Bab 03
"SELAMAT PAGI, Zay."
"Pagi."
"Morning, Girl."
"Morning too, Mister."
"Oi, Zay! Lama nggak ketemu! Gimana kabarnya?"
"Baik kok. Kamu sendiri gimana?"
"Aku juga baik. Kamu sih, sibuk kerjaan OSIS terus!"
"Ya, mau bagaimana lagi."
"Zay, terima kasih sudah membantu Ibu kemarin, ya! Kalau enggak ada kamu, Ibu pasti kerepotan."
"Sama-sama, Bu. Saya juga senang bisa membantu."
"Zay, berkas kemarin sudah saya terima, ya. Makasih, lho. Kamu yang paling gercep (gerak cepat) deh!"
"Sama-sama, Pak. Eh, Bapak bisa saja. Makasih atas pujiannya lho, Pak."
"Zaaay! Ke kantin, yuk?"
"Aku mau ke kelas, Ziva."
"Kalau gitu, ke kelas bareng aku aja, Zay!"
"Eeh? Kok begitu, sih?"
"Ya sudah, ay-"
"ZAAAY!"
Seperti biasa, Zay membalas semua sapaan di pagi hari yang ditujukan kepadanya sepanjang ia melangkah di koridor dan berpapasan dengan banyak orang. Namun, baru saja Zay ingin menaiki anak tangga untuk pergi ke kelas bersama seorang siswi, seseorang memekik sambil menghampiri Zay tergesa-gesa.
Otomatis, Zay, siswi itu, dan beberapa orang lainnya menghentikan langkah mereka dan menoleh dengan raut bingung.
Orang yang tadi berteriak ternyata adalah salah seorang anggota OSIS. Ia tidak langsung berbicara, melainkan mengatur napas terlebih dahulu. Tampaknya habis berlari dan terburu-buru.
"Iya, Fris-Friska?" sahut Zay setelah membaca nametag yang tertera di dada kiri orang itu.
Friska lantas menegakkan punggung. Rautnya masih panik seperti tadi. "Itu-Aris! Aris!" serunya sembari menunjuk koridor yang luar.
Netra Zay langsung menajam begitu mendengar nama yang tak asing di telinganya. Ditambah lagi, Friska menunjuk ke arah koridor luar. Di sana adalah ruang laboratorium. Tanpa diberi tahu pun, Zay sudah tahu apa yang terjadi.
"Si Biang Kerok kenapa? Berulah lagi?" tanya Zay.
Friska mengangguk. "Dia nyaris membakar lab! Pak Uli sama Bu Mai sudah mencoba menghentikan dia, tapi Aris itu-arghh! Mana Zesya belum datang pula!"
"APA?" Netra kelam Zay mendelik. Aura di tubuhnya berubah. Orang-orang yang melihat itu bergidik dan segera menjauh. Padahal, gadis itu adalah nonelementer, tetapi kalau sudah marah begini, auranya bahkan lebih menyeramkan dari elementer sekalipun!
"Oke, terima kasih infonya!" Tanpa babibu, Zay mengambil langkah cepat menuju laboratorium sekolah. Alangkah terkejutnya ia saat melihat kobaran api yang membakar salah satu meja di lab Biologi dari kejauhan.
Zay mendengkus. Ini sih, bukan nyaris lagi, tetapi memang sudah terbakar!
Beberapa guru dan murid terlihat mengerumuni lab. Memang tak banyak, karena saat ini memang masih terbilang pagi.
Dua guru-Pak Uli dan Bu Mai-yang memang elementer air mencoba memadamkan api, sementara murid-murid yang melihat hanya terdiam di tempat. Tampaknya mereka sudah mencoba dengan alat pemadam kebakaran, tetapi tak jua berhasil. Mereka juga tak dapat membantu banyak dikarenakan peraturan yang melarang penggunakan kekuatan di area sekolah.
Faktor lain adalah karena api milik Aris merupakan api biru yang jauh lebih sulit padam dan panas dibanding api biasa. Zay hampir lupa jika lelaki yang hobi membakar fasilitas sekolah itu juga sama kuatnya dengan Ruli.
Memang dasar duo biang kerok!
"Arisnya mana?!" tanya Zay begitu sampai di kerumunan.
"Enggak tahu, Zay! Anaknya langsung kabur. Yang lain juga lagi mencari dia, tapi belum ketemu," jawab salah seorang siswa yang Zay ketahui merupakan kakak kelas.
Zay berdecak sebal. Sudah berbuat, malah tidak bertanggung jawab.
"Kalau kamu yang bantu cari mungkin bisa ketemu, Zay."
Zay mengangguk singkat. Memang sering kali ia yang mengurus Aris jika lelaki itu berulah.
"Ya sudah, aku cari dia dulu!" pamit Zay, kemudian bergegas pergi.
"Oke!" balas kakak kelas itu dari jauh.
Zay menyusuri tiap koridor sekolah dan mengecek ruangan-ruangan yang bisa ia masuki. Tak lupa bertanya kepada orang-orang perihal keberadaan lelaki elementer api itu. Namun, tak ada satu pun yang melihatnya.
Zay menyumpah serapah kepada Aris. Ke mana sih, perginya si Biang Kerok itu? Sudah pagi-pagi bikin masalah, kabur pula! Benar-benar menyusahkan!
Zay heran kenapa Aris tidak segera dikeluarkan dari SMA Bhayangkara. Dia sama blangsak-nya dengan Ruli. Namun, kalau Ruli sih, Zay masih memakluminya. Ia juara umum turnamen tahunan. Ditambah lagi, si Monster Angin itu sering memenangkan olimpiade dan turnamen lain di tingkat nasional sampai internasional mewakili sekolah.
Sudah hampir dua belas menit ia mencari, tetapi belum juga ada tanda-tanda keberadaan Aris. Bel masuk berbunyi sekitar lima belas menit lagi.
Ia harus segera menemukan Aris secepatnya!
"ARIIIS!" panggil Zay agak memekik. Beberapa orang menoleh dan tentu saja tidak dipedulikan Zay.
Tatkala ia melintasi koridor luar, netranya menangkap seorang siswi berambut sebahu yang memakai bando pita warna putih tengah berdiri di depan ruang kepala sekolah. Dia tidak mengenakan seragam SMA Bhayangkara, melainkan dress putih selutut, pakaian khas konglomerat.
Atensi Zay teralih sejenak. Siapa dia? Rasanya, Zay tidak pernah melihatnya barang sekali di sekolah ini. Murid baru?
Yah, apa pun itu, Zay kembali teringat dengan tujuan awalnya dan-ia kembali kesal.
Sebelum Zay melanjutkan pencarian, tak sengaja ia menangkap siluet seseorang rooftop. Matanya memicing. Dari posturnya, sudah pasti itu laki-laki. Rambut berantakan berwarna merah, kemeja putih dikeluarkan dari celana, serta tidak memakai jas marun kebanggaan SMA Bhayangkara.
Mirip Aris!
Zay bergegas menaiki tangga, menuju rooftop. Ia hampir lupa tidak sembarang orang bisa ke rooftop. Kalau tidak salah, dari kalangan murid hanya anggota OSIS dan MPK saja yang diperbolehkan. Lalu, kenapa Aris ada di san-oh ....
Barulah Zay teringat, kalau Aris adalah wakil ketua MPK. Sesaat otaknya berpikir, bagaimana bisa si Biang Kerok itu terpilih menjadi wakil MPK?
"ARIS!" Zay mendobrak pintu rooftop, membuat sosok yang tadi dilihatnya di koridor tadi terperanjat.
Zay melangkah mendekat. Auranya menguar-yang tentu hanya bisa dilihat oleh Aris seorang. Raut gadis itu dapat membuat siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri.
"Zay-?!" Gadis nonelementer langsung melayangkan jeweran ke telinga kiri Aris kala sampai di hadapan lelaki itu. "-aduduh! Aw! Sakit, Zay!"
Zay memelintir telinga Aris, sementara lelaki itu meringis. Aris bisa saja melepas jeweran maut itu, andai Zay tidak melempar delikan ganas kepadanya.
Sang Biang Kerok memang tidak bisa berkutik jika dihadapkan dengan Zay yang merupakan nonelementer. Entah kenapa, kesangarannya raib ketika berhadapan dengan Zay.
"BAKAR-BAKARAN LAGI, HAH?" gertak Zay masih dengan delikan tajam. Nadanya benar-benar terlihat seperti emak yang memarahi anaknya.
"MAAF! ENGGAK SENGAJA KEBAKAR TAD-AW! IYA! IYA! AKU MINTA MAAF!" Aris semakin mengerang kala jewerannya bertambah kencang dan penuh tenaga.
"Sudah berbuat malah main kabur segala lagi! Jelaskan nanti di ruang BK!"
Zay menyeret Aris masih dengan tangan kanan yang menarik telinga si lelaki. Telinga kiri Aris memanas. Ia mencoba berontak. Namun, tenaga gadis nonelementer itu juga tak main-main. Telinganya dipelintir lebih kencang lagi. Akhirnya ia menurut.
Walaupun ia bisa berontak dan jelas lebih kuat dari Zay, sang gadis nonelementer selalu sukses membuatnya ciut. Lagi pula bukan kali ini saja ia berhadapan dengan Zay.
Yah, mungkin karena keganasan inilah yang membuat Zay cukup disegani dan tidak ada yang berani merundungnya, kendati gadis itu seorang tanpa elemen.
• • •
"Seperti yang kita tahu, sebagian besar manusia terlahir dengan elemen alam. Ada yang api, angin, air, juga tanah. Empat elemen ini adalah elemen dasar. Namun, tahukah kalian, ada orang yang bisa meningkatkan kemampuan elemennya? Bahasa gaulnya, bisa di-upgrade."
Jam pelajaran pertama sudah dimulai sejak dua puluh menit lalu. Setelah mengurus Aris si Biang Kerok dan membawanya ke ruang BK, Zay segera memasuki kelas bertepatan dengan bel masuk.
Kini ia sedang mendengarkan penjelasan Pak Uli, wali kelasnya yang kebetulan memang mengajar jam pertama di hari Senin.
Zay bertopang dagu sembari menyimak penjelasan sang guru. Walaupun ia seorang nonelementer, mata pelajaran yang dibawakan Pak Uli memang terbilang dasar dan penting. Mau tak mau, ia pun harus mengikuti mata pelajaran ini untuk mengisi nilai raportnya.
"Contohnya saja, teman kalian, Zesya. Siapa yang tidak tahu tentang elemen esnya? Mungkin banyak dari kita yang mengira elemen dasarnya memang es. Tapi, bukan! Elemen dasarnya tetap air! Hanya saja, dia berhasil meng-upgrade-nya sampai tingkat itu.
"Contoh lain misalnya, Ms. Liana Pram. Kalian tahu tidak, elemen dasarnya bukanlah lumpur, melainkan apa? Tanah! Iya, tanah! Sama halnya seperti Zesya, Ms. Liana pun begitu."
Zay yang semula hanya bertopang dagu sembari memainkan bolpoinnya segera membuka buku tulis.
Pengetahuan baru. Catat.
Cukup mengejutkan baginya. Namun, mungkin tidak bagi yang lain. Beberapa murid ada yang biasa saja, tetapi tidak sedikit pula yang memasang raut terkejut. Sepertinya mereka juga baru tahu.
Pak Uli melanjutkan penjelasan, "Akan tetapi ... tidak semua elementer bisa meng-upgrade elemennya sampai tingkat itu. Faktor utama peng-upgrade-an elemen adalah karena gen keluarga.
"Tetapi, elementer yang terlahir di keluarga yang terkenal dengan elemen tertentu, seperti keluarga Handayani, belum tentu juga bisa meng-upgrade kekuatannya. Dengan kata lain, hanya orang yang memiliki gen dan berbakat sajalah yang dapat melakukannya."
Desahan kecewa dari murid-murid terdengar. Barang kali mereka sudah berharap bisa meng-upgrade elemen. Namun, penjelasan terakhir Pak Uli sukses mematahkan semangat mereka.
"Psst! Pak Uli!"
Kericuhan di kelas terhenti seketika tatkala bisikan yang berasal dari luar kelas terdengar.
Pak Uli menoleh ke pintu. "Oh, sudah waktunya, ya?"
Suara itu tidak menjawab lagi, tetapi Pak Uli hanya mengangguk.
"Nah, tidak hanya keempat elemen itu yang akan kita bahas, tetapi juga dua elemen lain yang langka."
Zay meneguk saliva, sementara Pak Uli menyuguhkan senyum. "Sudah menduganya, Anak-anak?"
Tidak ada yang menjawab, hanya anggukan kepala dari beberapa murid.
Pak Uli melanjutkan, "Elemen cahaya dan kegelapan."
Deg!
Mendengar dua elemen itu membuat jantung Zay benar-benar nyaris melompat dari tempatnya. Zay mencoba menormalkan jantungnya yang berdetak amat cepat.
"Seperti yang kita tahu, kedua elemen ini terbilang langka-ah, bukan, tapi sangat langka." Pak Uli mengambil napas dalam, lantas mengembuskannya lagi. "Elemen cahaya identik dengan kebaikan, kesucian, dan berkah Tuhan, sementara elemen kegelapan sebaliknya. Jahat, iblis, setan, pesugihan, sampai kutukan Tuhan. Padahal nyatanya tidak begitu.
"Mereka-elementer cahaya dan kegelapan-sama seperti kita. Oke, mungkin memang benar pemilik elemen cahaya adalah orang yang diberkati. Namun, bukan berarti elemen kegelapan itu kutukan Tuhan atau melakukan pesugihan. Mereka sudah mendapatkan elemen itu sejak lahir. Sama seperti kita, pemberian dari Tuhan. Jadi, tidak ada yang namanya anak iblislah, anak setanlah, atau anak terkutuklah. Tidak, mereka sama seperti kita."
Keheningan menerpa. Tiada yang berani berkomentar. Murid-murid tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Mungkin mereka memikirkan penjelasan terakhir Pak Uli perihal elemen kegelapan yang eksistensinya sudah dianggap buruk di masyarakat. Stigma itu memang sudah menempel pada elementer kegelapan sejak dahulu. Mereka ragu. Mereka ragu apakah kenyataannya benar seperti yang dibilang Pak Uli.
"Oh, ya, mungkin sebagian besar dari kita sudah tahu, kalau SMA Bhayangkara memiliki alumni elementer cahaya yang bersekolah di sini dua tahun lalu. Atau juga mantan guru elementer kegelapan yang pernah mengajar Fisika lima tahun lalu." Entah apa yang akan dibicarakan oleh Pak Uli, pria paruh baya tersebut tersenyum lebar. "Sepertinya tahun ini akan ada banyak hal yang terjadi, haha!"
Kening murid-murid berkerut bingung. Zay bahkan menaruh bolpoinnya di atas meja seraya mengerjap. Tak paham akan maksud perkataan Pak Uli.
"Kita-sekolah ini, khususnya kelas ini-kedatangan seorang murid baru!" Pak Uli berseru sambil bertepuk tangan meriah.
Kelas yang tadinya hening kini ricuh, kebanyakan memperbincangkan kenapa murid baru itu baru masuk dua bulan setelah semester genap dimulai.
"Wow! Wow! Sabar dulu, Anak-anak! Kalian pasti akan lebih terkejut lagi setelah perkenalan dari teman baru kita." Tawa khas Pak Uli terdengar. Pria baruh baya itu menoleh ke pintu. "Sudah waktunya. Silakan masuk, Cahya."
"Oke, Pak!" sahut sebuah suara riang dari luar kelas.
Lalu, seorang siswi memasuki kelas dengan langkah lebar. Dihiasi senyuman di wajah manisnya yang langsung membuat hampir seluruh laki-laki di kelas klepek-klepek.
Siswi itu berdiri di depan kelas, membelakangi whiteboard. Senyum ramah tak luput dari wajahnya. Jika dilihat lebih teliti, siswi itu sangatlah manis dengan rambut pirang sebahu dan bando pita berwarna putih. Wajahnya agak kebarat-baratan, sepertinya blasteran. Matanya bulat seperti boneka. Hidungnya mancung. Pipinya tirus dengan lesung pipit menawan. Dan bibir mungilnya berwarna merah muda. Ditambah lagi, tubuh gadis itu tidak terlalu tinggi, menambah kesan manis dan imut pada dirinya
Lain halnya dengan kelas yang ricuh, Zay justru tenggelam dalam pikirannya. Siswi itu adalah gadis yang dilihatnya tadi di ruang kepala sekolah. Ternyata benar dia murid baru.
"Halo, Teman-teman! Namaku Cahya Nilamdini. Teman-teman bisa panggil aku Cahya. Seperti namaku, aku adalah seorang elementer cahaya. Salam kenal, Teman-teman! Mohon bantuannya, ya!" ujar siswi yang ternyata bernama Cahya itu diiringi senyum lebar.
Seketika kelas bertambah ricuh seperti pasar tradisional. Benar saja kata Pak Uli. Kelas bertambah ribut setelah perkenalan siswi itu.
Bagaimana tidak? Seorang elementer cahaya yang amat langka memasuki SMA Bhayangkara! Beruntungnya lagi di kelas XI-2!
Zay mendongak untuk melihat orang itu lebih lanjut. Namun, netra kelamnya malah bersirobok dengan mata cerah penuh binar milik Cahya.
• • •
Revisi: 5 Juni 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro