Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TRACK 016 • KENYATAAN PAHIT II

Rasa takutku pun terpenuhi. Aku memandang kepada Pak Ruyatno yang setengah badannya telah dilapis oleh perban. Dengan suara memelas beliau berkata, "Jangan lagi Artur Kecil. Jangan lagi."

"Ada apa Pak Ruyatno?" ucapku panik. "Bapak perlu di bawa ke rumah sakit. Bapak bawa kartu asuransi yang di berikan Lerri?"

"Kartu itu tidak berguna lagi nak...'' balasnya lengah. "Kami semua tidak bisa menggunakan kartu itu lagi. Karena insiden dua minggu lalu, kami semua dinyatakan warga liar kembali."

"Insiden apa Pak?" tanyaku dengan panik. Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah berlalu selama dua minggu ini.

"Jangan kamu bohong kepadaku nak. Sudah cukup," tegasnya. "Aku tahu kamu ingin membantu kami, tapi aku juga tahu kamu tidak senaif itu."

"Maksud Bapak?" lanjutku.

Rasa bingung, rasa takut, dan emosi-emosi negatif yang perlahan meluap tidak membantuku untuk memproses perkataan Pak Ruyatno. Aku hanya bisa bertanya-tanya tanpa ada arah.

"Lebih baik kamu baca ini nak," ucap beliau seiring menempelkan segulung koran kepada dadaku. "Bapak...," dan beliau tidak melanjutkan kata-katanya. Beliau langsung berangkat meninggalkanku dan terus memungut sampah.

Aku hanya bisa menatap lemas seiring beliau berjalan menjauh, memandang dirinya menghilang di antara pejalan kaki.

Kemudian, aku membuka lembar koran yang berada di tanganku. Mataku pun terbelalak saat memandang judul yang tertulis.

'Pemberontakan Warga Lot 07, Proyek Pemerintahan Diruntuhkan.' Judul itu kemudian ditemani oleh foto yang mengerikan, foto terbakarnya Proyek Lot 07.

Membaca judul itu, melihat foto yang mendampinginya, hatiku serasa masuk ke dalam lubang yang tidak berujung. Dingin anginnya begitu menyengat. Begitu menyakitkan.

Rasa tidak nyaman itu kemudian disusul oleh beragam kenangan yang tidak nyaman. Kenangan kekecewaan Kak Dina. Bayangan akan senyuman Warga Lot 07 yang berubah menjadi teror dan kepedihan.

Teror itu kemudian menggerakkan aku. Aku menggulung koran pada tanganku dan bergegas kepada taksi, tempat Nona Sally duduk.

"Nona Sally," bukaku dengan wajah memelas. "Aku memohon maaf, tapi aku harus membatalkan kencan kita."

"Karena apa?" balas dia tercenganng tiba-tiba.

"A–, saya memiliki urusan tiba-tiba yang harus aku bahas dengan Lerri.

"Mungkin kita bisa melakukannya di lain waktu?"

"Lain waktu? LAIN WAKTU?" seketika wajah dia yang manis berubah merah padam berhiaskan nadi. "Gua udah baik memberikan perhatian gua ama lu. Gua udah coba untuk tampil cantik. Tapi, kencan ini lu batalin karena apa? Karena pemulung itu?"

Saat aku mendengar itu, semua semakin jelas. Orang-orang ini, orang-orang yang dibawa oleh Lerri tidak pernah nyata dengan perasaannya. Mereka menginginkan sesuatu, tetapi mereka selalu menyembunyikannya.

Begitu pun dengan Nona Sally.

Aku ingin menenangkan dia, tetapi situasi mentalku tidak mendukung. Aku hanya bisa berkata, "Aku mohon maaf Nona Sally, tetapi hal ini lebih penting.

"Pak, tolong antarkan Nona ini pulang ya," ucapku seiring menutup pintu belakang, membungkam seruan amarah dia.

Aku kemudian bergegas kepada halte terdekat dari tempat aku berdiri. Halte itu dipenuhi oleh beragam orang-orang yang sedang menunggu pelanggan di atas motor mereka.

"Bang!" sahutku. "Aku ada Rp100,000.-, tolong bawa ke Lintang Square."

Satu orang mengiyakan dan kami pun berangkat.

Aku dan Sang Ojek melesat di antara mobil-mobil yang terjebak di dalam kepadatan jalan raya Karawang. Polusi menyesakkan dada dan mengkaburkan pandangan, tetapi semua bukanlah hambatan.

Dengan kecepatan Sang Ojek, aku tiba di Lintang Square dalam hitungan menit, sekitar 20 menit, mungkin kurang. Aku pun berlari ke arah kantor Lerri.

Saat aku telah dekat di depan pintu, aku mendapati Lerri baru saja melangkah meninggalkan lift.

Aku kemudian menghempaskan kedua pintu kaca kantor itu. Lembar koran yang diberikan oleh Pak Ruyatno aku genggam di tangan kiriku. Aku kemudian berseru, "LERRI!"

Dengan ketenangan pengusahanya dia menyambut seruanku dengan suara yang tenang. "Ada apa broo? Kayaknya loe semangat banget ketemu gua malam ini.

"Tapi..., seingat gua, bukannya loe ada date ama asisten gua?"

"Itu hal lain!" tegasku. "Aku ke sini untuk hal yang lebih penting dari itu. Aku kesini untuk meminta penjelasan akan artikel ini!" bentakku seiring menyajikan lembar koran yang aku terima dari Pak Ruyatno.

"Lah! Gua baru tahu broo," ucapnya mengangkat kedua tangannya. "Mana, biar gua coba baca artikelnya," lanjut Lerri menjangkau kepada lembar koran yang aku genggam.

"Lerri, aku udah bekerja dengan kamu cukup lama. Dan selama bulan-bulan kita kerja bersama, aku tahu kalau wajah yang kau pakai sekarang adalah yang kau pajang untuk melengahkan calon rekan usahamu.

"Tapi, wajah itu tidak guna di hadapanku sekarang. Tidak guna semenjak artikel ini keluar!

"Aku ingin kamu menjelaskan apa yang terjadi!"

Seketika, wajah Lerri luntur menjadi wajah yang baru. Wajah itu lebih dingin dibandingkan wajah yang dia gunakan saat membahas kontrak denganku. Menatap matanya terasa seperti menatap ke dalam kegelapan abadi di luar angkasa. Rasa itu begitu mengerikan.

Lerri kemudian mengambil langkah mendekatiku. Beban dari tatapan terasa begitu berat hingga kakiku lengah. Aku terpukul mundur. "Jadi, apa yang ingin loe lakukan Artur?"

Kedinginan yang aku rasakan semakin intens seiring suara Lerri terdengar di telingaku. Kakiku membeku. Tangan dan perutku serasa terlepas dari tubuhku.

Aku ingin lari, tetapi aku harus memberanikan diri. Dengan semangat yang tersisa, aku membalas dengan seruan, "Aku–, tidak, kita harus membenarkan ini. Orang-orang itu orang baik. Mereka tidak ada keterlibatan dalam hal ini.

"Seharusnya kita bisa melapor polisi untuk mencar –"

"Gua stop di situ Artur," ucapnya sembari mendekatkan wajahnya dua centi dari pandangan mataku. "Loe mau tahu ga, perusahaan konstruksi bikin duit gimana? Perusahaan konstruksi tidak membuat uang sama sekali.

"Kita bergantung dengan pinjaman bank dan uang sewa. Walaupun kita udah dapat backing partai atau apalah itu, perusahaan kita, PERUSAHAAN GUA, tidak akan mendapat profit.

"Jadi, gua harus menggunakan strategi lain. Gua mengiyakan untuk kontrak hak rumah dengan Warga Lot 07 supa –"

"Supaya gedung itu punya nilai jual dulu," gumamku tanpa sadar dengan benak yang diguncangkan oleh kecemasan dan teror.

"Nah...," senyum Lerri dingin. Dia kemudian menjangkau pipiku dan menggenggam rahangku. "Tuh loe tahu. Ada nilai jual artinya ada nilai untuk asuransi. Dan gua menggunakannya semaksimal mungkin.

"Hasil dari 'insiden' itu adalah claim kembali yang besar. Hutangku tertutup. Dan loe pun menikmatinya."

"Bonusku..." ucapku lemah.

Senyum Lerri pun semakin melebar dari telinga kiri hingga ke telinga kanan. Dia kemudian menambahkan, "Tidak hanya itu. Kalaupun loe beneran pengen bawa ini ke polisi, bukankah Sampah Lot 07 yang loe sayangi itu terlibat.

"Tangan-tangan mereka yang membangun gedung-gedung itu. Tangan-tangan mereka juga sama kotornya dengan gua dan loe. Sekarang mereka kena sanksi admin doang dengan gua pecat. Apa loe mau mereka dipenjara juga?"

Perlahan aku mendengar suara retakkan di dalam benakku. Kewarasanku remuk perlahan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku hanya bisa berlari.

Aku berlari dari genggaman Lerri.

Aku berlari meninggalkan Lintang Square.

Auo teclhrs xsrt nyanyian kekecewaan Kak Dina.

Auo lioar moghechhtsesn wiuguofglnru cydaxa hke vwrwayi. Kem mpnnhoghadkhn rujtl slobufg aekaqufg eirab. Ucu xeuuwvsnrkhn cybuxlhh wyba aekaqufg vari vcea.

Auo huy slmzul tprzaxxmnr dhn wyfgsetpkmcay tbbebcu ve webgmklau bongn ervtkl qayg rebuk. Avu iebxsrlh, aeduhi lkb tsxsk aekuvc vaci taxu vaeaugxss. Avu oaxss iygpn wyfgfnji ncji oi kavue tpmwad mmnji.

Auo lioar mohqaoayi bahwa aku telah berlari hingga tiba di depan pintu 'Cakrawala Baru.' Aku langsung bergegas ke dalam dan memandang ke pemandangan yang merisihkan seluruh tubuhku.

"SEMUA KELUAR!!!" bentakku. Tetapi, seruan itu hanya disambut oleh tatapan kosong.

Aku kemudian bertindak semakin kasar untuk mendapatkan perhatian mereka. Sejumlah piring dan gelas yang sedang diangkut pegawaiku, aku hempaskan kepada babi-babi berdasi, "KELUAAARRR!!!!"

Dan mereka pun lari.

Aku kemudian mengunci diriku di dalam restoran. Pintu itu aku amankan dengan menumbangkan sejumlah kursi dan meja makan.

Lalu, aku bergegas kepada meja bar. "Whisky! Satu botol!" tuntutku kepada Sang Bartender.

Sebelum dia dapat memberikan kalimat, aku merampas botol itu dari tangannya. Botol itu aku tenggak dengan cepat demi meredamkan hantu-hantu di dalam kepalaku.

"Aku salah. Aku salah. Akusalah. Akusalah, akusalah, akusalah, akusalahakusalah!!!"


Tidak ada gunanya aku menyangkal kenyataan. Aku salah.


VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA TEMEN-TEMEN!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro