Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 9: ROTI JEPANG HOKKAIDO

R O T I

J E P A N G

H O K K A I D O

Saat aku sampai di gimnasium, Ganesha, Leon, Kak Vano, dan kepala sekolah sedang berbincang hebat sampai tak menyadari kedatanganku. Barulah ketika aku berdeham, mereka menoleh. Semua spontan memberikan senyum suportif, tak terkecuali Ganesha. Hanya senyuman Leon yang kubalas sepenuh hati.

"Bagus. Sudah lengkap, ya." Leon yang berbicara.

Ibu kepala sekolah menepuk kedua tangannya. "Tidak perlu pedulikan saya di sini. Anggap saja arwah gentayangan. Saya cuma mau liat latihan pertama kalian," ujarnya sambil tersenyum manis. Aku agak terkejut melihat beliau sesantai itu. Biasanya kepala sekolah kami selalu kelihatan tegas dan anti senyum.

"Oke Ganes, Sari. Untuk siang ini, saya dan Vano hanya ingin lihat kemampuan fisik dasar kalian. Yang akan kami nilai adalah daya tahan kalian dan refleks kalian di bawah tekanan."

Secepat kilat, mataku menangkap sebuah benda melesat dari depan. Mataku membelalak. Tak ada angin tak ada hujan, dua panah emas melesat dengan kecepatan tinggi, seolah membuktikan pemaparan Leon. Targetnya kepala kami berdua. Beruntung aku sempat merunduk. Mataku melirik Ganesha, cowok itu juga sudah menggeser posisinya dua langkah ke kiri. Ekspresinya masih santai tanpa emosi.

"Contohnya seperti tadi, ya. Refleks kalian lumayan. Kalian masih bisa menghindar walaupun terdistraksi." Aku tak kuasa menahan senyum ke-geer-anku begitu dipuji Leon.

"Tapi lumayan saja tidak cukup untuk misi pertama," sahut Kak Vano. Kemudian munculah puluhan panah dari segala arah.

"Ayo cepat! Jangan manja!" bentak Leon di sela-sela lariku yang tunggang langgang menghindari anak panah.

"Lemah! Lambat! Mana pantas mewakili Nusantara?! Kalian mau bikin malu sekolah, hah?!" Leon masih membentak-bentak seperti orang kesetanan.

Tuh, kan. Apa kubilang. Prinsip hidup Leon melarang metode setengah-setengah untuk menyiksa siswa didikannya.

"Ganes! Jangan bersembunyi dibalik tiang! Pengecut kamu!" kali ini giliran KakVano yang berteriak.

Sepertinya ke manapun langkah yang kuambil, anak panah tetap bernapsu menyosor wajah dan tubuhku. Dari atas, dari kanan, dari kiri, benar-benar dari semua arah.

"Cuma segitu kemampuan kalian?!"

Anak panahnya berhenti.

Belum sempat aku mengambil napas, dinding gimnasium tiba-tiba berbunyi. Satu demi satu dinding biru tuanya mengeluarkan aneka senjata tajam. Dari mulai pisau hingga bola duri raksasa layaknya pameran persenjataan. Sayang, pameran senjata itu bukan untuk berjualan. Aku yakin semua ditujukan untuk membunuhku.

Tempat duduk berundak gimnasium menghilang, tenggelam ke dalam lantai. Di tempat kursi seharusnya berada, dua buah meriam berdiri dengan gagah. Aku menelan ludah. Di belakang meriam, Leon berdiri dengan senyum tipis. Kedua tangannya memasukkan kotak berisi garpu ke dalam tiap meriam.

BRUK!

Aku menengok waspada. Di belakang kami, bola duri raksasa seukuran lima kali badanku keluar dari dinding dan mulai menggelinding ke arah kami. Tanpa kusadari, lantai kayu di gimnasium pun telah berubah menjadi lantai besi, mempermudah jalannya bola yang juga terbuat dari besi. Kayu yang tersisa hanya empat kotak, tempatku dan Ganes menapakkan kaki.

KLONTANG! KLONTANG!

Aku kembali menoleh ke arah meriam. Bunyi barusan berasal dari garpu yang jatuh. Tetapi bukan itu yang membuat badanku terasa beku. Di atas besi silinder hitam, tangan Leon mengudara dengan sebuah obor menyala. Pria itu mendekatkan apinya ke sumbu meriam.

"Ayo, Sari, Ganes. Yakin kalian masih bisa bertahan tanpa baju pelindung?" tanya Leon.

Bunyi mesin lagi. Kali ini, sebuah tabung seukuran tiga manusia keluar dari lantai dekat Leon berdiri. Di dalamnya, dua buah setelan pelindung besi tergantung rapi. Akan tetapi, tabung kaca itu tertutup, dan aku tau hanya sidik jari Leon yang bisa membukanya.

Bunyi meriam meledak. Ratusan garpu melayang ke arah kami.

Dari arah sebaliknya, bola raksasa masih menggelinding, bersiap melindas kami berdua menjadi adonan nastar.

Aku menarik napas, dalam hati memohon ampun pada Papa karena tidak mengikuti perintahnya untuk pulang.

::: o :::

"Sari? Kamu udah bangun? Dok! Sarinya udah bangun, Dok!"

Aku mengernyit. Silau. Putih. Terlalu terang, kepalaku sakit dibuatnya. Aku berusaha bangun dan memindai sekeliling. Tapi saat bergerak, kepalaku semakin sakit, dunia semakin berputar, memaksaku kembali ambruk. Mataku hanya mendapatkan putih di atas putih, mirip suatu tempat yang pernah kukunjungi untuk menjenguk kaki Raka yang patah karena jatuh dari tebing.

"Sari? Kamu bisa mendengar saya?" Suara wanita. Aku belum pernah dengar suara ini. "Dek Ganes, kamu boleh menunggu diluar. Nanti akan saya kabari kalau sudah selesai."

Aku kembali mengernyit. Apakah aku salah mendengar? Bukan nama Leon yang disebut. Kukira dia yang sedari tadi menungguiku.

"Selamat sore, Sari. Perkenalkan saya dokter Mariam. Apa kamu tau kamu di mana?" Putih. Lantai putih, seprai putih, dinding putih, jas putih. Kalau bukan karena bau etanol, aku akan mengira ini negeri kahyangan.

"Klinik?" Suaraku parau.

"Kamu tau kenapa kamu di sini?" Wanita itu menyinari kedua bola mataku dengan senter.

"Kenapa saya di sini?"

Aku mencoba berpikir. Dahiku berkerut. Ingatanku remang-remang. Aku ingat Ganesha mengetuk pintu kamarku. Kemudian ada panah. Lalu aku mencoba mengambil baju pelindung. Setelah itu apa? Kenapa kepalaku sakit?

"Kamu tadi terbentur. Sekarang perlu istirahat. Nanti saya akan beritahukan guru kamu."

Aku langsung menurut. Mataku terpejam.

Sepersekian detik kemudian, aku mendengar langkah kaki. "Sari?" Suara yang tadi, bukan suara perempuan. "Kamu enggak pusing? Tadi kamu pingsan abis kepentok meriam te-"

Kelopak mataku sontak terangkat. "Kepentok?" tanyaku heran.

"Iya. Aku enggak sengaja nabrak kamu, terus kamu kepental ke belakang. Di belakang ada meriam."

Pantas saja cowok ini yang menungguiku. Aku memandanginya skeptis.

"Awalnya kepala sekolah marah karena tahun lalu enggak pake meriam, eh tapi ujung-ujungnya enggak jadi marah pas Leon jelasin kalau garpunya dari plastik. Garpu metalnya cuma dijatohin beberapa, buat nakut-nakutin."

"Oh."

"Leon bilang aku harusnya enggak tau, dia takut cara latihanku bakal berubah. Katanya, pasti aku cenderung nyari celah, bukan beneran belajar bertahan. Makanya, aku juga harusnya enggak bilang kamu. Tapi menurutku kamu berhak tau."

Aku malas menanggapi. Mataku seolah ditimpa oleh gajah duduk. Pusing masih juga mendera, kepalaku berdenyut-denyut.

"Tidur, Sar. Udah sore. Nanti kubangunin kalau mau makan malam."

::: o :::

Tubuhku terlonjak bangun. Napasku memburu. Sekujur tubuhku panas, juga basah oleh keringat. Aku melihat Papa. Tubuh besarnya tampak mengintimidasi. Dengan mata hijau menyala, dia membentakku sambil menodongkan pistol berburu kesayangannya. "Verdammt! Kannst du nicht sehen? Ich habe dir gesagt du sollst nach Hause kommen! Das ist was passiert wenn du mir nicht zuhörst!" (Dammit! Can't you see? I told you to come home! This is what happens when you don't listen to me!).

Aku bergidik. Makian barusan terasa nyata, memperparah rasa bersalahku. Sudah lebih dari enam bulan aku tidak bertemu orangtuaku. Kelihatannya aku benar-benar ditakdirkan menjadi Sari Kundang.

"Loh, kok udah bangun, Sar?" Mataku melotot ke arah sumber suara. Ganesha berdiri dengan kemeja flanel berwarna merah tua.

"Iya, tadi mimpi buruk," jawabku.

Cowok itu duduk di kursi kosong di samping ranjang. "Mau mandi dulu atau langsung makan?"

"Makan di mana? Sama Leon sama Kak Vano juga?"

Ganesha berdeham. "Enggak. Di ruang makan buat tamu, Sar. Ruang makan yang biasanya kegedean buat berdua."

"Hah?"

Cowok itu mengangkat bahu. "Ya mau makan sama siapa lagi? Kita tinggal berdua. Guru-guru punya ruang makan sendiri. Tapi," Ganesha menarik napas, memberikan jeda, "kalau kamu mau makan sendiri juga enggak apa-apa, sih. Aku bisa minta anter ke kamar kamu."

Aku menggigit bibir, tak bisa membayangkan bagaimana nasib makan malamku. Apa kabar pohon tauge? Harus berapa yang kutanam sekarang ketika aku harus makan malam bersama Ganesha selama sebulan penuh?

"Gimana? Dikit lagi makanannya siap. Kamu tau Leon gimana kalau kita terlambat ke kelas studi kasus."

Sungguh, aku tidak berminat makan dengan Ganesha. Namun, risiko tertidur jauh lebih tinggi kalau aku makan sendirian. Karena aku paham persis bagaimana reaksi Leon terhadap siswa yang terlambat, aku pun mengalah.

"Iya, iya, mandi bentar," jawabku malas sebelum beranjak dari kasur.

Selesai mandi, aku pun mengeringkan diri dengan handuk. Semuanya begitu sempurna sampai aku menyadari adanya noda di handuk yang kukenakan. Alasan mengapa aku selalu dikutuk di depan Ganesha merupakan misteri yang belum terpecahkan. Dulu kentut. Lalu baju terbalik. Sekarang ini. Sebenarnya aku salah apa sih sama dia? Atau jangan-jangan aku punya dosa sama nenek moyangnya? Apakah mungkin Ganesha adalah keturunan cacing tanah yang kumandikan saat SD dulu? Cacingnya emang mati, tapi kan aku tidak sengaja. Maksudku baik loh, supaya cacingnya bersih. Masa iya keturunan cacingnya masih menyimpan dendam sampai sekarang?

Aku mendesah, kesal dengan diri sendiri. Tanganku membentuk kepalan, lalu membenturkannya pada papan kayu berwarna putih. Setelah beberapa ketukan, sosok di balik pintu akhirnya menyahut. "Kenapa, Sar?"

Helaan napas pasrah keluar dari mulutku. Mataku meratapi lantai bernoda di depan kakiku. "Kamu bisa tolong ambilin roti jepang, enggak?" tanyaku lirih.

"Hah?"

Aku mengeraskan suara. "Roti jepang. Bisa tolong ambilin?"

Ada keheningan cukup lama sebelum Ganesha membalas. "Roti jepang? Maksudmu gimana? Hokkaido cheesecake? Bukannya enggak ada di sini, ya? Kamu mau aku pesenin ke dapur?"

Butuh kekuatan luar biasa untuk menahan diri agar tidak membenturkan kepalaku keras-keras ke dinding.

"Pembalut, Nes. Bisa tolong ambilin pembalut?"

Hening lagi. Kemudian, Ganesha pun tertawa kecil. Sedangkan aku setengah mati menahan malu di balik pintu.

"Sebentar, ya," katanya. Aku berdoa dalam hati supaya Ganesha tahu mana popok dan mana pembalut.

Tak lama, akhirnya aku mendengar ketukan dari pintu. Kubuka pintu itu, memberikan celah yang hanya cukup dilewati oleh tangan. Sebelah telapakku menengadah, Ganesha merespons dengan sebungkus plastik. Aku menarik napas lega, bersiap mengucapkan terima kasih.

Sayang, niatan itu hilang begitu cowok itu membuka mulut. "Lain kali roti jepangnya jangan dikasih selai stroberi ya, Sar."

Ha! Dasar titisan setan!

::: o :::

Meski masih menyimpan dendam kesumat, ternyata Ganesha tidak selalu semenyebalkan itu. Makan malam kami dilalui dengan tawa. Begitu menyadari bahwa ayahku seorang Jerman tulen, cowok itu mulai mengajakku berbicara Bahasa Jerman. Katanya, dia dulu ingin sekolah di Jerman, namun mimpi itu sudah dibuang jauh akibat mendaratnya undangan Nusantara di rumah.

Dia bercerita bahwa undangan itu datang bukan karena orang tuanya, tak seperti riwayatku. Nusantara tertarik karena Ganesha berhasil menjadi juara satu Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di bidang karate dan merupakan peraih nilai UN SMP tertinggi di Surabaya di tahun berikutnya. Aku pun memandangi wajahnya skeptis. Ganesha layaknya sosok cowok idaman yang keluar dari fiksi remaja. Kualifikasi atletis dan pintar memang hampir dimiliki semua siswa di sini, tapi tak semuanya mendapatkan wajah seperti Ganesha. Cowok ini membuatku curiga, ketika Tuhan sedang membagi jatah kelebihan dan bakat, mungkin dia menyelak sana-sini sehingga terlalu banyak kelebihan manusia normal dimilikinya.

"Sebelum sekolah di sini, kamu punya cita-cita?"

"Cita-citaku pasaran. Terakhir sih, mau jadi dokter. Dulu alesannya karena dokter itu enak, bisa suntik-suntik orang."

Ganesha mengangguk kecil. "Dulu aku pengen jadi astronot. Aku udah baca syarat di NASA. Harus dari sarjana teknik, sains, atau matematika. Harus punya izin penerbangan, pintar di atas rata-rata, lolos tes fisik level militer. Udah seniat itu. Bahkan dulu aku yakin banget bakal ambil teknik aeronautika waktu kuliah."

"Terus?" Aku memajukan kursiku, penasaran.

"Terus ada surat itu, mungkin isinya sama persis kayak punyamu. Cuma beda nama aja." Mata Ganesha menerawang jauh, senyum tipis masih terukir di bibirnya.

"Kenapa kamu terima tawarannya?" Pertanyaan klasik, selalu kutanyakan ke semua temanku. Untuk kami yang mendapat undangan di sekolah dasar, jawabannya serupa. Keren. Undangannya bagus. Penasaran. Jarang sekali mendapatkan jawaban seperti ingin mengabdi pada negara, panggilan jiwa, mimpi dari kecil, dan sebagainya. Karena Ganesha diundang setelah lulus SMP, aku pun yakin jawabannya sedikit lebih berbobot.

"Standar, kok. Dulu aku mau jadi astronot karena aku pengen orang Indonesia bisa terbang keluar angkasa. Dulu pernah ada. Hampir. Tahun 1986, Doktor Pratiwi Pujilestari Sudarmono. Tapi akhirnya enggak jadi, katanya ada kecelakaan di salah satu pesawat. Sayang banget, kan? Perempuan Asia pertama. Mungkin kalau beliau dulu berhasil, dunia penerbangan luar angkasa di negara kita enggak akan dianggap sebelah mata.

"Nusantara menawarkan hal yang sedikit mirip. Jadi tangan kiri negara. Walaupun aku sebenernya galau berminggu-minggu, akhirnya aku pilih ke sini. Aku tau, kesempataan kayak gini enggak akan datang dua kali. Aku masih mau bantu Indonesia, dan jalur ini lebih realistis buat keluargaku."

"Kamu nyesel?"

Senyuman Ganesha semakin lebar. "Enggak. Kenapa harus nyesel? Nyesel nggak akan bawa kamu kemana-mana. Dunia nggak berhenti buat orang yang nyesel. Satu-satunya yang bisa dilakuin ya, belajar dari penyesalan itu, bukan berenang di dalamnya."

Kedua alisku terangkat.Mungkin Ganesha tidak seratus persen titisan setan. Cowok ini bisabertransformasi jadi Ganesha Teguh. Alasannya bergabung dengan Nusantara bahkanjauh lebih patriotik dari alasanku dulu. "Keren. Udah, yuk. Dikit lagi kelasLeon mulai. Kalo telat, nanti kita dijadiin umpan anjing," timpalku

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro