sekitar ruang latihan. Ternyata kamu, ya."
Azka mengangguk seraya memegang tengkuknya. "Bapak marah sama saya juga?"
"Sekarang saya tanya, kamu tahu apa yang terjadi di dalam?"
Azka mengangguk. "Tahu, Pak."
"Kamu tahu kalau Zay—"
Azka langsung mengangguk cepat. "Itu juga tahu."
"Hah ...." Pak Erik mendesah sembari menepuk wajah kirinya. "Kenapa kamu menguping?"
"Saya benar-benar minta maaf, Pak. Awalnya saya enggak tertarik, tapi ketika tahu yang bertarung di dalam adalah Zay, saya jadi menguping—eh, nggak, melihat juga deh."
Pak Erik menaikkan satu alisnya. "Memangnya kenapa dengan Zay?"
Azka bergeming sejenak. Ia masih ingat betul goresan yang tersembunyi di balik sarung tangan Zay.
"Ehm, saya juga nggak tahu, Pak. Saya ... entah kenapa pengin menolong Zay."
"Hmm, berarti kamu enggak membencinya setelah mengetahui identitas aslinya?"
"Iya." Azka mengangguk. "Saya enggak mengerti, Pak. Apa saya harus membencinya karena dia elementer kegelapan begitu?"
Pertanyaan Azka sukses membuat Pak Erik tertegun. Kemudian, kedua ujung bibirnya terangkat ke atas. Anak yang menarik.
"Baguslah kalau kamu tidak membencinya." Pak Erik mengembuskan napas lega. "Oh, ya, saya boleh minta tolong sama kamu? Yah, ini lebih seperti permintaan, sih."
"Boleh, selama saya bisa melakukannya," balas Azka tertarik. "Jadi, apa itu, Pak?"
"Sebelumnya, saya minta maaf sudah meminta tolong sama kamu. Saya punya permintaan ...."
• • •
"Ris!" seru Azka sambil mengetuk pintu kamar asramanya.
"Masuk saja, elah. Enggak dikunci," jawab suara dari dalam.
Tanpa menunggu lama, Azka langsung membuka pintu dan menutupnya kembali. Sepatunya ia taruh asal, padahal ada rak khusus sepatu di samping pintu. Tatapan galak dari roommate-nya saat Azka melompat ke ranjang miliknya tak ia pedulikan.
"Lama banget. Tadi katanya mau balik cepat," komentar Aris yang sedang bertelanjang dada, memamerkan perut kotak-kotak dan badan berototnya. Sebuah handuk hijau melingkar di leher lelaki itu. Sepertinya ia habis mandi.
"Pasti nyangkut lagi nih," tambahnya yang ditanggapi cengiran dari Azka.
Sementara Aris memakai baju, Azka yang masih mengenakan seragamnya dengan lengkap menelengkupkan kepalanya di bantal. Malu juga mengingat ia main memeluk Zay tadi. Sekarang jantungnya sedang berdegup kencang. Sepertinya tadi juga, saat tangannya mengelus kepala Zay.
Ah, pipi Azka panas. Mungkin wajahnya sudah memerah sekarang. Biarlah, Aris tidak melihat wajahnya ini.
"Kenapa kamu? Lagi jatuh cinta sama seseorang?"
Azka mengangkat wajahnya. Aris yang sudah selesai memakai baju mendekati ranjang Azka dengan senyum menggoda.
"Enggak," jawab Azka, kemudian membalikkan badan dengan posisi telentang.
Yah, tetapi tidak dapat dimungkiri, bahwa sekarang pikirannya hanya tertuju pada seorang gadis yang baru tadi ia ketahui identitas aslinya.
"Eh, Ris," panggil Azka.
Aris tak langsung menjawab. Setelah lelaki elementer api itu duduk di pinggiran ranjangnya, barulah ia menyahut, "Oit."
Azka menoleh ke ranjang di sebelahnya. "Kamu, kan, dekat sama Zay—"
"Dekat apanya, cuy?" sela Aris. Nadanya tidak ramah, didukung oleh alisnya yang bertaut. "Yang ada aku dibantai terus sama dia."
Aris meringis, sementara Azka sudah tergelak.
"Ya itu, kan, karena kamu buat ulah! Siapa suruh bakar-bakaran fasilitas sekolah?"
"Biar seru," kelakar Aris.
"Biar seru ndasmu, Ris!"
Jawaban Aris sungguh membuat Azka tak habis pikir. Terkadang ia heran, kenapa Aris bisa tidak dikeluarkan dari sekolah karena tingkahnya itu. Bukannya ia ingin roommate-nya dikeluarkan, sih, hanya heran saja. Dan ketika ia kebetulan memikirkan itu, langsunglah teringat jika keluarga Nauvalino adalah salah satu donatur terbesar SMA Bhayangkara.
Yah, Azka hampir lupa jika Aris membakar sesuatu, keluarganya pasti akan menggantinya dua kali lipat. Itulah kenapa tidak banyak orang yang heboh jika seorang Aris Putra Nauvalino membuat keributan. Paling-paling, hanya pihak OSIS dan BK saja yang mengurusnya. Jika begitu, bagaimana bisa pihak sekolah mengeluarkan Aris? Mereka akan kehilangan donatur terbesar yang merupakan salah satu faktor pendorong majunya sarana dan prasarana di sini.
Namun, di luar itu, mengenal Aris selama delapan bulan semenjak mereka seasrama bareng membuat Azka sedikit banyak tahu tentang roommate-nya. Begitu pun sebaliknya. Aris tidaklah seburuk yang orang kira. Lelaki elementer api itu selalu bersemangat dan pantang menyerah. Terkadang ia bisa menjadi motivator yang baik dan memiliki jiwa kepemimpinan.
Anehnya, saat berhadapan dengan Zay, semua kesan pada Aris buyar. Ketegasan—atau yang Aris anggap kegalakan—Zay sukses membuat si Biang Kerok yang bermuka sangar tidak berkutik dan hanya menerima jeweran atau cubitan yang terkadang menyerangnya.
Lucu juga mengingatnya. Zay yang—dulu—hanya seorang nonelementer biasa, dapat membuat Aris seperti itu. Gadis itu memang menarik. Murah senyum dan andalan banyak orang. Tetapi, kenapa ya, Zay melukai dirinya sendiri dan selalu memasang senyum palsu?
Di pertemuan mereka Kamis minggu lalu, Zay membentak Azka. Padahal, Azka sangat khawatir pada Zay. Tadi juga saat ia memeluk Zay, gadis itu malah menepis dan menolak pelukannya. Padahal, Azka ingin sekali menenangkannya.
Kalau begini, Azka jadi semakin ingin menolong Zay dan membantunya keluar dari lingkaran gelap yang membelenggu. Apalagi setelah ia tidak sengaja melihat masa lalu Zay dengan elemennya—dan, permintaan Pak Erik saat di depan ruang latihan tadi.
"Saya punya permintaan. Sebelumnya, maaf jika permintaan saya ini nantinya akan sedikit menyulitkan kamu. Saat ini, hanya kamu satu-satunya murid yang mengetahui identitas Zayra. Dan karena tadi kamu bilang mau menolongnya, saya mohon ke kamu, tolong jaga Zay dan bantu dia. Dia butuh pertolongan dari seseorang yang ada untuknya."
Tanpa ragu, Azka langsung mengangguk mengerti. Menolong Zay. Sejak kelas sepuluh, ia memang selalu memperhatikan gadis itu karena penampilan uniknya yang selalu mengenakan sarung tangan. Dirinya memang menyadari ada yang salah dengan Zay. Maka, Azka berniat menemukan sesuatu yang salah itu—dan, ia berhasil menemukannya baru-baru ini.
"Jadi, itulah permintaan saya. Apa kamu keberatan?"
Azka menggeleng. "Saya sama sekali nggak keberatan, Pak. Jika itu demi Zay, saya akan melakukan yang terbaik untuknya."
"Bagus. Saya senang mendengarnya. Terima kasih, Azka."
• • •
Revisi: 23 Juli 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro