Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PROLOG



Alarm jam elektronik mejaku menyala. Karena jam itu merupakan jam radio, alarmnya berupa siaran radio harian.

"Selamat pagi wahai Indonesia. Hari baru sama dengan perjuangan baru dalam negara berkembang ini. Ada yang berjuang dengan melindungi masyarakat. Ada yang berjuang dengan bekerja untuk keluarganya. Dan, ada juga yang berjuang di belakang meja belajar.

"Tentunya, semua berjuang demi bertahan hidup.

"Bicara soal bertahan hidup, mari kita buka hari ini dengan lagu oleh Soundgarden. Lagu ini berjudul, The Day I Tried to Live. Sesuai dengan tema hari ini ya. Perjuan –."

Siaran itu berhenti seiring tanganku menghantam tombol alarm. Klik.

"HHoooaahhh....," rintihku seiring aku menganjakkan setengah badanku di atas tempat tidur.

Walaupun aku telah beranjak, aku tidak bisa bergerak. Semua otot pada tubuhku terasa seperti sedang berteriak. Aku merasa seperti ada rantai yang memaksaku untuk kembali berbaring, tetapi isi kepalaku berteriak untuk segera berdiri.

"Seinginnya aku untuk tidur Kembali, aku memiliki tanggung jawab lain yang harus aku hadapi," itulah yang aku ucapkan kepada diriku sendiri.

Setiap hari.

Setiap jam.

Setiap detik.

Aku harus mengingatkan diriku akan hal itu berulang dan berulang kali. Karena jika aku membiarkan, aku akan mendengar, "Apa gunanya? Aku tidak punya jejakku sendiri. Semua tidak ada arti.

"Apakah akan lebih mudah saat mati?"

Tetapi, aku tidak boleh mati. Aku tidak boleh.

Untuk menghindarkan diriku berpikir seperti itu, akupun melompat dari kasur. Selimutku pun terhempas karena tenagaku.

Segera aku merapihkan sprei kasurku dan melipat selimutku. Bantal pun aku sejajarkan Kembali.

Kemudian aku bergegas mengambil sapu yang tergantung rapih di belakang pintu kamarku. Dari sudut ke sudut aku menyapu kamarku, membersihkannya dari debu dan sampah-sampah lain yang aku tinggalkan sebelumnya.

Usai aku membersihkan kamar, aku bersiap dan memakai sepatu olah ragaku. Aku tidak mengganti bajuku karena naju tidur ini dapat aku gunakan juga sebagai pakaian olah raga.

Terik Mentari jam enam pagi menjambut seiring pintu kamarku terbuka.

Terik itu menyambutku hangat, seakan akulah sahabat dia yang sudah lama tidak bertemu.

Aku ingin membalas mentari itu.

Aku ingin bisa menyambut dia dengan hangat.

Nyatanya..., aku tidak merasakan apa-apa. Seakan aku tidak pernah mengenal sang mentari.

Aku hanya merunduk dan mengambil langkah untuk berlari.

Aku tidak mau mengangkat wajahku. Mataku hanya terfokus pada permukaan tanah merah yang menyelimuti jalan.

Lima meter.

20 meter.

Satu kilometer.

Aku mendengar kendaraan berlalu-lalang. Aku mendengar orang berbincang. Aku bahkan mendengar seorang berupaya untuk menyambutku.

Aku tidak menghiraukan mereka.

Bukan, aku menghindari mereka.

Wajah mereka terlalu terang. Wajah mereka..., membuat aku takut.

Aku takut akan orang-orang yang ingin berinteraksi denganku. Aku takut mereka tidak nyata padaku.

Aku takut akan kedekatan.

Aku melakukan semua ini dengan harapan sesuatu akan berubah. Aku berharap kata buku-buku yang sering dikutip oleh almarhum ayahku, "Dari disiplinlah motivasi terbangun," akan merubah sesuatu di dalamku.

Tetapi..., aku tetap merasakan hal yang sama. Seiring aku menatap debu demi debu naik ke atas permukaan serok, aku merasakan adanya sebuah beban di atas kedua bahuku. Beban itu terasa seperti dua batu dingin yang tidak ingin aku pergi kemanapun.

Saat aku berlari, beban dibahuku semakin berat. Aku tidak bisa merasakan ketenangan. Aku hanya ingin tidur kembali.

Aku hanya bisa merasakan sedih. Aku tidak tahu rasa sedih ini dari mana. Aku tidak bisa menghapusnya.

Dua kilometer.

Perlahan aku menghambat langkahku. Langkah berlari berubah menjadi tapakan kaki untuk berjalan.

Nafasku pun memberat. Aku menghirup nafas sedalam mungkin untuk menutup lelah. Keringat mengalir mendinginkan wajahku.

Perlahan, rel pagar penginapan yang ku jaga mulai terlihat.

Namun, sebelum aku menggesernya, pagar itu terbuka dengan sendirinya.

"Pagi Pak Artur. Baru pulang dari lari paginya?" sambut orang itu. Suara dia begitu feminin, begitu ramah, begitu..., hangat. Hangat bagaikan seorang ibu.

Aku berlaga seperti seakan olah ragaku begitu melelahkan sebelum menjawab, "Ah, iya bu."

Nyatanya, aku tidak mau menatap dia.

Aku...

"Jangan membuang muka gitu dong pak," ucapnya dengan nada seakan menggoda. Tetapi, panggilan itu tulus. "Masa wajah tampannya disembunyikan. Banga lah akan diri anda sendiri. Ya?" lanjutnya seiring dia jongkok untuk menatap wajahku yang menatap lantai paving secara langsung.

Matanya begitu cerah saat dia menatapku. Seakan, dia melihat sebuah berlian di antara padatan arang. Paras dia yang begitu cantik juga sangat tidak membantuku.

Pandangan dia begitu hangat, lebih hangat dari mentari yang sudah bergantung di atas langit. Begitu bersahabat.

Pendangan itu begitu menyakitkan.

"Mengapa engkau bisa sebahagia itu?"

"Pak Artur? Senyum dong. Sayang kalau hari ini disambut dengan wajah murung seperti itu."

Aku hanya bisa tersenyum canggung, "Ah.., iya. Terima kasih. Saya..., tidak tahu harus berkata apa."

"Katakan, 'SEMANGAT PAGI!'" balasnya dengan senyum ceria.

"Oh iya," lanjut perempuan itu seiring bergegas menatap kepada jam tangannya. "Sudah mau jam 6.30 WIB, nanti ketinggalan bis.

"Berangakat kerja dulu pak!!" sahutnya seiring berlari dengan melambaikan tangannya yang menggenggam sepasang sepatu heel.

Aku pun memasang wajah palsu dan tersenyum. Tanganku melambai seiring menarik gerbang penginapan. Aku mengangkat pagar agar aku aman dari dunia.

Aku menyempatkan untuk memandang kepada gedung penginapan ini. Gedung yang ditinggalkan oleh almarhum ayahku.

Tidak ada sedikitpun kemewahan yang dapat ditawarkan. Namun, kehangatan yang dipancarkan dari cat kuningnya begitu terasa. Baik olehku dan oleh penghuninya.

Satu-satunya kehangatan yang bisa aku rasakan dan aku terima tanpa ada rasa sakit.

Kehangatan yang ditinggalkan ayahku.

Aku pun melangkah ke dalam kamarku. Pintu segera aku tutup, menghindari dunia luar. Aku merasa aman di dalam tempat ini.

Kemudian, aku melangkah ke dalam kamar mandi untuk mengisi bak air dengan komposisi air hangat.

Pada dinding kamar mandi, ada sebuah kursi plastik yang dapat dilipat. Akupun mengambilnya dan meletakkannya di dalam bak air tersebut.

Aku ingin berendam di dalam air hangat. Aku tidak tahu mengapa, tetapi setiap kali aku di dalam pelukan air hangat, aku tenang.

Pikiran-pikiran yang menggangguku berhenti.

Semua tenang.

Walau hanya sementara.

Tiba-tiba, terdengar sebuah pertanyaan, "Apakah aku telah hidup atau aku menghidupi hidup orang lain?"

***

"I woke the same..., as any other day. Except a voice was in my head..."

                                                                                                                                            Chris Cornell - Soundgarden.


Terima kasih telah membaca cerita ini. Aku harap naskah ini berkontribusi untuk anda, dalam bentuk apapun itu.

VOTE, KOMEN, DAN SHARE YA!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro