Bab II : Mengurai Benang Kusut
Hari ini Kresna sudah mulai bergelut dengan misi. Mengingat kejadian memalukan di ruang kepala BIN kemarin, Kresna sungguh ingin menenggelamkan dirinya ke dasar samudra. Seharusnya, ia lebih mampu mengendalikan diri. Pengendalian diri adalah hal dasar yang dipelajari di akademi. Salah satunya dengan menjaga mimik wajah dan gerak tubuh. Manusia secara alami akan memberikan respon atas emosi yang sedang dialami. Contohnya, seseorang yang sedang berbohong akan cenderung banyak berkedip sebagai bentuk peningkatan kegugupan. Menyibak rambut sebagai tanda ketertarikan, menyilangkan tangan di depan dada ketika dalam kondisi tidak nyaman. Juga perubahan mimik wajah seperti kerutan bibir, menutup mata saat mengatakan sesuatu, dan banyak lainnya.
Mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi seorang agen memang dituntut untuk tidak menampilkan ekspresi berlebihan. Meski dalam kondisi terdesak hampir mati pun, seorang agen diharuskan menyembunyikan segala emosi. Tidak boleh ada gurat kecemasan, ketakutan, atau rasa empati berlebih(kecuali untuk kepentingan misi. Semua itu harus disingkirkan jauh-jauh. Bahkan agen intelijen memiliki pelatihan khusus untuk mengelabui alat deteksi kebohongan.
Bayangkan, jika ekspresi bodoh kemarin ia tampilkan didepan lawan? Habis sudah riwayatnya! Tamat! Ia akan mencoreng nama baik negara tercinta karena mencetak agen seperti dirinya. Sesungguhnya Kresna ingin mengulang waktu, lalu menghapus momen bodohnya kemarin. Kesalahan kecil pembawa petaka jika yang dihadapi kemarin adalah seorang tersangka. Beruntung, ia hanya mendapat tawa cemoohan juga sedikit teguran dari Arya dan sedikit hadiah dari pengawasnya, yaitu olahraga malam dengan berkeliling lapangan 20 putaran.
Kresna membuang napas, memijat pelipisnya pelan dengan tangan kiri, mencoba mengusir pening yang datang. Sementara, tangan kirinya kembali membuka lembaran file dengan sampul merah berlogo BIN. Sudah seharian Kresna belai, ujung kertasnya terlipat kusut. Kresna sudah membaca file ini sampai hafal seluruh isinya. Akan tetapi, tidak ada satu pun benang merah yang bisa Kresna tarik sebagai sebuah kesimpulan. Ah, jangankan kesimpulan, Kresna bahkan tidak menemukan titik celah untuk memulai penyelidikan. Semua teramat bersih. Jika kasus ini adalah sabun cuci, pasti akan digandrungi kaum ibu-ibu!
Kresna kembali menjambak rambut, berharap tindakan ini bisa mempercepat koneksi dalam pikirannya. Saat sebuah informasi harus ia proses, otaknya malah buntu seperti aliran sungai yang penuh sampah.
"Kenapa mempelajari misi orang terasa lebih mudah, ya?" keluhnya entah untuk beberapa kali. Kresna merebahkan kepalanya di atas meja, kemudian menggunakan file merah tadi untuk menutupi kepala. Sungguh! Kresna berharap ada suara langit yang memberinya petunjuk..
"Menyelidiki kelompok bersenjata di perbatasan Kalimantan." Kresna membaca misi tersebut sekali lagi dengan saksama sambil masih merebahkan kepala. Namun, meskipun sudah lebih seribu kali dibaca, misi ini masih terlalu abu-abu.
Misi ini berlatar sekitar tiga bulan yang lalu. Dalam pertemuan antar pasukan tentara yang diadakan di kota Malang, Jendral TNI menerima informasi bahwa seorang tentara Malaysia tersesat di wilayah Indonesia. Sebenarnya ini hal yang wajar, mengingat Indonesia dan Malaysia berbatasan langsung. Kecurigaan timbul dikarenakan perdana menteri Malaysia mengatakan bahwa tentaranya itu ditolong oleh anggota TNI yang kebetulan sedang berlatih di dekat perbatasan.
"Pasukan yang mana?" tanya sang Jendral dalam hati. Sebagai pimpinan tertinggi TNI, ia pasti tahu di mana saja pasukan berlatih dan bertugas. Kemudian Jendral tersebut meminta bantuan BIN untuk menyelidiki mengenai kelompok yang mengaku sebagai anggotanya tersebut.
Beralih ke lembar berikutnya, berisi informasi mengenai cara hidup yang ditempuh sekelompok orang ini. Mereka membangun pemukiman sederhana di dalam hutan. Bangunan-bangunannya pun hanya terbuat dari bahan seadanya, dan hanya menjadi tempat singgah untuk sementara. Berjumlah kurang dari 100 orang, kelompok ini mengandalkan hasil hutan sebagai sumber bahan pangan, juga sesekali berburu hewan liar.
"Kemampuan beradaptasi yang diperoleh dari pengalaman atau hasil latihan khusus." Hal tersebut dikatakan tentara asing yang sempat menginap selama empat hari bersama kelompok ini. Sekilas, tidak ada yang salah dengan kebiasaan kelompok ini. Kecuali fakta jika mereka memiliki beberapa jenis senjata api yang tentu tidak mungkin dimiliki pekerja buruh di perkebunan sawit.
"Jadi, mereka pasti bukan warga sipil." Sejujurnya, hal ini sudah Kresna tulis berulang kali. Terbukti dengan bekas tekanan pulpen yang sampai tembus ke beberapa halaman lain buku. Dari pengamatan sekali lihat, orang-orang ini memiliki bentuk tubuh yang tidak mungkin dimiliki hanya dari latihan sehari-dua hari.
"Mungkinkah mereka tentara yang membelot?" Kresna mengernyit. Tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan. Akan tetapi, ia harus segera menemukan celah untuk memulai penyelidikan. Celah sekecil apapun harus dicoba. Di Indonesia, pelatihan tiap kesatuan bersenjata baik dari polisi maupun tentara memang kewenangan tiap instansi.
"Terlatih, bersenjata. Tidak ada indikasi tindakan radikal atau masalah lain yang bisa menimbulkan masalah ke depannya. Tapi kenapa mereka menggunakan nama TNI sebagai identitas? Terdengar masuk akal jika mereka sengaja untuk menyembunyikan diri. Tapi dari siapa? Apa yang coba mereka tutupi?"
Aduh, kenapa otak Kresna justru melenceng kesana-kemari?
"Ayo fokus dong! Cari informasi yang mungkin berguna untuk penyelidikanmu!" ujar Kresna meluruskan pikiran. Kembali ia teguk segelas kopi hitam yang sudah dingin. Kresna memijat belakang kepala, lalu bergeliat mengusir kebas yang menyerang bokong. Kursinya pun terasa panas, mungkin kursi itu sudah lelah menahan beban tubuh Kresna.
***
Matanya terus menyusuri kata demi kata pada berkas, tangannya tak henti mencoret-coret kertas. Kresna menambahkan poin penting yang mungkin akan berguna nanti.
"Dilihat dari jenis senjata yang mereka miliki, muncul dugaan keterlibatan pihak yang memiliki kekuasaan besar di balik kelompok ini. " Kresna melanjutkan membaca. Lalu membuka lembar berikutnya yang sempat membuat ia tercengang. Lembar tersebut berisi informasi tentang senjata-senjata yang diduga dimiliki oleh kelompok tersebut.
Heckler Koch (HK) Maschinenpistole (MP), atau yang biasa dikenal dengan sebutan HK MP5 adalah senjata buatan Jerman. Senjata jenis ini pernah dipakai pada perang dunia kedua. Kabarnya senjata ini sengaja dirancang untuk mempersenjatai pasukan elite di Jerman. Dengan bobot 2,6 kg, panjang 680 mm, kaliber 9 mm. Memiliki jangkauan tembak 200 meter, dan mampu memuntahkan 800 butir peluru per menit. HK MP5 memiliki akurasi dan keandalan yang tinggi serta diproduksi dalam banyak varian. Senjata ini mudah untuk digunakan, perawatannya juga tidak rumit. Keunggulan tersebut membuat HK MP5 menjadi pilihan utama bagi kebutuhan militer dan para penegak hukum di lebih dari lima puluh negara di dunia. Kresna juga menjadikan senjata ini sebagai salah satu favoritnya juga. HK MP5 termasuk jenis yang sulit didapatkan. Bahkan TNI pernah ditolak saat memesan senjata ini. Ah, sayang alasannya tidak tertulis disini. Sepertinya ini termasuk classified information, Informasi terbatas yang tidak diberikan pada sembarang orang.
Selain HK MP5, kelompok tersebut juga diduga memiliki senjata lain yaitu M-16. Senapan serbu buatan Amerika Serikat ini sudah menjadi andalan sejak 1967. Diproduksi oleh Colt dan FN (Fabrique Nationale), M-16 memiliki kaliber standar NATO 5,56 mm. Memiliki berat 2,9 kg, panjang 1.006 mm, dan jangkauan efektif 550 meter, senjata ini memiliki kaliber peluru hanya 5.56 mm (0.223 inci), sehingga berkecepatan tinggi. Baik HK MP5 maupun M-16, termasuk senjata yang hanya bisa didapat melalui pembelian langsung ke negara pembuatnya.
Kresna menggarisbawahi kata "hanya bisa didapat dengan pembelian langsung ke negara pembuatnya" dengan pulpen bertinta merah.
Tidak cukup itu saja, berdasarkan keterangan, kelompok tersebut juga kemungkinan memiliki Senapan Serbu 1 (SS1), senapan produksi dalam negeri berdasarkan senapan FN FNC dengan lisensi dari perusahaan senjata Fabrique Nationale (FN), Belgia. Menggunakan peluru kaliber 5.56 x 45 mm standar NATO dan memiliki berat kosong 4,01 kg, senapan ini menjadi senapan standar TNI dan POLRI.
M-16 yang dirancang dengan napsu membunuh, HK MP5 yang dirancang untuk pembantaian, ditambah senjata standar TNI dan POLRI(mungkin akan bertambah lagi mengingat ini hanya berdasar laporan sekilas yang dilihat tentara asing itu, kelompok itu memiliki persenjataan layaknya pasukan siap serbu. Ah, jangan lupakan juga keahlian kamuflase dan bertahan hidup mereka yang sejajar dengan pasukan elit atau minimal satuan operasi khusus. Berdasarkan data-data tersebut, asumsi Kresna terus saja berkutat pada sebuah rencana pemberontakan.
"Seandainya ada data pendukung untuk mencari informasi," keluh Kresna entah sudah yang ke berapa kali. Kresna lalu memejamkan mata mencoba mengingat barangkali ada sesuatu terlewat dari pemahamannya. Mungkin saja ada petunjuk yang bisa membantu menentukan langkah mana yang harus diambil lebih dulu. Namun, sekali lagi, dahi Kresna berkerut. Dalam hati ia mengumpat bahwa berkas dari BIN ini tidak banyak membantu.
"Mungkin kasus ini sudah pernah diselidiki?" Kresna bermonolog. "Tidak mungkin, kan, kasus sebesar ini baru terendus sekarang? Lagipula, aparat sering berpatroli di sekitar perbatasan, terutama area yang dianggap rawan, kan?" Kresna seperti sedang mengajak udara di sekitarnya untuk berdiskusi.
Beberapa detik ia terdiam lagi, kemudian, "Kalau begitu...." Ia menghentikan jari karena baru mendapatkan ide. Kresna menegakkan punggung lalu mulai menekan barisan keyboard laptop. Ia mencoba mengakses situs BIN. Dengan hati-hati, lelaki pintar tetapi agak sembrono itu menuliskan kode anggota, melewati sistem keamanan standar berupa pemindaian retina dan verifikasi wajah. Setiap anggota BIN memang disediakan fasilitas pendukung, laptop ini salah satunya. Di laptop ini sudah ditanam program khusus sehingga bisa mengakses web milik BIN. Sistem ini juga memiliki penjaga virtual berupa virus yang akan langsung melenyapkan seluruh data dalam kondisi tertentu. Kresna mencoba membaca misi-misi lama dalam bank data, mencari misi yang mungkin berhubungan dengan misi pertamanya.
"Kenapa misi pertama langsung susah begini, sih?" Omel Kresna. Seharusnya, ia diberikan misi yang paling mudah mengingat ini pertama kalinya ia menjalani misi. Bahkan ia baru menjadi mata-mata beberapa bulan yang lalu. Bahkan selama ini ia hanya terkurung di ruang divisi 01 bersama tumpukan misi yang sudah dimanipulasi.
Kresna lembaran kertas dalam catatannya yang sudah penuh dengan coretan tangan. Ia meneliti satu per satu poin penting, sebelum akhirnya kembali fokus dengan layar laptop. Kresna mulai memeriksa misi yang pernah terjadi di sekitar daerah perbatasan Indonesia. Herannya, meski keamanan di daerah tersebut sudah diperketat, tetap saja ada banyak kejahatan terjadi. Kenyataan ini tidak semuanya terendus media, sehingga negara terkesan aman-aman saja.
Ada beberapa misi yang menarik perhatian Kresna. Salah satunya misi tertunda yang terjadi pada awal tahun 2002, belum lama sejak BIN berganti nama. Misi tersebut adalah mengungkap kelompok terduga pemberontak. Hal paling menarik dari misi adalah misi ini berstatus ditangguhkan karena agen yang bertugas mendapatkan misi baru. Padahal, prosedur yang berlaku adalah setiap agen harus menyelesaikan misi sebelum mendapat misi baru. Walaupun hal ini bisa berlaku pada kondisi darurat, semacam ada ancaman serius atau agen ditarik untuk tugas luar biasa. Namun, misi tersebut pasti akan dilimpahkan kepada agen lain, tidak dibiarkan begitu saja.
"Mungkin kelompok ini adalah pemberontak itu?" tanya Kresna entah kepada siapa setelah membaca rincian misi yang tertulis. Disebutkan jika kelompok ini juga memiliki persenjataan mumpuni dan berisi orang-orang terlatih, mirip dengan kelompok asing yang harus Kresna selidiki.
"Tapi kalau mereka pemberontak, kenapa menolong tentara itu? Bukannya mereka harus menutup identitas?" Kresna lagi-lagi bermonolog sambil menyangga dagu dengan tangan kanan. Beruntung ia berada di kamar. Kresna ingat sering mendapat tatapan jengkel dari agen yang bertugas di ruang penyewaan komputer milik divisi 01. Telinga seorang agen memang memiliki tingkat kepekaan lebih tinggi. Kebiasaan Kresna berbicara sendiri dianggap menyebalkan. Pasalnya, suara Kresna sering menyita perhatian mereka. Hal itu dianggap membuyarkan konsentrasi.
Kresna mencatat beberapa poin penting mengenai kelompok pemberontak ini. Berbeda dengan berkas pada umumnya, sistem disini menetapkan keamanan dengan mencegah tindakan pengambilan data. Tidak ada menu untuk mengunduh berkas, bahkan perintah printscreen juga otomatis ter-nonaktif-kan saat jendela web BIN terbuka.
Menutup file mengenai pemberontak, Kresna mencari misi-misi lain yang mungkin berguna. Dengan telaten, ia membaca satu persatu tautan misi, mencari referensi untuk menentukan rencana. Sesekali ia meneguk kopi hitamnya. Omong-omong, ini sudah gelas ketiga, tetapi kantuk masih saja menggoda mata Kresna untuk segera menutup dan terbang ke alam mimpi.
"Ha? Ditangguhkan juga?" Kresna mengernyit sambil membaca ulang apa yang tertulis memastikan ia tak salah baca. Kali ini Kresna menemukan misi yang lebih aneh, yaitu mengenai penyeludupan senjata. Misi ini berstatus ditangguhkan juga. Bedanya, misi ini bertanggal lebih awal. Hanya berbeda 1 bulan dari misi mengenai pemberontakan. Misi ini terasa janggal sebab menurut data, misi ini seharusnya sudah selesai. Tertulis bahwa agen telah berhasil menemukan beberapa orang yang terlibat dalam penyeludupan. Seharusnya, jika sudah sampai tahap sejauh ini, BIN tinggal meminta bantuan dari kepolisian atau TNI untuk menangkap pelaku.
"Misi yang tuntas, tapi kenapa statusnya ditangguhkan?" Kali ini Kresna bertanya-tanya dalam hati. Matanya masih bergerak menjamahi tiap larik dalam data, mencoba mencari alasan misi ini ditangguhkan. Gerakan matanya berhenti ketika membaca satu poin.
Modus penyeludupannya dengan memanfaatkan keamanan perbatasan yang lebih rawan.
"Mungkin memang berhubungan? Kelompok asing ini juga bersenjata," ujar Kresna dengan semangat yang sedikit lebih naik. Modus penyamaran sebagai buruh kelapa sawit atau petugas akan membuat para penyelundup memiliki ruang bebas untuk bergerak. Kresna mengakui jika penyelendup itu menggunakan cara yang cukup cerdik. Aparat memang cenderung tidak terlalu memperhatikan para buruh yang sering berkeliaran. Sementara, masyarakat sipil akan menaruh hormat karena mengira para penyeludup sebagai aparat.
"Tunggu! Bukannya ini terasa familiar?" Kresna membaca misinya sendiri. "Kelompok asing yang menyamar sebagai TNI untuk dijadikan alasan kepemilikan senjata. Jadi...." Dari asumsi tentang pemberontakan, kini pikiran Kresna bercabang lagi sebab merasa metode kamuflase yang dilaporkan dalam misi penyelendupan tadi hampir sama.
"Ah, ini menyebalkan!" gerutunya nelangsa. Ia memukul meja kemudian menandaskan kopi dengan rakus untuk menyalurkan emosi. Hasilnya, Kresna tersedak ampas kopi sehingga membuatnya mengabsen penghuni kebun binatang
"Boleh enggak sih, misi ini ditukar sama yang lebih mudah?" tanya Kresna entah pada siapa. Kresna merasa heran dengan beberapa seniornya. Mereka terlihat santai saja menjalani kehidupan di BIN. Tidak seperti orang yang dituntut untuk bersembunyi atau merasa terbebani. Bahkan ia merasa perempuan yang ada di BIN tidak kalah cantik. Contohnya wanita bersanggul sarang ayam anggota divisi 01 yang ditemui saat pertama kali mengunjungi ruang komputer. Meski hanya sekilas, Kresna yakin jika ada gores kecantikan pada wajah wanita itu.
"Andai bisa milih misi yang gampang aja, atau minimal minta tukar ketika misinya terasa terlalu susah." Kresna menelungkupkan kepala di atas meja. Matanya terasa berat, ternyata bergelas-gelas kopi tidak cukup sukses untuk mengusir kantuk. Ditambah dengan stres dan emosinya yang terkuras karena misi serba membingungkan ini. Sepertinya Kresna butuh tidur untuk kembali meluruskan otak. Ya, ia butuh istirahat sejenak. Bokongnya terasa panas akibat terlalu lama duduk. Punggungnya juga berdenyut ngilu, seolah berteriak untuk segera dipertemukan dengan kasur.
Bergegas, Kresna naik ke pembaringan, mencari posisi nyaman untuk menganyam bulu mata. Mungkin karena kelelahan menguras otak seharian ini, ranjangnya terasa lebih nyaman. Setelah menemukan posisi nyaman, ia melirik jam di nakas.
"Kosong empat titik empat puluh tujuh... A... M.... Setidaknya masih cukup untuk rehat sejenak," ujarnya lalu memejamkan mata. Dua detik kemudian, matanya terbuka lagi.
"A... M... itu at morning, kan, ya?" Kresna menelengkan kepala untuk meluruskan mengkonfirmasi pemikirannya. "Berarti sekarang jam empat pagi?!"
Tak lama kemudian, pintu kamar digedor dengan keras. Kresna hapal siapa pelakunya, orang yang paling hobi membuat Kresna berlari mengelilingi lapangan, pengawas kedisplinan. Sepertinya pagi ini ia akan kembali mendapat bonus jatah olahraga sebagai hadiah karena telat mengikuti bina jasmani yang dimulai jam setengah lima pagi.
"Selamat tinggal bantal. Maaf untuk perjumpaan yang singkat ini. Semoga dalam waktu dekat, kita bisa memadu temu dengan lebih lama." Kresna mendesah nelangsa. Lagipula, mengapa ia malah berkata-kata seperti pujangga? Mungkin otaknya sudah mulai terlalu panas. Semoga saja tidak akan terjadi ledakan karena korsleting.
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro