Bab 02
BAIKLAH, INGATKAN Zay jika lelaki di hadapannya adalah Azka, si happy virus yang disenangi banyak orang. Namun, bukan itu masalahnya, melainkan: bagaimana lelaki ini bisa tahu?
Zay yakin sekali jika mereka belum saling mengenal, selain sekadar tahu nama-atau yah, sekali dua kali berbincang formal. Lagi pula, mereka juga jarang bertemu, bahkan berpapasan.
Masih dengan delikan sinis, Zay berusaha menormalkan degup jantungnya yang mendadak berpacu cepat dan seakan ingin lompat dari tempatnya tatkala mendengar pertanyaan terakhir Azka.
Pandangan rekan OSIS-nya itu masih terpaku pada lengan bagian bawah Zay yang berbalut sarung tangan hitam, sementara tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan Zay erat.
"Kenapa?" Dia bertanya lagi. Intonasinya cukup rendah dibanding tadi, nyaris berbisik.
Zay tak menjawab dan malah menepis genggaman Azka dengan agak kasar. Sorot matanya berkilat marah. Andai Azka melihatnya, mungkin lelaki itu bisa bergidik ngeri. Namun, Azka hanya tersentak dan melangkah mundur.
"Maksudmu?" Zay mencoba bersikap tenang, walau sesungguhnya ia sedang panik setengah mati sekarang.
Zay kalut. Perasaannya bercampur aduk bagai bubur yang biasa ia beli di Mang Rizal. Marah, kaget, panik, sedih, dan emosi lainnya menyatu dalam satu emosi negatif.
"Tanganmu ... kenapa kamu melukai tanganmu? Lalu, bekas sayatannya juga lumayan banyak. Apa karena itu kamu selalu memakai sarung tangan supaya bisa menyembunyikan bekas lukanya?" Iris Azka yang sekilas berwarna kebiruan terang bagai langit cerah menatap Zay teduh. Biar begitu, sang gadis nonelementer tahu kalau Azka sedang mencemaskannya lewat ekspresi yang ditunjukkan.
Zay sudah cukup sering dikasihani oleh banyak orang. Jadi, wajar saja bila ia bisa mengenal berbagai macam ekspresi yang disuguhkan padanya-biar itu topeng sekalipun.
Zay hendak menyanggah, sebelum Azka kembali bersuara.
"Kamu diam, berarti aku benar, ya?"
"ENGGAK!" bantah Zay dengan intonasi tinggi-sukses membuat Azka terperangah dan wajahnya seakan merasa bersalah.
"Ma-maaf, aku nggak bermak-"
"BERISIK! TAHU APA KAMU TENTANGKU?" teriak Zay dengan embusan napas kasar, masih dengan sorot mata berkilat tajam.
Perlahan tangannya memegang kepala bagian kiri yang terasa berdenyut tak keruan
"Di mana?" tanya Zay tanpa memandang Azka. Kelopak matanya terpejam, sementara dua jari telunjuknya memijit pelipis pelan.
"A-apanya?"
"Proposal turnamen. Firlo bilang ada padamu."
"Lho? Barusan kukasih ke ketua OSIS."
Zay mendongak cepat. Bibirnya bergerak pelan, mengucapkan sumpah serapah yang hanya bisa didengar olehnya dan Tuhan.
Zesya? Oh, astaga! Kenapa harus orang itu?
Akan tetapi, bagaimanapun juga, proposal itu sangat penting untuknya.
"Makasih," ucap Zay pelan, kemudian bergegas pergi menuju ruang OSIS, meninggalkan Azka yang mulutnya terbuka cukup lebar dan mengerjap kebingungan.
***
Derap langkah Zay menggema di sepanjang koridor gedung dalam. Jam digital berbentuk persegi yang terpajang di dinding dekat rak biru yang berjejer sudah menunjukkan pukul 17.45.
Tiada orang lain selain Zay yang berlalu lalang di lorong tersebut. Kegiatan belajar mengajar telah usai sekitar dua jam lalu. Sebagian besar siswa sudah kembali ke asrama masing-masing. Sementara kegiatan klub juga serentak dibubarkan pukul 17.30. Hanya ada beberapa orang yang masih berada di sekolah hingga pukul segini. Salah satunya adalah OSIS, staf guru dan tata usaha, pengurus sekolah, serta beberapa murid yang masih asyik nongkrong.
Dari koridor gedung dalam, Zay mendorong pintu kaca yang menjadi sekat antara gedung dalam dengan lapangan, kemudian berbelok ke kiri, menuju ruang OSIS SMA Bhayangkara.
Sama halnya seperti di gedung dalam, koridor luar yang berhadapan dengan lapangan juga sepi. Hanya dua-tiga orang siswa yang masih berada di lapangan sembari menenteng ransel mereka, bersiap untuk pulang.
Zay mengalihkan pandangan ke depan begitu siswa yang tadi dilihatnya beranjak meninggalkan lapangan.
Sekarang, tinggal ia dan anak pikirannya.
Sang gadis nonelementer tidak bisa tenang. Pertemuannya dengan Azka beberapa menit lalu masih terbayang dengan jelas. Tentang bagaimana lelaki itu menangkat tangannya tiba-tiba dan ... mengetahui rahasianya. Padahal, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya selain dirinya sendiri dan Firlo.
Akan tetapi tadi ... Azka tiba-tiba menggenggam tangannya karena sarung tangan. Apa karena itu?
Namun bagi Zay, rasanya tetap tidak mungkin jika hanya dengan melihat sarung tangan hitam yang dikenakannya, Azka bisa berasumsi begitu. Lagi pula, ia sudah menutupinya sebaik mungkin. Bahkan, belum ada seorang pun yang menyadarinya-sebelum tadi.
Zay mengulum bibir bagian bawah dan menggigitnya agak dalam, sementara jemari kanannya meremas kain hitam agak tebal yang membalut pergelangan tangan kiri. Langkah gadis nonelementer itu terhenti kala merasakan cairan aneh yang masuk ke mulutnya. Sontak ia menyentuh bibir bergincu merah muda miliknya dengan ibu jari.
Wajah Zah kembali mendatar saat melihat jari telunjuknya bernoda merah.
Hah, kebiasaan buruknya yang suka menggigit bibir kembali. Kalau Firlo tahu akan hal ini, sudah dipastikan rekannya itu akan memarahi atau menceramahi dirinya habis-habisan. Yah, semoga saja lelaki itu sudah kembali ke asrama atau setidaknya meninggalkan ruang OSIS.
Sebelum masuk ke ruang OSIS, Zay berbelok sebentar ke wastafel yang disediakan di depan setiap ruangan, kemudian membersihkan luka di bibirnya. Sembari memperbaiki sarung tangan yang agak tertarik ke atas karena ulah Azka tadi.
"Zayra?"
Rasanya seluruh tubuh Zay bisa membeku sekarang juga kala mendengar suara dingin nan menusuk yang memanggil namanya dari belakang.
Astaga! Jantungnya benar-benar seakan ingin copot. Dengan segenap keberanian, Zay membalikkan badan dan menyahut disertai senyum tipis, "Ya?"
Netra putih kebiruan sedingin es-lah yang pertama kali mengapa Zay saat berbalik. Satu alis tebalnya terangkat sedikit, sementara kedua tangan terlipat di depan dada.
Zay mengumpat dalam hati saat melihat kehadiran seseorang yang mengagetkannya. Masalahnya, ia belum mempersiapkan apa pun untuk bertemu dengan orang ini-orang yang paling dihindari dan dicarinya sekarang-si ketua OSIS SMA Bhayangkara, Zesya Maulida Handayani.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Zesya, dagunya terangkat. "Aku pikir kamu sudah enggak berani menunjukkan wajah lagi di ruang OSIS."
Lagi, Zay mengeluarkan sumpah serapahnya-yang tentu hanya bisa ia lampiaskan di dalam hati. Salah satu yang tidak ia sukai dari seorang Zesya: gadis ini begitu jutek dan menyebalkan!
Sifat dinginnya--entah kenapa-selalu dua kali lebih parah jika dengan Zay.
Baiklah, memang tidak heran mengingat julukan 'Ratu Es'-nya SMA Bhayangkara yang sudah melekat dalam diri gadis itu. Selain sifat dinginnya, salah satu alasan kenapa banyak yang memanggil Zesya begitu adalah karena elemen es yang dimiliki sang ketua OSIS.
Dan Zay belum mau mati dibekukan olehnya.
Pada akhirnya, senyum adalah satu-satunya cara terbaik untuk menanggapi perkataan menusuk sang ketua OSIS. "Berkas proposal turnamen. Kata Azka ada padamu."
Zesya diam sejenak, kemudian melempar pandangan ke ruang OSIS yang pintunya setengah terbuka, memperlihatkan meja dan kursi yang berjejer rapi.
"Ada di dalam. Masuk saja." Tanpa mengucapkan apa pun, Zesya segera masuk ke dalam.
Zay mendengkus pelan, kemudian memasuki ruang OSIS dan menutup pintu. Manik matanya menerawang pada ruangan berukuran 6 x 10 meter. Sudah sepi. Hanya ada Zay, Zesya yang kini tengah duduk di bangkunya, beserta satu orang lain yang-kalau Zay tidak salah ingat-adalah bendahara utama.
Sang ketua OSIS menyodorkan sebuah folder map berwarna kuning yang tergeletak di mejanya. "Ini."
Zay mengambil map itu, lalu mendekapnya dengan tangan kanan. Netra kelamnya bersirobok dengan sorot tajam Zesya. Cepat-cepat ia menundukkan kepala sedikit.
"Ehm, Ratu, aku pulang dulu, ya?"
Zesya dan Zay menoleh bersamaan ke asal suara. Sang bendahara utama mengangkat tangan kanan sembari melirik Zay.
"Iya, Arin. Silakan."
"Kalau begitu, aku duluan, ya, Ratu! Zay!"
Setelah mendapatkan permisi, sang bendahara yang ternyata bernama Arin itu mengambil ransel berwarna ungu di mejanya, kemudian berlalu dari ruang OSIS seraya melambaikan tangan. Menyisakan kedua gadis berinisial Z yang masih berada di dalam ruangan.
"Firlo mana?" Mengabaikan Zesya yang menatapnya bak pedang yang siap menikam, Zay mengalihkan topik sementara.
"Sudah pulang ke asrama sepuluh menit lalu."
"Oh."
Keheningan menyelimuti. Kedua insan yang tersisa saling bersitatap sebelum akhirnya sang ketua OSIS mengembuskan napas panjang.
"Ke mana kamu saat rapat penting yang melibatkan wali kota dua hari lalu?"
Zay menjawab dengan ogah-ogahan, "Memangnya Firlo atau Iru enggak memberi tahu kamu?"
"Oh, mereka mengabari kok," Zesya menunduk sedikit sembari merapikan kertas-kertas di meja, "tapi, aku cuma mau dengar alasannya langsung dari kamu."
Zay berdecak sangat pelan.
"Aku sakit, enggak enak badan waktu itu. Memangnya kamu mau aku pingsan dan mengganggu rapat?" Zay menyindir. Ia nersedekap dengan ekor mata melirik pintu ruangan berwarna putih.
Tidak ada balasan dari Zesya. Hanya lirikan sinis yang seolah mengatakan, Kenapa enggak langsung bilang padaku?
"Buru-buru. Cuma ketemu Iru pas mau balik ke asrama. Baru memberi tahu Firlo tadi."
Embusan napas berat terdengar. Zay kembali mengalihkan atensinya pada Zesya.
"Kamu tahu, yang kemarin itu rapat penting. Bagaimana bisa orang yang punya tanggung jawab besar seperti kamu nggak hadir?"
Zay meringis. Ia tahu itu tanggung jawabnya. "Zesya, aku-"
"Sudahlah. Lebih baik kamu baca proposal dan berkas itu baik-baik. Kalau ada yang enggak paham tanya Firlo saja."
Zesya menumpuk kertas-kertas tersebut, kemudian menaruhnya dalam sebuah fail. Arah pandangnya masih tertuju pada Zay.
"Paham?"
Zay mengangguk cepat. Nada penuh penekanan Zesya memang luar biasa mengintimidasi.
"Kalau enggak ada lagi, aku mau kembali ke asrama."
Zay ingin cepat-cepat keluar dari sini. Tak nyaman terus bersitatap dengan Zesya. Beruntung ia tidak dibekukan oleh sang ketua OSIS yang terkenal dapat memiliki kemampuan membekukan sesuatu lewat matanya-entah itu benar atau tidak.
"Silakan. Dan aku harap kamu enggak melakukan kesalahan itu lagi," ujar Zesya, lalu beranjak dari duduk.
"Ya." Zay merespons singkat. Kakinya melangkah menuju pintu dan memegang kenop. Baru hendak mendorongnya, Zesya menginterupsi.
"Apa kamu tertarik ikut turnamen itu, Zay?"
Zay berdecak. Pertanyaan itu lagi.
Tanpa menoleh, Zay menggeleng tegas. "Sayangnya, enggak."
"Wah, sayang sekali, ya. Padahal aku berharap bisa bertemu denganmu di turnamen nanti," ucap Zesya bernada dingin dan menyayangkan.
Zay sedikit memutar otak, memikirkan kata-kata yang barusan terlontar dari bibir sang ketua OSIS.
Apa orang itu bilang, 'ingin bertemu denganmu di turnamen'?
Oke, apa maksudnya itu? Sebagai kawan atau lawan? Tetapi, apa pun yang dimaksud Zesya, Zay asumsikan adalah lawan. Dengan kata lain, Zesya ingin menghajarnya secara adil lewat turnamen.
"Iya, sayang sekali, ya." Setelah berkata demikian, Zay bergegas kembali ke asramanya dengan langkah terburu.
***
Brak!
Pintu asrama ditutup dengan keras. Zay melepas sepatu lantas menaruhnya di rak dekat pintu, kemudian melangkah memasuki ruangan yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama kurang lebih dua puluh bulan semenjak ia bersekolah di sini.
Zay menaruh folder map yang semula didekapnya di atas nakas. Lalu tanpa aba-aba, ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang king size yang diletakkan di tengah-tengah ruangan bercat krem. Seprai hijau bermotif daun tidak tertata rapi dan lecek sana-sini. Zay tidak sempat merapikannya tadi pagi. Lagi pula, kamarnya memang selalu berantakan.
Iris sekelam langit malam menatap langit-langit kamar yang dicat putih. Memorinya mereka ulang kejadian yang terjadi seharian ini. Mulai dari kehidupan sekolahnya, sampai pertemuannya dengan Firlo, Azka, dan Zesya. Yah, hari ini rasanya memang melelahkan sekali.
Perihal proposal turnamen, Zay sudah membacanya. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil sesekali mengumpat saat membaca peraturan baru turnamen tahun ini.
Satu kata yang berkali-kali ia lontarkan: gila!
Walaupun ada jaminan nonelementer yang mengikuti turnamen tidak akan mengalami cedera parah dan mendapat penanganan medis, tetapi tetap saja ... itu, kan, berbahaya.
Zay mengembuskan napas berat, lalu bangkit dari ranjang dan berjalan menuju lemari pakaian. Ia melepas sarung tangan serta seragam yang membalut tubuhnya. Sepasang netra kelamnya menatap lamat-lamat tubuh elok yang berbalut tanktop hitam dan celana pendek seatas lutut lewat cermin yang menempel di pintu lemari pakaian.
Lantas ia membuka laci lemari. Tampaklah beberapa benda tajam: silet, cutter, kepingan kaca, bahkan pisau buah; botol obat berukuran kecil; dan beberapa plastik obat berisi pil.
Sang gadis nonelementer mengambil silet berukuran enam senti. Kemudian, jemarinya menari-nari, menggoreskan ujung silet ke beberapa bagian tubuh indah miliknya—yang memang sudah penuh goresan—hingga meneteskan cairan kental berwarna merah.
Untuk hari ini, Zay mohon, biarkan ia melampiaskan semuanya lewat goresan merah.
• • •
Revisi: 23 Mei 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro