Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB IV: Menyusun Langkah

Kresna terkantuk-kantuk di bangkunya. Duduk selama hampir delapan jam ternyata menyiksa. Omong-omong, Kresna tidak keberatan ketika keterangan “teramat sangat” ditambahkan di depan kata “menyiksa” karena memang seperti itulah yang ia rasakan. Seperti ada ribuan ton beban yang menggantungi seluruh tubuh dan membuat tidak nyaman.

Ia palingkan pandangan ke arah jendela bus yang berada disisi kanan, mencoba mencari pemandangan lain untuk ditatap selain sandaran kursi dan pria yang tidur dengan nikmat disampingnya. Kresna tidak menyalahkan jika pria itu tertidur di angkutan umum seperti ini. Suatu kewajaran untuk tidur dalam perjalanan jarak jauh. Satu yang tidak wajar adalah gaya tidur teman duduk Kresna. Pria itu tidur dengan mulut terbuka, ditambah sedikit bunyi merdu alias ngorok. Lagi, sebuah mata air mengalir dari sisi kanan mulut pria itu. Juga, kedua mata yang setengah terbuka meski si pemilik sudah tidur lelap.

Sesekali akan terdengar bunyi geraman aneh. Pernah makan tulang lunak? Nah... pria di samping Kresna ini memproduksi bunyi kletak-kletuk khas orang makan tulang lunak. Pemandangan ini semakin indah ketika kaus biru pria itu tersingkap sebatas perut. Sepertinya bentuk abdomen pria ini sejenis bakpao, bukan roti sobek yang menggoda. Ya, meskipun tak bisa menampik kadang-kadang Kresna memilih untuk makan bakpao daripada roti sobek. Akan tetapi, bayangkan perasaan Kresna yang sudah melihat pemandangan indah ini sejak berjam-jam lalu! Ia berada dalam zona kebosanan yang hampir menyentuh ambang kemuakan. Jika makhluk yang tidur disampingnya ini berjenis perempuan, mungkin ceritanya akan sedikit berbeda. Kresna akan senantiasa berdebar, memerah, dan pasti mengabaikan keunikan tidurnya. Tentunya itu semua karena ia akan menikmati pemandangan lain yang terlihat. Eh, bukan Kresna berpikiran cabul, ia hanya kesepian. Bertahun-tahun hidup dalam pelatihan ala militer membuat Kresna jarang melihat keindahan bernama wanita.

Bukan berarti anggota BIN tidak menarik, bahkan beberapa termasuk memiliki modal yang cukuo untuk memenangkan sebuah kontes kecantikan. Hanya saja, gadis BIN terlalu menakutkan untuk Kresna. Bayangkan jika Kresna melancarkan gombalan khas anak muda!

"Bapak kamu polisi ya?"

Kalau gadis lain mungkin  akan menjawab, "Iya, kok tahu?" lengkap dengan senyum malu-malu yang melemahkan iman. Nah, coba rekannya di BIN.

"Bapak kamu polisi ya?"

"Maaf. Status keluarga dirahasiakan untuk prosedur keamanan."

Dijawab dengan nada tegas tak terbantah, disertai pandangan mengintimindasi, atau tatapan tajam seolah ada laser penghancur yang siap menembak. Nyali Kresna sudah pasti jadi menciut.

Sementara pikirannya terus berkelana tanpa arah, putaran arloji di tangan kanan terus melaju, menandakan waktu terus melangkah. Kresna semakin dekat dengan kota tujuan. Ia mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku celana. Sekilas, benda itu terlihat seperti sebuah ponsel. Siapa sangka, di balik wujud kecil tersebut, tersembunyi sebuah kegunaan besar. Benda ini juga hasil rakitannya, barang yang harusnya dikumpulkan selesai penilaian, tetapi berhasil diseludupkan. Jemarinya menari di atas layar. Matanya bergerak cepat, membaca beberapa rencana penyelesaian tugas di kota Solo. Kecurigaan Kresna mengenai misi tertunda yang dia temukan, benar adanya. Dua misi itu sudah dimanipulasi. Banyak informasi penting yang tidak tercantum dalam laporan umum. Bahkan, kenyataan bahwa dua misi itu berhubungan juga tidak disebutkan, seolah memang sengaja untuk memberikan kesan bahwa itu hanya sebatas misi tidak tuntas yang tidak menarik.

Dari hasil retasan kemarin, Kresna mengetahui beberapa fakta baru. Pertama, kasus serupa pernah diselidiki sekitar sepuluh tahun lalu. Kemunculan kelompok bersenjata  di daerah perbatasan yang dianggap sebagai kelompok terduga pemberontak. Namun, penyelidikan berhenti di tengah jalan dengan alasan agen yang bertugas memperoleh misi baru. Kedua, kelompok asing ini hidup berdampingan dengan beberapa buruh pabrik sawit dengan alasan untuk menjamin keamanan para pekerja. Karena itu, kelompok ini tidak pernah menjadi sorotan karena dianggap tim pengaman semata. Cara hidup mereka sangat rapi, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Kelompok ini sudah seperti 'pelindung' bagi masyarakat di sana.

File lain yang berhasil Kresna temukan ketika meretas adalah mengenai penyeludupan senjata melalui daerah perbatasan. Kemiripan kasus ini dengan misi Kresna adalah cara hidup para penyelundup tersebut dengan kelompok yang Kresna selidiki. Membangun perkampungan sementara di sekitar perbatasan dan menyamar sebagai warga sipil. Kasus ini juga sama tertunda dengan alasan agen yang bertugas mendapatkan misi baru.

Otak Kresna kini dipenuhi pertanyaan. Mengapa kasus seserius ini mendapat status penundaan di data umum? Mengapa harus dijaga kerahasiaannya? Lagi pun, TNI adalah angktan militer yang diakui sebagai yang terbaik di dunia.  Mengapa kasus seperti ini masih saja tidak terendus “hidung” mereka? Padahal para pelaku mungkin saja beroperasi di daerah yang dijaga ketat TNI. Apa memang sebenarnya sistem keamanan negara ini begitu payah(nama besar TNI hanya bagus di bagian perang daripada bertahan, sehingga begitu mudah diterobos beberapa kelompok yang diduga pemberontak? Kalau memang pemberontak, mengapa misi-misi tersebut harus ditangguhkan? Bukankah itu sangat berbahaya? Mengapa bahkan di pusat data paling tersembunyi BIN, informasi lengkap mengenai kasus-kasus ini tetap tidak bisa ditemukan? Benarkah kasus-kasus tersebut hanya ditangguhkan, atau ada alasan lain semacam hasil penyelidikan terhadap tersebut merugikan sebuah kelompok elit tertentu? Kalau begitu, apakah misi Kresna kali ini(yang sangat mirip dengan kasus-kasus tadi(akan berstatus sama ketika kebenaran yang ditemukan tidak sesuai dengan keinginan “atasan”?

Tanpa disadari, pertanyaannya sendiri mengenai kemungkinan kebenaran tadi, menimbulkan pergolakan idealisme dalam diri Kresna. Ia tahu, dunia intelijen memang tidak hanya berisi hitam dan putih yang persepsinya harus sama dengan norma umum. Ada kebenaran dan kesalahan yang satu-dua kali harus ditentukan sendiri standarnya oleh para pengambil keputusan. Tugasnya hanya sebagai eksekutor sebuah misi untuk kemudian menghasilkan himpunan data. Keputusan akhir tetaplah milik mereka yang memegang kekuasaan. Meskipun itu semua benar, bahkan Kresna bisa bergabung dalam BIN berkat membenarkan dasar-dasar berpikir semacam itu, tetapi ia merasa hal tersebut salah pada saat bersamaan. Kegamangan terus datang menyita pikiran hingga ia lelah. Kresna menghembuskan napas pelan, mengusir segala prasangka melelahkan tersebut. Pikirannya kembali jernih dan sadar kembali, bahwa seluruh kecakapan yang ia pelajari di akademi tidak akan berguna jika ia masih saja bergulung dengan keraguan tentang idealisme yang tidak cocok.

Sementara Kresna mulai berdamai dengan hatinya, suara kondektur menggema dari arah depan. Seorang pria berpenampilan lusuh berjalan ke belakang sambil terus berteriak jika bus sudah tiba di tujuan. "Tirtonadi... Tirtonadi! Solo... Sukoharjo!"

Kasak-kusuk mulai terdengar dari setiap bangku penumpang, teriakan kondektur tadi cukup untuk membangunkan mereka yang sebelumnya terlelap. Kresna merapatkan tas gendongnya. Ia lalu berdiri dan melakukan sedikit peregangan sebelum ikut berdesakan bersama penumpang lain yang hendak turun. Beruntung, pria di sampingnya tadi sudah turun lebih dahulu, sehingga Kresna bisa segera keluar dari bangku di samping jendela tanpa harus membangunkan si pria berperut bakpao.

Udara yang sarat asap menyambut indra penciuman Kresna begitu turun dari bus. Aneka kebisingan menyeruak memasuki indra pendengarannya. Suatu keramaian yang sebenarnya Kresna rindukan. Sejak menjalani pendidikan calon agen intelijen, Kresna jarang menikmati waktu senggang untuk berjalan-jalan. Jadi, anggaplah ini nostalgia akan kehidupan lamanya. Bertahun-tahun yang lalu, Kresna muda pernah berlarian di terminal  demi mengejar bus yang akan membawanya ke sekolah. Kresna tersenyum simpul mengingat kenangan itu. Kini Kresna kembali merasakan kehidupan dunia luar. Ia akan kembali berbaur dalam tatanan masyarakat, meski hanya sementara dan ada tujuan lain terselip di sana.

Beberapa pria paruh baya mulai menyerbu penumpang yang baru turun dari bus. Mereka meraih tas-tas besar milik penumpukan untuk dibawakan sekaligus menawarkan jasa ojek atau sewa mobil colt. Dua pria juga ikut mengerubungi Kresna,  satu di antaranya berusaha meraih tas gendong Kresna, sedangkan pria satunya menggiring Kresna menuju motor tua yang terparkir tidak jauh dari bus.

"Mau kemana, Mas?" tanya seorang pria dengan logat Jawa yang kental.

"Tak anterin, Mas. Ayo arep kemana?" kata pria lain dari atas motornya yang kurang lebih berarti, Saya antarkan, Mas. Ayo mau kemana? Dalam bahasa Indonesia.

Kresna mengurai senyum sambil menggelengkan kepala. Ia terus melangkah menjauhi dua pria tadi. Sejak awal, ia memang tidak berniat langsung meninggalkan terminal. Ada sesuatu yang harus dikerjakan.  Oelh karena itu, Kresna berharap dewi keberuntungan berpihak padanya.

"Ayo, Mas! Murah, murah. Tidak mahal," ujar pria tadi masih belum menyerah dengan tawarannya. Ia terus mengikuti langkah Kresna yang kembali melempar senyum sambil terus melangkah. Serius, kalau ditanggapi tidak akan ada habisnya. Ia hanya perlu melangkah secepat mungkin untuk meninggalkan pria-pria ini.

Kresna menghentikan langkah di depan pintu keluar terminal. Diamatinya beberapa warung makan yang berderet di bangunan ruko tersebut. Kresna memilih satu yang paling ramai. Ada beberapa pria sedang makan dengan lahap di sana. Ini yang namanya sambil menyelam minum air. Kresna akan memenuhi tuntutan cacing diperutnya sambil mencari informasi keberadaan Kasman, pria dermawan pemilik beberapa ruko di Terminal Tirtonadi. Pria ini terkenal sebagai pengusaha buah yang melakukan pengiriman ke berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, Kasman juga menyalurkan tenaga kerja untuk bekerja di pabrik kelapa sawit di Pulau Kalimantan. Mengapa harus Kasman? Karena Kasman adalah adik Mardan, juragan buah yang menjadi 'artis' pada kisah yang lalu.

Bukan tanpa alasan Kresna memilih warung yang lebih ramai. Peluangnya untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Rencananya ia akan berpura-pura mencari pekerjaan di sekitar sini. Kresna membekali diri dengan cerita karangan tentang nasibnya yang kurang beruntung. Ceritanya begini, dari kampung asalnya, banyak orang yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Mereka berhasil mengirimkan sejumlah rupiah hingga cukup untuk menopang perekonomian keluarga. Nah, Kresna adalah pemuda malang yang juga butuh pekerjaan penopang semacam itu. Lebih rumit memang, tetapi cara ini lebih aman. Tidak mungkin, kan, Kresna tiba-tiba datang ke rumah Kasman lalu mengemis pekerjaan? Akan menjadi cara yang amat sangat bodoh kalau pria itu curiga di awal.

"Dhahar napa, Mas?" tanya si pemilik angkringan begitu Kresna memasuki warung tersebut diikuti dengan senyum ramah. Artinya kurang lebih, Makan apa, Mas?

"

Nasi rames, Bu. Minum e teh anget mawon," ujar Kresna dengan bahasa Jawa yang fasih, memesan nasi rames dengan minuman teh hangat. Di akademi, calon agen intelijen memiliki jadwal khusus untuk mempelajari bahasa. Mulai dari bahasa daerah yang ada di Indonesia, juga beberapa bahasa asing, persiapan jika agen mendapat misi di luar Indonesia. Bukan hanya bahasanya saja, tapi lengkap dengan logat aslinya. Komunikasi adalah kunci utama untuk mendapatkan informasi. Menguasai berbagai bahasa adalah modal yang penting bagi seorang agen. Bahasa Jawa hanya satu dari sekian bahasa daerah Indonesia  yang Kresna kuasai.

Tidak perlu waktu lama pesanan Kresna terhidang. Sambil menikmati makannya Kresna menanti saat yang tepat untuk melemparkan umpan. Seluruh percakapannya berikut terjadi dalam bahasa Jawa.

"Sepertinya dari jauh, Mas. Mudik atau gimana?" tanya si pemilik angkringan.

Dalam hati Kresna bersorak karena saat yang ditunggu sudah datang. Kresna menelan kunyahannya sebelum menjawab, "Tidak, Bu. Dari kampung. Mau cari kerjaan.” Setelah menyelesaikan sesuap lagi, Kresna bertanya dengan wajah serius membutuhkan pekerjaan, “Disini banyak toko, ya, Bu. Kira-kira, ada yang cari karyawan nggak, ya?”

"Kerja pulau aja, Mas. Gajinya lebih banyak," ujar wanita berbaju biru(pemilik angkringan.  Ia mengelap beberapa piring yang baru selesai dicuci gadis berbaju merah. Kresna menduga gadis itu adalah pegawai toko ini.

“Masih muda masih laku tenaganya, Mas. Daripada kamu susah-susah," ujar seorang pria yang duduk disamping Kresna. Pria yang baru menyelesaikan makannya itu mulai menyulut batang tembakau di selipan jari.

Kresna tersenyum dengan wajah lugu, "Tidak tahu cara daftarnya, Pak. Kayaknya mahal, saya nggak punya modal," jawab Kresna malu-malu, bermaksud menggugah “perasaan lebih” orang-orang. Ketika seseorang merasa lebih(tahu(dari orang lain, ia akan berbicara dengan lebih ceroboh dari biasanya.

Gelak tawa terdengar begitu Kresna menyelesaikan kalimat. Orang-orang itu menertawakan kepolosan Kresna. Sementara dalam hati, Kresna bersorak karena berhasil mendapat situasi dan pembicaraan yang ia inginkan. Warung tersebut lalu berubah menjadi ajang motivasi. Kresna sukses menyita perhatian semua orang. Suasana warung yang semarak semakin ramai kala semua berlomba memberikan nasihat untuk Kresna.

Obrolan berlanjut seperti yang Kresna rencanakan. Lebih beruntung lagi, seorang pria berbaik hati menawarkan bantuan cuma-cuma untuk mengantar Kresna ke rumah ‘penyalur’ yang sudah tersohor. Pria tersebut bahkan berbaik hati menjelaskan maksud kedatangan Kresna pada seorang pekerja di rumah mewah itu, sebelum akhirnya ia berpamitan setelah memastikan Kresna diijinkan memasuki rumah mewah milik Kasman. Suatu kebetulan yang membuat Kresna girang, karena sejauh ini rencananya berjalan dengan lancar. Sebagai balasan, Kresna memberikan selembar rupiah bernilai dua puluh ribu yang awalnya ditolak, tetapi diterima setelah Kresna dengan basa-basi, mendesak.

Kresna mendudukan pantatnya di sofa ruang tengah, menanti si empu rumah yang menurut keterangan pekerja tadi, masih berada di lantai dua. Sementara, pekerja rumah ini pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman bagi Kresna.

"Rumah yang nyaman," katanya sambil mengamati perabotan pengisi rumah berwarna dominan coklat itu. Halaman depannya tampak asri dengan hiasan beberapa bonsai. Rumput-rumput tumbuh rapi di sepanjang garis taman depan rumah. "Dan tentu saja mewah," imbuh Kresna setelah mengamati beberapa perabotan rumah berbahan dasar kayu jati dan lampu kristal besar di atas ruang tengah. Jangan lupa guci antik yang berjejer di pojok ruang tamu. Keberadaan mereka seolah menjadi statement paripurna status ekonomi pemilik rumah.

Beralasan ingin menumpang ke toilet, Kresna berhasil masuk lebih dalam ke rumah dermawan itu. Sebelum itu, Kresna meraba benda ajaib hasil rakitannya yang ada di saku. Benda itu serupa ponsel tetapi lebih kecil, memiliki fitur penanda lokasi, pemindai suara, dan fungsi penulis transkrip otomatis. Data yang tercatat kemudian bisa digunakan sebagai bukti bahkan bisa untuk memetakan ruangan. Itulah mengapa, sepanjang berjalan, Kresna berbisik, “Kanan, kiri, dinding, kamar” dan segala macam keterangan sebagai modal untuk pemetaan ruang dalam rumah Kasman. Beberapa kali, Kresna menangkap adanya CCTV di sudut rumah.

Selesai dengan urusan buang air kecil, Kresna kembali ke ruang tengah. Ia melihat seorang pria paruh baya duduk di sofa. Dugaanya, pria ini adalah Kasman, orang yang ia tunggu dari tadi.

"Sudah nunggu lama, Mas?" sapa si pemilik ramah begitu menyadari kehadiran Kresna. Ia mempersilakan Kresna untuk duduk lalu menawarkan segelas minuman berwarna merah yang sudah terhidang di atas meja.

"Ah, Belum, Pak. Maaf, tadi numpang...."

"Nggak papa, Mas. Santai saja. Silakan duduk," potong si pemilik rumah, kembali mempersilakan Kresna yang masih kikuk untuk duduk.

"Saya Kasman. Ada perlu apa, Mas?" tanya pria itu lagi dalam bahasa Jawa yang kental, menanyakan maksud kedatangan Kresna yang sebelumnya sudah disampaikan kepada pegawai rumah ini. Mungkin pegawai itu tidak menjelaskan secara rinci, atau pria ini memang sengaja berpura-pura tidak tahu.

"Saya Bayu, Pak. Saya lagi cari kerjaan, Pak," jawab Kresna bersemangat, meyakinkan pria ini bahwa dirinya butuh sekali sebuah pekerjaan. Kresna memang sengaja menggunakan nama 'Bayu'. Segala dokumen yang ia bawa, mulai dari kartu tanda penduduk sampai ijazah semua atas nama Bayu Purnama. Palsu? Jelas. Akan tetapi, tenang, ini semua demi sebuah misi,  bukan sesuatu yang melanggar kode etik intelijen juga.

"Oh ... Mas Bayu lagi cari kerjaan, ya?" Pria itu berdehem sebentar, lalu melanjutkan pertanyaannya, "Tahu di sini ada kerjaan dari siapa, Mas?"

"Dari orang di terminal, Pak. Katanya kalau mau kerja di pulau, bisa sama Bapak. Banyak yang bilang kerja di pulau enak. Beberapa tetangga saya juga ada yang kerja di pulau dan hasilnya lumayan. Temen saya juga ada yang dapat modal nikah mewah, katanya dari kerja di pulau itu," sahut Kresna malu-malu. Tatapannya ia buat selugu mungkin untuk menarik simpati.

Kasman tertawa. “Berlebihan, ah. Itu, kan, karena orangnya yang tekun dan pandai atur duit saja.”

“Wah, saya kalau kerja keras dan rajin pasti bisa jadi kayak teman saya itu, ya, Pak?”

“Ya, tergantung Mas Bayu. Tapi kerjaan yang sekarang adanya di kebun karet, ih, Mas. Jauh dari kota," ujar pria itu menjelaskan kondisi yang akan Kresna hadapi dengan bahasa dan logat Surabayaan yang khas.

"Jauh gak masalah, Pak, asal halal. Biar bisa nabung buat halalin anak gadis orang." Kresna mencoba bernegosiasi dengan menyentuh sisi kemanusiaan sekaligus humor Kasman. Ia tertawa pasrah, seolah sudah putus asa mencari pekerjaan, dan tinggal inilah satu-satunya kesempatan yang bisa ia peroleh.

Kasman ikut tertawa lagi sambil menepuk punggung Kresna, menunjukkan kalau rasa simpatinya berhasil disentuh. "Ya udah, Mas Bayu. Siapkan dokumen pengantarnya, ya. Rinciannya nanti minta ke pekerja yang tadi nyambut Mas Bayu di depan. Paling lama dua minggu lagi baru bisa berangkat."

Kresna menangguk semangat sambil terus-terusan berterima kasih. Ia berakting seperti orang yang baru saja mendapat karunia surga. Setelah diputuskan bahwa Kresna bisa ikut bekerja dengan disalurkan Kasman, mereka melanjutkan obrolan. Kasman menceritakan beberapa kisah sukses pencari kerja yang dibantunya.

Obrolan tersebut bahkan sempat menyinggung mengenai kekhawatiran Kasman tentang tempat menginap Kresna. Sempat, lelaki yang rambutnya sudah disusupi uban itu menawarkan tumpangan. Awalnya, Kresna berpikir kalau itu bisa menjadi kesempatan bagus untuk menyelidiki Kasman dan rumahnya lebih jauh. Akan tetapi, hal tersebut juga bisa menjadi pisau bermata dua. Dengan semua CCTV dan perangkat pengamanan rumah lain(yang mungkin belum Kresna sadari(tentu akan membuat ruang geraknya terbatas. Ia, kan, harus menyusun rencana untuk langkah berikutnya. Itulah mengapa, Kresna menolak dengan sangat halus menggunakan alasan sudah terlalu merepotkan Kasman dan tidak ingin merepotkan lebih dari ini.

Selama obrolan berlangsung, Kresna mengamati segala ekspresi dan gerak-gerik Kasman. Akan tetapi, ia tidak menemukan kejanggalan apa pun. Gurat wajah pria itu penuh dengan ketulusan. Tidak ada yang bisa dicurigai sejauh ini, sampai-sampai, Kresna sedikit merasa bersalah karena memanfaatkan orang yang tidak tahu apa-apa. Kresna, sadarlah! Bagaimana pun, Kasman masih harus dicurigai!

****


Akhirnya Kresna memutuskan untuk menyewa sebuah losmen di pinggiran kota dengan harga sewa lebih murah. Ia mendapat sebuah kamar sederhana yang cukup untuknya beristirahat. Kresna membersihkan sedikit debu di seputaran kamar kemudian membuka jendela, membiarkan udara masuk untuk mendesak pengap keluar ruangan yang nampaknya sudah bertahun-tahun tidak ditempati itu. Selesai dengan acara membersihkan kamar, Kresna memutuskan untuk mandi.

Ia lalu menghabiskan sisa hari dengan setia memandangi layar komputer, mengintip segala macam hal, termasuk sesekali memperhatikan progress bar aplikasi pengolah yang tengah memetakan ruangan di rumah Kasman berdasakan data yang Kresna dapatkan. Andaikan komputer jinjing itu adalah seorang gadis, wajah Kresna pasti sudah habis lebam karena ditampar. Tangan Kresna mengetik dengan cepat, sehingga tidak butuh waktu lama, ia sudah menyelesaikan laporan yang akan dikirim ke BIN.

Setelah selesai mengetik, Kresna memperhatikan layar berhias berbagai macam jendela kerja sambil mulai membuat garis-garis penghubung yang berisi berbagai kemungkinan di buku catatan.

"Terlalu rapi, tapi Kresna bukan agen rendahan yang bisa dibodohi," cibir Kresna dalam hati. Mengejek siapa pun yang menyusun laporan palsu yang saat ini sedang ia baca. “Lihat saja! Akan kuhujankan laporan misiku yang sukses pada agen penyusun laporan ini kalau ketemu.”

Ketika progress bar di jendela kerja aplikasi pengolah data sudah menunjukkan angka 100% dan muncul beberapa kemungkinan cetak biru rumah Kasman, Kresna tersenyum. Ia memperhatikan sebentar gambar rumit tersebut. Di samping jendela kerja yang sengaja tidak di-maximize tersebut, informasi mengenai Kasman terpampang. Ia lalu menutup komputer jinjing dan merapikan peralatan yang bertebaran di kasur.

Setelah selesai dengan urusan peralatan, Kresna meraih jaket sewarna daun tua yang digantung di balik pintu. Arloji di tangannya menunjukkan pukul tujuh malam. Masih terlalu sore untuk memulai gemerlap dunia malam, tetapi Kresna sudah memerintahkan kaki untuk membawanya menuju suatu tempat. Adrenalin yang terpancing membuat perasaanya campur aduk. Ada gugup, tetapi juga antusiasme besar disana. Ada takut menyusup, tetapi segera saja takut itu dikunyah habis oleh rasa penasaran.

"Mari pergi memancing!" seru Kresna riang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro