Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 07

BELIAU? SIAPA?

Tidak, daripada itu ... Pak Erik benar-benar licik!

Sekarang, pria itu tengah melangkah mendekatinya. Dan begitu ia sampai di hadapan Zay, maka, yang Zay lakukan adalah mengalihkan topik sebelum Pak Erik membahasnya lagi.

"Kenapa Bapak bisa terpental jauh kayak begitu?"

"Jangan pura-pura bodoh, Zayra."

"Saya benaran tidak mengerti, Pak. Kenapa Pak Erik terpental, kenapa kegelapan tadi raib, dan kenapa Bapak bertepuk tangan."

"Kamu tahu semuanya. Anak beasiswa seperti kamu tidak mungkin sebodoh itu karena tidak menyadari hal remeh tadi, 'kan?"

Zay mendesis. Umpatan yang ditujukan kepada Pak Erik tak henti-henti ia lontarkan dalam hati Guru ini sangat menyebalkan!

Pak Erik bersedekap dan menyuguhkan senyum yang bagi Zay sangat menjengkelkan.
"Jadi, Zay, saya tanya sekali lagi. Kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?"

"...." Tak ada balasan dari Zay. Hanya lirikan sinis yang tertuju pada sang guru.

"Kenapa kamu membohongi semua orang?"

"...."

"Sampai kapan kamu mau mengelak?"

"A ...." Pertanyaan ketiga, Zay membuka mulut. "Saya benci Pak Erik."

Namun, respons Zay bukanlah jawaban yang diinginkan Pak Erik. Ujaran kebencian itu bahkan senada dengan rautnya. Sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Zay tidak berbohong kalau ia benar membenci Pak Erik.

Mengabaikan kebencian Zay yang beriringan dengan aura kehitaman yang mengelilingi tubuhnya, Pak Erik hanya memasang wajah datar.
"Jadi kamu tetap tidak berniat menjawab, nih?"

"Iya! Untuk apa saya mengatakannya sama Bapak? Enggak ada untungnya buat saya!" Emosi Zay mulai tidak terkontrol. Ia jadi makin tidak peduli jika yang sekarang di hadapannya adalah seorang guru.

Persetan dengan guru!

Gigi Zay bergemeletuk. Andai ia bisa, sudah pasti ia akan melenyapkan Pak Erik sekarang juga.

Raut Pak Erik semakin menyeramkan. Namun, Zay tidak peduli dengan itu. Ia sudah tidak takut lagi dengan hawa intimidasi sang guru. Malah, rasanya ia juga menyeramkan. Aura pekat sudah hampir menguasai seluruh tubuhnya.

"Redakan dulu amarahmu, Zay. Jangan sampai kamu dikendalikan sama kegelapan itu sendiri. Kamu yang harusnya memegang kendali atas diri dan elemenmu sendiri, bukan mereka."

"...."

Zay memang marah pada Pak Erik, tetapi ucapannya ... ada benarnya juga. Ia bahkan bisa melihat dan merasakan aura pekat yang mengelilingi dirinya.

Oh, sungguh sialan.

Harusnya ia minum pil penahannya tadi. Gara-gara auranya sudah lama tidak keluar, bagaimana bisa ia mengabaikan hal yang terlihat sepele, tetapi fatal seperti ini? Botol kaca berisi pil yang ada di lacinya masih terisi agak penuh. Sehabis ini ia harus langsung meminumnya, titik.

Dengan susah payah, Zay mencoba mengembalikan keadaan seperti semula dan menyembunyikan auranya. Kali ini Zay merasa cukup beruntung karena di sini hanya ada ia dan Pak Erik seorang. Setidaknya, tidak ada murid maupun guru SMA Bhayangkara yang tahu, selain mereka.

"By the way, Zay. Saya punya beberapa alasan kenapa kamu harus mengaku. Dan kamu salah kalau berpikir tidak ada untungnya buat kamu," celetuk Pak Erik menjawab pertanyaan Zay sebelumnya.

"Kita sesama elementer kegelapan. Apa yang mau disembunyikan lagi, sih? Padahal, kamu sendiri juga tahu, kan, kalau seorang elementer kegelapan bisa merasakan dan mengetahui aura dan hawa keberadaan dari elementer kegelapan lainnya?"

Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan, Zay tidak tahu. Yang pasti, ia benar-benar hampir melupakan fakta itu.

"Saya tahu kamu pasti juga sudah mengetahui identitas saya saat pertemuan pertama kita di taman belakang."

Zay sama sekali tidak menggeleng atau mengangguk. Namun, benaknya mengiakan. Dipikir-pikir lagi, ia setengah tidak sadar kalau Pak Erik sedang menyamarkan auranya saat itu.

Alih-alih memikirkan soal aura dan sebagainya, kini atensi Zay tertuju pada perkataan Pak Erik yang membahas tentang 'seseorang'. Kenapa pula ia disebut mirip beliau?

Sempat terbesit niat untuk menanyakannya, tetapi Zay masih agak gengsi. Karena biasanya ia tidak peduli pada hal seperti ini. Namun, kali ini berbeda. Beruntung, tanpa menanyakannya terlebih dahulu, Pak Erik kembali bercerita tentang seseorang yang ia panggil beliau.

"Tapi, kamu tahu tidak, Zay? Sebenarnya, saya jadi mudah mengenali kamu karena auramu sedikit banyak mirip beliau, lho!"

"Beliau?" cicit Zay.

"Guru saya, Tuan Zayn."

"O-oh ... eh? Zayn?" Kening Zay mengerut, merasakan kejanggalan. Nama itu terdengar tidak asing dan ... tunggu, bukankah itu nama mendiang ayahnya?

Pak Erik tergelak ringan. "Iya, ahahah! Saya pikir kamu mungkin anaknya-" Netra kelam Pak Erik melirik Zay. "-atau mungkin, kamu memang benar anaknya? Seingat saya dulu beliau memiliki satu orang putri."

Zay tak dapat berkata apa-apa. Bibirnya terkatup rapat-rapat. Sementara netra kelamnya tampak sayu tatkala mendengar nama 'Zayn' yang sungguh tak asing baginya-walau, Zay akui, ia sempat lupa.

Baiklah, elementer kegelapan mana lagi yang memiliki nama Zayn, selain orang itu? Siapa pun yang mendengarnya pasti langsung tertuju padanya, sang elementer kegelapan yang disegani-atau ditakuti entahlah-banyak orang pada masanya.

Dan siapa lagi yang Pak Erik maksud kala menyebut 'satu orang putri' kalau bukan dia?

Ah ... dunia sungguh sempit.

Zay tidak pernah menyangka atau bahkan sekadar berpikir jika sang guru baru yang ada di hadapannya adalah murid dari mendiang ayahnya. Maksudnya, oh, ayolah! Ia bahkan tidak tahu jika ayahnya memiliki murid.

"Maksud Pak Erik ... Zayn, si elementer kegelapan yang dulu pernah ditakuti pada masanya?" balas Zay, nyaris berbisik.

Sejenak, Pak Erik mengernyit karena suara Zay, tetapi tetap menyahut, "Benar. By the way, bukan ditakuti, tapi disegani, Zay! Maksud saya, elementer kegelapan mana lagi yang sekeren dan sehebat dirinya?"

Pak Erik mengoceh semangat. Netra kelamnya kini tampak berbinar penuh keantusiasan.

Zay menekuk wajah. Keren dan hebat, huh?

"Melihat reaksi kamu tadi, sepertinya saya benar, ya? Kamu betul-betul putri beliau, Zay?"

Sulit mengakuinya, tetapi kepala Zay tetap mengangguk.

Pak Erik menyunggingkan senyum tipis. "Kalau begitu saya tidak salah membaca aura. Yah ... walaupun saya sempat ragu awalnya karena kamu menyembunyikan aura dengan sempur-ah, tidak, tapi nyaris sempurna."

Zay berdesis lagi. Benar-benar sial. Sekarang, identitas yang ia simpan rapat-rapat selama bertahun-tahun lamanya terbongkar di hadapan seorang guru baru yang super menyebalkan.

"Setelah mengetahui identitas saya, lalu Bapak mau apa? Melaporkannya pada pihak sekolah?" hardik Zay.

"Tidak. Saya bukan tipe orang yang seperti itu. Lagi pula saya yakin kalau kamu punya alasan sendiri," balas Pak Erik tenang. Berbanding terbalik dengan netra kelam yang selalu memancarkan sorot tajam, kini tatapannya meneduh dan-sekilas seperti mengasihani.

Sekarang Zay berpikir, tatapan Pak Erik yang mengerikan jauh lebih baik daripada ini. Ia tidak suka dikasihani.

"Kalau kamu tidak keberatan, mau cerita sama saya?" tawarnya.

Zay menggeleng. "Saya keberatan. Bapak bukan siapa-siapa saya selain guru baru di sini, untuk apa?"

Desahan kecewa diembuskan. Tampaknya Pak Erik agak sakit hati mendengarnya. Matanya kemudian melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 18.15.

"Ya sudah kalau begitu. Lain kali saja. Saya akan tetap menunggu kamu sampai kamu siap. Sekarang, kamu pulang. Sudah malam."

Zay berdecak dalam hati. Kenapa orang ini yakin sekali kalau ia akan bercerita? Demi apa pun, Zay ogah!

"Saya pamit." Tanpa memberi salam pada Pak Erik, Zay melangkah menuju pintu dengan gontai.

Pak Erik melambaikan tangan kanannya. "Saya puas dengan pertarungan tadi, Zay! Walaupun saya tidak menganggap itu pertarungan, sih."

Langkah Zay terhenti bersamaan dengan decakan sinis yang lolos dari bibirnya. Ia pun menoleh. "Dan saya benci Bapak!"

"Jangan benci, Zay. Nanti jadi suka, saya yang repot!" sahut Pak Erik diiringi gelak tawa yang membuat Zay mendelik. "Oh ya, jangan lupa obati lukamu!"

Zay tak menjawab dan hanya menganggap perkataan Pak Erik angin lalu. Tangannya memegang kenop pintu, lalu mendorongnya, dan ... oh, sial.

"... Azka?" Netra Zay agak terbeliak. Jantungnya berpacu cepat. Tubuhnya seketika dihantam tremor.

Sementara itu di balik pintu, seorang lelaki berambut biru gelap yang masih mengenakan jas marun terlihat kikuk, sedangkan tangannya memegang tengkuk.

• • •

Revisi: 23 Juli 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro