Chapter 5
Mereka tidak menyangka biji dalam kantong kumal pemberian Mak Savius bisa sangat berguna. Cass jadi bertanya-tanya, kira-kira apa keampuhan biji-biji yang lain, tetapi tingkah Alyamen Des segera menyita pikirannya. Sungguh! Bila Cass meleng sedikit, gadis berambut perak itu bisa tiba-tiba menghilang dari pandangan.
Lyam bisa tiba-tiba berhenti, atau malah berlari menjauh, sekadar untuk melihat tanaman atau hewan yang sedikit menarik. Bahkan hampir saja gadis itu memakan buah liar yang bisa membuat sakit perut bila dikonsumsi saat belum ranum. Pantas saja Mak Savius begitu mengkhawatirkan keselamatannya.
Namun, tidak bisa tidak, Cass jadi berpikir bahwa kepolosan Alyamen Des juga disebabkan oleh sikap Mak Savius yang terlalu melindunginya. Casstor masih belum memahami logika manusia yang seperti itu. Di kalangan hewan manapun, survival for the fittest, adalah hukum alam yang berlaku. Bahkan induk yang paling baik hati sekalipun akan tega meninggalkan anaknya yang terlemah bila membahayakan nyawa anaknya yang lain.
Sembari berpikir dan sibuk mencegah Lyam melakukan hal yang membahayakan mereka berdua, tanpa sadar mereka sudah tiba di tempat yang mengharuskan mereka untuk saling berteriak agar bisa mendengar ucapan satu sama lain. Mungkin disebabkan oleh deru suara air terjun yang sudah terdengar sangat dekat.
"Oh ... aku tahu tempat ini," gumam Lyam, riang.
"Apa, kau bilang tadi?" ulang Cass seraya menegakkan daun telinganya ke arah gadis itu. "Nggak kedengaraaan ... ngomong yang keraaas!"
"AKU ... BILANG … AKU ... TA-"
"BZZZZ!!!" Suara dengung kencang yang bisa mengalahkan deru air terjun mendadak terdengar mendekat.
"BUMMM!!!" Dentuman dan getaran akibat sebuah benda besar mendarat di hadapan mereka membuat Cass dan Lyam terdiam.
Seekor lebah muncul di hadapan mereka. Bukan sekedar lebah biasa yang mungil seukuran kuku jemari Lyam itu, melainkan lebah raksasa yang lebih besar daripada kerbau. Sayap-sayap lebarnya sudah berhenti bergetar, tetapi sisa debu tanah akibat kemunculannya masih terlihat mengepul di sekeliling mereka. Membuat sosok raksasanya makin terlihat seram.
"Ini sekarang ... tanah Cooky!" gelegar sebuah suara berat dan dalam. "Kalian ... pergi, atau Cooky ... makan!"
Cass berasumsi, Cooky adalah nama lebah raksasa itu. Otaknya berputar keras, memikirkan bagaimana cara mengakali makhluk yang sudah mulai meneteskan air liur saat kedua mata serangganya menatap pada dirinya dan Lyam. Seandainya saja mereka melihat wujud Cooky sebelum berhadapan langsung seperti sekarang, Cass bisa memikirkan cara licik untuk menghindarinya.
Pilihan mereka sekarang hanya, lari mundur atau ... Cass melirik pada kantong kumal yang dibawa Lyam. Bergantung pada biji-biji ajaib yang entah apa efeknya. Sebelumnya mereka cukup beruntung, tetapi bagaimana kalau kali ini mereka mendapat biji yang khasiatnya tidak bisa membantu kondisi mereka?
"Hei, Lyam ... apa kau tahu fungsi biji-biji yang ada dalam kantong itu apa saja?" Cass mencoba bertanya.
Namun kancil satu itu lupa bahwa, biarpun sudah tidak ada dengungan sayap dan gemuruh suara Cooky, suaranya sulit terdengar. Lyam yang sedari tadi hanya terdiam ketakutan menatap lebah raksasa di hadapan mereka, perlahan mulai meraih kantong kumalnya.
Sebelum Cass sempat mencegah, Lyam sudah melemparkan dengan segenap tenaga, sebutir biji ke arah Cooky.
Segalanya terjadi begitu cepat. Dari sebutir biji yang memantul ketika membentur kening besar Cooky, begitu menyentuh tanah langsung menimbulkan lusinan sulur-sulur seukuran lengan orang dewasa yang tumbuh dengan cepat. Sulur-sulur itu terus tumbuh menjulang hingga kemudian bersatu menjadi sebuah tanaman perangkap venus yang menyaingi ukuran Cooky.
Cooky menyadari bahaya. Dia bergegas menggetarkan sayap lebarnya untuk melarikan diri. Namun terlambat, sepasang daun bergerigi keburu menjepit tubuh raksasanya.
Cass dan Lyam bisa melihat bahwa dalam daun tebal dan kokoh itu ada yang bergerak-gerak sengit, mencoba melepaskan diri. Tak seberapa lama kemudian, gerakannya terhenti lalu sepi. Cass menelan ludah, sementara Lyam terduduk di tanah. Mereka paham, Cooky si Lebah Raksasa, kini telah mati.
Keheningan yang membuat bulu kuduk meremang itu membuat Cass menyadari satu hal lagi. Deru air terjun yang sebelumnya terdengar deras memekakkan telinga sudah tidak ada lagi.
(Bagian cerita di atas ditulis oleh Catsummoner )
°°°
Air terjun itu secara perlahan telah surut. Akibat kematian lebah raksasa Cooky. Yang menjadi penguasa tanah sekitar air terjun. Pantas saja air itu dapat surut, Cooky kan penguasa sekaligus penyeimbang aliran air itu. Jika dia tidak ada maka air terjunnya bisa menghilang. Tapi jika tidak memusnahkan Cooky, Lyam dan Casstor tidak bisa melewati tempat tersebut. Cass yang sedari tadi hanya menelan ludah menatap kematian lebah Cooky, kini membelalakkan matanya. Karena melihat peristiwa yang bisa dibilang ngeri. Bagaimana tidak? Tumbuhan berdaun gerigi itu mengunyah si lebah raksasa tanpa belas kasihan.
Kretek ... kretek.
Suara renyahnya tulang milik Cooky terngiang di telinga Casstor. Gerigi daunnya begitu tajam bahkan lebih tajam dari sebuah pisau landep.
Kretek … kretek.
Masih terdengar lagi. Suara itu membuat Cass si kancil menjadi merinding bukan kepalang. Matanya ingin berpindah objek tapi tidak bisa. Sungguh tidak bisa. Dia bergemetar, bulu rambut coklat halusnya berdiri seperti duri landak yang siap menyerang musuhnya.
'Aduhhh gimana ini? aku seketika tidak bisa bergerak' ucap Cass yang gelisah di dalam hati
Apa daya Cass, entah mengapa dia bisa membisu dan mematung. Biasanya tidak pernah Cass bisa setegang itu. Sorotan mata Cass memancarkan ketakutan. Takut tanpa alasan yang jelas.
Tumbuhan bergerigi itu masih asyik dengan kegiatan nya. Serangga lebah Cooky telah membuatnya senang. Terus mengunyah terus mengunyah. Seperti itulah yang dipikirkan tumbuhan itu.
Desiran udara hutan disertai suara kepakan sayap burung yang lewat tidak dapat mempengaruhi Cass. Dia masih menyaksikan peristiwa kunyah mengunyah. Dia pun seperti larut dalam imajinasinya. Cass bahkan tidak mengindahkan keberadaan Lyam. Pikirannya teralihkan dengan ketakutan yang dirasakannya.
Saat Cass menelan ludah karena menyaksikan usaha Lebah raksasa Cooky yang tadinya meronta dan bergerak sengit guna keluar dari jebakan maut, berupa tanaman itu. Lyam yang duduk di tanah juga merasakan hal yang dialami Cass. Lyam menyembunyikan penglihatannya di balik sepasang tangan, bukti bahwa dia tidak sanggup menyaksikan hal yang mengenaskan tersebut. Alhasil Lyam hanya duduk diam di samping Cass
Kemudian sepenggal kalimat menyeru di bawah alam sadar Lyam
"Lyam, jika kau melewati air terjun biru yang airnya sangat biru, tolong kau ambil secawan airnya." Sebuah kata yang terucap dari seseorang.
Kemudian Lyam menjadi teringat akan pesan Mak Savius. Beliau meminta Lyam untuk mengambil air dari air terjun biru. Saat sebelum keberangkatan Lyam dan Casstor, Mak Savius telah mengamanatkan nya pada Lyam. Tapi Mak Savius tidak menyebutkan bagaimana detailnya air terjun biru itu.
"Apakah air terjun ini yang dimaksud oleh emak ya?“ tanya Lyam dalam hati .
Lyam yang sebenarnya takut dengan peristiwa di depannya, kini mulai berangsur angsur tidak merasakan nya. Dia bergelut dengan pikirannya yang memikirkan perihal air amanat Mak Savius.
“Air terjun biru yang airnya sangat biru.”
Lyam berpikir dan akhir nya dia yakin bahwa air terjun itu merupakan tempat yang dimaksud Mak Savius.
Lyam pun berdiri dari tempatnya berada. Dia mulai menurunkan sepasang tangannya. Lyam nekad, sehingga keberanian dapat timbul dalam dirinya. Kemudian Lyam menengok air terjun. Airnya memang sangat biru. Tapi debit airnya mulai berkurang drastis. Lyam tercengang kemudian dengan langkah cepat dan gesit, dia menuju tepi air terjun untuk mengambil secawan airnya.
(Bagian cerita di atas ditulis oleh Nafisa_2103 )
°°°
Cepat. Hanya satu kata itulah yang tengah berputar dalam kepala Lyam sekarang. Apapun yang terjadi, Lyam harus mendapatkan tetesan air terjun itu, walau hanya secawan seperti amanat dari Mak Savius sebagai salah satu syarat sebelum Lyam memustuskan pergi menemani Casstor dan memulai petualangan mereka. Iris biru lautnya melirik Casstor yang menekuk keempat kakinya, terduduk tak jauh dari tumbuhan yang masih saja terus mengunyah lebah Cooky yang beberapa menit lalu merupakan seekor lebah gagah penguasa daerah ini.
Kedua kaki jenjangnya terus diseret cepat, tapi penuh kehati-hatian menuju tepi air terjun yang kancap bebatuan. Indah. Jika saja saat ini dirinya tengah berlibur atau pun tengah dalam keadaan menikmati alam dan bersantai, tentu Lyam akan merasa sangat takjub dengan pemandangan di depan matanya sekarang. Suara gemericik air yang jatuh terhempas dari atas tepi jurang menuju kolam air yang luas, debitnya sangat deras hingga mampu terdengar sampai puluhan meter dari lokasinya. Ya, sebelum lepasnya roh lebah Cooky, telinga Lyam sangat fasih mendengar hempasan air yang terjatuh mengalir dari tebing setinggi dua ribu kaki tersebut. Namun, begitu roh lebah Cooky, plup, terbang berpisah dari sang raga, suara itu mendadak hilang seketika. Hening. Guyuran air terjun lenyap bersamaan dengan berhentinya pergerakan makhluk besar yang berjerih melepaskan diri.
Kedua ujung sepatu coklat Lyam bergesakan dengan akar-akar tumbuhan yang menjalar di tepi kolam. "Aku harus bagaimana?" Lyam memandang genangan air di depannya yang semakin menyurut.
Lyam menelan kasar salivanya, sebelum memantapkan hati untuk meloncati batu setinggi tiga meter agar bisa menjangkau air biru yang sebentar lagi akan habis tak bersisa tersedot bebatuan dan pasir yang kini mulai meraja.
Ditariknya napas dalam sebelum kedua kaki itu kokoh meloncat dan berakhir dengan pendaratan kasar.
"Aduh!" Lyam meringis memegangi bokongnya yang terasa ngilu. Tidak parah, setidaknya ini bukan kali pertama Lyam meloncat tinggi. Sebelumnya Lyam pernah meloncat dari atas pohon setinggi lima meter, bahkan lebih, tanpa sepengatahuan Mak Savius.
Sambil terus meringis, Lyam berlari tergopoh-gopoh mengambil sisa air terakhir. Satu cedokan cawan berhasil ia dapatkan sebelum air biru yang berkuasa hilang tak berjejak. Menyisakan gersang bebatuan dan pasir berkilau.
Lyam memuput napas lega, ia berhasil mengambil tetes terakhir dari air biru. Segera Lyam menuangkannya ke dalam tukil yang disumpal dengan potongan kayu dan daun agar tidak tumpah, dan memasukkannya kembali dalam buntalan kain besar setelah memastikan airnya aman, tidak akan tumpah atau bocor sekalipun.
Lyam buru-buru kembali ke atas, ia harus memanjat untuk menemui Cass. Mungkin, Cass tengah mencarinya di atas sana. Sebuah die gila terlintas di benak Lyam.
"Bagaimana jika aku berteriak minta tolong kepada Cass? Dia pasti akan membatuku dengan akar-akar rambat itu dan menarikku ke atas!" Belum lima detik sejak ide itu ia cetuskan, Lyam menepuk kening pelan.
"Casstor mana mungkin bisa menarikku." Lyam menghela napas. Ia baru ingat jika Casstor hanyalah hewan kecil berkaki empat. Bagaimana Casstor bisa menarik seseorang yang memiliki berat sekitar empat puluh kilogram dengan hanya menggunakan mulut, tidak, lebih tepatnya gigi. Cass tidak punyak tangan ataupun jari, ia pasti hanya akan menggunakan giginya untuk menjepit akar rambat itu dan menarik Lyam. Itu sangat tidak mungkin.
Lyam hendak naik melewati jalannya turun tadi, sebelum alas sepatunya menginjak sesuatu yang berteriak.
"Hey! Sepatu kumalmu menginjak kelopakku yang berharga!"
Lyam tersentak kaget, dibungkukkannya tubuh dan melihat sesuatu apa di balik pijakkannya. Bunga berwarna biru yang indah, seperti tumbuhan rambat di tanah, tapi ini bunga.
"Latibuliea!" Lyam bersorak girang, ternyata dongeng yang diceritakan emak selama ini benar adanya. Bunga cantik itu ada di depan mata.
"Cepat benarkan kelopakku yang hampir lepas itu!" gertaknya geram kepada gadis aneh yang kini berjingkrak riang.
Dengan sigap, Lyam membenarkan tumbuhan itu. Latibuliea, tumbuhan elastis yang indah nan mempesona.
"Huh, aku benci mengatakan ini. Namun sebagai bunga suci dari jiwa bersih, aku telah bersumpah untuk membantu siapa pun yang menolongku. Aku, tidak mudah ditemui. Dan jikapun aku berhasil ditemukan, semuanya berakhir nahas seperti dirimu yang menginjakku."
Lyam menyengir kikuk.
"Baiklah, sebutkan keinginanmu? Apa yang bisa kubantu?"
"Aku mau naik ke atas, aku harus menemui temanku dan membantunya untuk mewudkan mimpinya."
Latibuliea menggerakkan kelopak-kelopak dan daun cerahnya, diikuti batang yang menari indah. "Permintaan yang sederhana, Lyam."
"Dia tahu namaku!" pekik Lyam dalam hati.
"Namun, sesuatu yang sederhana seperti itu seharusnya kamu bisa melakukannya sendiri. Aku akan memberimu kata kunci, 'ingatan ... dan hatimu'."
Plup!
Latibuliea lenyap begitu saja. Lyam tertegun, apa maksdunya?
"Ingatan dan hatimu."
"Ingatan dan hatimu."
"Ingatan dan hatimu."
Suara-suara itu, menghadirkan sekelebat bayangan dari ingatan Lyam waktu kecil.
"Emak, Bapak di mana?"
"Emak, kenapa rambut Lyam tidak seperti teman-teman lainnya?"
"Emak, boleh tidak Lyam makan timun? Boleh ya, boleh ya?"
"Emak, Lyam dengar timun-timun itu bicara dan mengajak Lyam untuk main sama mereka."
"Emak! Lyam mimpi aneh itu lagi, sesuatu yang sangat besar dan gelap itu mengejar Lyam! Dia bengis ... dia ... Lyam takut mak ...."
"Lyam anak emak yang paling cantik."
"Lyam, dunia ini sebenarnya tidak terlihat seperti apa yang kita lihat."
"Nanti, Lyam pasti tahu. Bahwa perbedaan Lyam inilah yang membuat Lyam istimewa. Rambut Lyam selalu cantik di mata Emak."
"Bapak ... bapakmu sudah ... dia sudah pergi...."
Lyam memegangi pelipis yang terasa sakit, dihantam sekelabatan bayangan. Memaksa masuk.
"Aku tahu. Akulah si timun perak itu sendiri."
(Bagian cerita di atas ditulis oleh bluerries_)
°°°
Dua rintangan sudah berhasil mereka lewati, kira-kira rintangan apa yang selanjutnya?
Dapatkah kamu menerka?
Ingat, jika kamu suka, jangan lupa beri satu bintang untuk cerita KTP ini.
Jika rindu, silakan katakan di kolom komentar. Karena kami merindukan segala masukan, baik kritik maupun saran.
Salam
Min Silue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro