TRACK 004 • NILAI YANG TAK TERLIHAT
Aku telah mengatakan aku bisa tiba pukul 10.30 WIB pada teman kuliahku, Lerri.
Dengan itu, aku bergegas dengan mandiku. Air hangat tempat aku berendam diserok dengan gayung, membasuh tubuhku penuh.
Aku berjalan kepada lemari bajuku seiring mengeringkan diri.
Aku harus bisa menyajikan diriku secara profesional. Tampil seperti orang-orang normal lainnya. Menyembunyikan rasa cemas dan kegoyahan mental dibalik kemeja putih, celana hitam, dan wajah plastik nan bersahabat.
Kemudian, aku bergegas kepada motorku.
Tiba-tiba, terdengar suara dari belakang punggungku, "Bang Artur! Tokonya tidak buka hari ini?"
Rio.
Karena dinding yang aku bangun di dalam benakku, aku tidak pernah memperhatikan rutinitasku. Untuk pertama kalinya aku teringat, "Rio selalu kembali untuk membantuku di warung."
Saat aku berbalik badan, aku menadapati dia memandangku dengan wajah memelas. Kedua tangannya terlipat, memainkan jari-jarinya dengan gelisah.
Perlahan, aku merasakan hatiku seperti ditarik oleh sesuatu.
Tetapi, aku mengabaikannya. Aku membiarkan wajah plastik ini yang menjawab dia, "Aku ada kepentingan lain. Kamu coba main dengan abang yang ada di kamar 1-3."
"Tapi? Tokonya?" lanjut dia. Semakin dia berkata, semakin berat baginya untuk menahan isak tangis. Mata dia mulai berkaca.
"Lain waktu. Aku ada urusan lain. Ya?" balasku sambil menyiapkan motorku.
Mesin motor meraung dan membawaku keluar dari penginapan ayahku.
Aku melesat di jalan raya Karawang, mencari celah di antara mobil-mobil yang berlalu-lalang dari titik satu ke titik lain. Melesat demi mencapai Lintang Square pada pukul 10.30 WIB.
Ketika aku tiba, aku bergegas berlari kepada gedung kantor Lerri. Gedung kantor itu cukup luas, memakan tiga buah gedung ruko, dan bertingkat dua. Dia berwarna putih di antara lautan warna-warni toko yang lain, berhiaskan cincin kaca di setiap sisinya. Di kening gedung itu tertulis, "PT. Sinar Lintang Konstruksi."
Aku mengintip kepada jam di ponselku seiring aku memasuki gedung. Layar itu berkata, "10.28 WIB."
Kemudian aku mendengar, "Pak Artur?"
"Ya? Itu saya," tanggapku terkejut.
"Anda sudah ditunggu oleh Pak Lerri di ruang pertemuan.
"Untuk ke atas, anda bisa menggunakan lift di sebelah saya," lanjut ibu resepsionis sambil menunjukkan lokasi lift yang berada di kiri tempat ia berdiri.
"Oh, ya. Baiklah. Terima kasih," balasku sambil melangkah cepat kepada lift tersebut.
Selama aku di dalam, aku berpikir, "Apakah tidak terlalu berlebihan untuk memasang lift di dalam gedung berlantai dua?"
Pintu lift kemudian terbuka. Cahaya putih lampu neon ruangan itu menerobos masuk, namun terhalang oleh seseorang. Terlihat sebuah siluet besar menunggu di hadapanku.
"ARTUR! Loe tiba!" sambut siluet itu. Perlahan paras orang itu terlihat. Lerri menyambutku dengan kedua tangan mengangkat menyilang ke udara. Blazer jas birunya mengembang bagai sayap kupu-kupu, menunjukkan perutnya yang..., diberkati.
"Mari-mari," lanjut orang itu. "Kita ngobrol bareng di ruang pertemuan. Biar gua kasih detilnya langsung aja."
Kami berdua pun berjalan di antara meja karyawan-karyawannya. Tidak satupun yang mengangkat kepala, semua tertunduk dan terkunci pada layar komputernya.
Dia memfasilitasiku dengan membukakan pintu ruang pertemuan. Ruangan itu menyambut kami dengan sebuah meja panjang marmer yang dikelilingi oleh sepuluh kursi kulit. Di tengah-tengah meja, tertata satu kotak kayu di sebelah asbak kaca, dikelilingi oleh barisan air putih di dalam gelas plastik.
Saat aku memasuki ruangan, cahaya matahari Karawang menyengat ku dari balik dinding kaca. Tanpa sengaja, aku refleks mengangkat tanganku.
Kemudian, orang itu bergegas kepada tirai ruang pertemuannya. "Eh, sori-sori, gua lupa terang matahari Karawang bisa sekencang itu. Sini gua tutupin."
Aku hanya terkekeh canggung, "Tidak apa-apa Lerri, hanya sedikit terkejut aja."
Aku kemudian bertanya kepadanya, "Aku boleh duduk."
"Oh ya, silahkan, silahkan. Maaf gua tuan rumah yang payah," balasnya bercanda. "Masa tamu tidak dikasih izin untuk duduk."
Dia pun menyusul, mengambil posisi di seberangku.
"Jadi," bukanya. "Gimana kabar loe. Udah lama kita kaga ngobrol-ngobrol bareng," lanjutnya dengan meletakkan kedua tangannya di atas sandaran lengan kursi.
"Aku..., lebih baik dari sebelumnya lah."
"Ya...," ucapnya berempati dengan pernyataanku. "Gua juga dengar tentang kepergian bokap loe. Maaf banget gua kaga bisa hadir untuk turut berduka."
"Tidak apa-apa. Itu sudah berlalu lama."
"Jadi sedih gini," lanjut dia sambil tertawa. "Biar seru, kita langsung ke bisnis aja sudah. Tunggu bentar, aku panggil dulu HR dan asistenku.
"Jon, Sally, tolong masuk ke ruang pertemuan. Jangan lupa kontrak dan dokumennya ya," ucap dia sambil menekan sebuah tombol pada perangkat elektronik di atas meja.
Seketika, pintu tempat kami masuk, kembali terbuka. Dua orang karyawan dia memasuki ruangan. Seorang pria berbadan kurus berbusana kemeja kuning, dasi dan sepasang suspender untuk menopang celananya. Di belakang dia, seorang perempuan berparas imut bagai bayi dengan seragam dress merah dan berhias blazer krem.
Mereka berdua kemudian duduk mengapit dia yang duduk di depanku.
"Perkenalkan Artur, ini Jono, HR perusahaan ini dan Sally, asisten pribadi gua."
"Salam kenal," sambutku sambil menjulurkan tangan kepada Jono. Lalu aku lanjutkan kepada Sally, "Salam kenal."
Aku pun kembali duduk. Seketika, Jono pun membuka, "Mari kita mulai dari penjela –"
Ia kemudian dipotong oleh bosnya, "Tidak perlu bertele-tele Jon. Artur ini tipe yang sudah paham terlebih dahulu peraturan main. Cukup berikan intinya saja. Lebih baik begitu bukan?"
"Selama aku tidak melangkahi otoritas mu Lerri."
"Ah, kaku kali loe! Hahaha."
Sang HR hanya bisa menatap canggung. Dia pun mengangkat halaman kontrak kepada bagian ringkasan, "Baiklah... Mohon tunggu sebentar."
"Ah!" lanjutnya saat dia tiba di halaman itu. "Berdasarkan kebijakan Pak Lerri, Pak Artur diposisikan sebagai staff eksternal dengan status kontrak tiga bulan. Tugas utama bapak adalah menjadi penengah bagi program CSR perusahaan serta membantu dalam kegiatan penyuluhan-penyuluhan.
"Jika diperlukan, anda juga akan ditugaskan untuk melakukan survey pasar untuk mendukung tim pemasaran.
"Sekiranya, apakah ada pertanyaan?" tutupnya sambil menurunkan kertas dan mengintip dari balik papan proposal.
"Apakah ada syarat atau kriteria lain yang harus saya penuhi? Seperti nila-nilai perusahaan? Harus saling membantu jika diperlukan?" balasku dengan penuh keyakinan.
"Halah..., gitu banget loe Artur," balas rekan kuliahku. Dia pun menyapukan tangannya di udara, menghapus suaraku dari udara. "Gua udah yakin loe pasti team player. Terjamin oleh pengalaman kita pas kuliah bareng.
"Iya, kebiasaan, hehe," tawaku canggung. "Aku hanya mencoba untuk profesional saja."
"Oke, oke, ga apa-apa."
Dia pun menoleh kepada Jono, "Mana dokumennya, biar gua aja yang bicara soal gaji sama teman kuliah gua."
Dokumen itu kemudian dia letakkan di atas permukaan meja. Dia mendekatkannya kepadaku dan merebahkan tapak tangan di atasnya. Tepat di antara jari dia yang tebal dan garis tanda tangan pada permukaan kertas, telah tertempel sebuah materai bernilai Rp10.000,-.
Kebahagiaan pada air mukanya meluntur menjadi wajah yang muram. Matanya menatap tajam padaku. "Gua mengundang loe untuk kerja di sini karena gua yakin akan kemampuan loe Artur.
"Gua, perusahaan gua sedang berputus asa karena proyek yang kami pegang saat ini tidak gerak-gerak. Sudah dua tahun kami tersangkut.
"Tetapi gua yakin, keberadaan loe bakal mengubah kesuksesan perusahaan ini. Jadi..., gua harap loe juga yakin pada kami untuk membantu karir loe. Ya?"
Aku hanya bisa membalas, "Akan kuberikan layanan terbaikku." Tanganku telah menguraikan tanda tangan di atas kertas kontrak itu.
"Sip!" ucap dia sambil menarik kontrak itu dari tanganku. "Sesuai kontrak, gaji loe gua kasih UMR Karawang. Tapi, setelah menimbang beban proyek yang akan gua kasih ke loe, gua bakal ngasih bonus share 20% dari kesuksesan proyek pembangunan.
"Bagaimana?" ucapnya dengan senyuman penuh harapan padaku dari gigi telinga kiri hingga ke kanan.
"Bangunannya terbangun dulu, baru kita bicara," balasku menjiplak semangat usaha dia.
"NAH! ITU DIA YANG GUA SUKA! HAHAHAAA!!!" sahutnya. Suara rekan kuliahku begitu keras hingga menggetarkan seluruh udara di dalam kantor ini. Suara itu bahkan mengejutkan HR dan asisten dia yang berada di dalam ruangan, mengalihkan perhatian mereka dari aku yang diremukkan oleh pelukan rekan kuliahku.
***
Sebelum aku diberikan meja, aku sudah ditugaskan oleh PT Sinar Lintang Konstruksi ke lokasi, kepada sumber isu proyek mereka. Lokasi itu dinamai 'Lot 07', sebuah tanah terabaikan karena pemiliknya tidak dapat melunaskan hutang bank.
Lot itu penuh kehidupan masyarakat, seakan tempat itu adalah desa tersendiri. Tenda-tenda dari terpal dan plastik sampah, beberapa rumah gubuk bertingkat, hingga tersedia etalase-etalase berisikan barang buangan untuk dijual kepada satu sama lain.
Tiba-tiba, aku merasakan hal yang janggal. Hatiku terasa dingin lagi, terasa seperti dialiri oleh balok es yang mencair perlahan.
"Aku mengenal tempat ini."
Aku membeku di tempat. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. "Aku ingin lari."
Aku kemudian ditarik paksa oleh sebuah suara. "Artie Kecil?"
"Ya?" balasku terkejut. Mataku masih terasa kosong karena dipaksa sadar.
"Aku benar!" ucapnya bahagia saat dia melihat wajahku. Dia kemudian menoleh ke arah penghuni lot, "SEMUA, ARTIE KECIL KEMBALI!!!"
Perlahan tapi pasti, semua warga 'Lot 07' mendekatiku dengan berbondong-bondong.
Kita mungkin tidak menyadari bahwa ada orang di sana yang memandang kita bernilai.
VOTE, KOMEN, DAN SHAREEE!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro