Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 42: ARTI KEBEBASAN

A R T I

K E B E B A S A N

Satu minggu kemudian.

Angin sore hari menggelitik tengkukku yang bebas. Sejuk, menghilangkan kesan pengap yang biasanya menguasai. Wangi hujan bertebaran di mana-mana, meski langit cerah dan awan hitam sudah pergi. Wangi itu bercampur dengan semerbak bau khas, menghujam indera penciumanku dari segala arah. Kali ini, aku tidak mengernyit seperti biasa. Kakiku melangkah tenang. Tanganku bergerak dengan sendirinya, refleks yang terbentuk dari rutinitas bertahun-tahun. Tuang pakan, isi air, lalu periksa kondisi hewan.

Ayam di Nusantara memang terlalu dimanja. Makan disuapi, mandi dimandiin, rumah dibuatin, bahkan kesehatan pun diberikan dokter langganan khusus, dokter hewan terbaik di kota. Kontras dengan ayam kampung. Mereka harus bekerja membanting tulang untuk mencari makan, bertarung dengan manusia yang mengkonversi tanah menjadi beton dan aspal, mengakibatkan turunnya populasi cacing.

Seandainya bisa melawan, mereka pasti berdemo dengan spanduk bertuliskan Tegakkan Keadilan Untuk Kaum Pemakan Cacing Tanah. Sedangkan ayam-ayam di depanku? Bebas kentut dan berkembang biak hingga beranak-cucu.

"Sar!"

Dahiku berkerut. Apa aku tidak salah dengar?

Ketika berbalik, aku mendapatkan seorang perempuan dengan jaket jins biru dan celana panjang hitam. Rambutnya masih sebahu, persis seperti pertemuan terakhir kami di sini. Yang berbeda justru anak ayam yang kuberikan makan sebelum pergi ke SMAN 116 Jakarta, sekarang mereka sudah besar, kandangnya diisi oleh generasi penerusnya. Dan untuk ayam-ayam yang membuat kami berlarian dulu, mereka sudah dijual, kemungkinan besar menjadi menu di restoran padang.

Betapa waktu cepat berlalu.

"Stella? Kamu ngapain di sini?"

"Ngasih makan ayam, lah? Kan aku harusnya piket sekarang." Dengan peralatannya sendiri, cewek itu memulai ritual pemberian pakan dari kandang seberang. Memang benar, sore ini seharusnya aku piket dengan Stella. Tapi sore ini semestinya piket itu tidak berlaku karena sekolah sudah resmi libur.

"Kok nggak pulang?"

"Aku baru dijemput besok," jawabnya singkat, tanpa mengalihkan perhatian dari deretan ayam-ayam sekolah.

Karena tidak tahu mau bertanya apalagi, aku lantas kembali ke rutinitas. Melihat ayam-ayam betina saling bercengkrama, aku jadi penasaran, akankah mereka mengingat kami, manusia yang setia mengurusi mereka dari telur hingga dewasa? Beberapa hewan punya kecerdasan yang hebat. Gajah misalnya, mereka tak pernah lupa wajah dan dapat mengidentifikasi jenis kelamin, usia, dan etnis manusia berdasarkan suaranya. Atau orangutan, yang ternyata bisa menangis setelah rumah dan keluarganya hilang dibakar pengusaha sawit. Bahkan, aku pernah bertemu anjing pemburu yang selalu setia, bertahun-tahun mengantar turis tak dikenal melewati hutan menuju pantai, meski kakinya pincang karena oknum tak bertanggungjawab. Sudah begitu, anjing itu hanya dibayar dengan mie gelas instan. Rumornya, anjing itu dan almarhum temannya dicelakai karena dianggap menghambat rezeki orang-orang yang bekerja sebagai pemandu turis.

Kadang, aku menyangsikan pembeda derajat manusia. Hewan-hewan cerdas itu seringkali lebih beradab.

"Kamu tumben nggak marah-marah," komentar Stella.

Aku terhenyak. Seingatku, semua ungkapan kekesalanku selalu dinyanyikan dalam hati. Tak mungkin Stella bisa menguping dari sana.

"Emang biasanya marah-marah?"

"Kamu suka ngomelin ayamnya, kata kamu mereka bau."

"Oh. Mungkin sekarang lagi nggak bau." Aku mengangkat bahu. Wangi hujan memang cukup menutupi bau ayam yang biasanya mendominasi.

"Bisa jadi. Mungkin kamu kangen sama baunya." Ah, kalau yang itu rasanya tidak mungkin. Ayam tetaplah berbau ayam, itu takdir. Berbeda dengan manusia yang berbau minyak nyong-nyong, itu pilihan.

"Enggak. Aku kangen liatin idup mereka."

Tawa geli Stella merambat di telingaku. "Kenapa?"

"Mereka tau ujung-ujungnya mereka bakal mati, tapi idup mereka tetep bebas. Bebas makan, bebas tidur, bebas buang kotoran. Pokoknya semuanya bebas. Sedangkan kita? Katanya manusia makhluk bebas, tapi nyatanya kita cuma hidup di dalam penjara pikiran kita sendiri."

"Maksudmu?"

"Ya penjara idealisme, ekspektasi, moralitas, budaya, macem-macem. Buat bahagia aja, manusia nggak bebas. Ada standar yang ditetapin masyarakat. Kamu tau kan maksudku?"

Aku melirik ke nampan besar di tangan. Pakanku sudah habis. Tinggal memberikan minum menggunakan selang.

"Menikah sama pasangan sederajat, punya rumah mewah, mobil mentereng, duit banyak, status kedudukan tinggi? Masih banyak sih, tapi itu standar yang paling umum, kan?"

"Yep. Liat aja, demi standar itu, orang rela ngelakuin apa aja. Berbuat curang, mencuri, membunuh, berkelakuan lebih hina daripada hewan itu sendiri."

"Tapi kalo enggak ada orang bejat, agen intelijen juga enggak ada, Sar."

"Iya. Bukannya enak? Kita jadi bebas."

Stella tak menjawab, sepertinya diskusi kami sudah selesai. Perhatianku sendiri teralihkan oleh seekor ayam yang terlihat sakit. Binatang itu tampak murung, tubuhnya menempel di alas kandang, mirip induk yang mengerami telur. Mulutnya terbuka dan napasnya terengah-engah. Aku langsung mencatat nomor kandangnya dalam hati. Bisa bahaya kalau sekolah mengira aku yang bersalah.

Temanku tiba-tiba berdeham, menyentakkan perhatianku dari ayam pesakitan.

"Tapi tadi kamu bilang, manusia hidup di dalam penjaranya sendiri. Berarti kalau kayak gitu, arti bebas sebenarnya apa dong?"

Pertanyaan Stella menggantung di udara. Sayang, aku belum punya jawabannya.

::: o :::

Kubah melengkung dengan kaca berwarna-warni. Dinding relief dari kayu, ditemani batik dan bermacam piagam serta foto orang-orang penting sepanjang sejarah. Kursi dan meja antik berusia puluhan tahun yang disusun sedemikian rupa. Sebuah piano hitam, duduk anggun di sudut ruangan, menjadi satu-satunya jalan bagi siswa yang hendak menaiki tangga melingkar menuju lantai atas.

Aula utama, ruangan terbesar di gedung Yudistira, masih seperti ingatanku. Mempesona. Enam bulan aku tidak menginjakkan kaki di sini terasa seperti bertahun-tahun lamanya.

Hari ini, aku diberikan izin khusus. Setengah jam, setelah itu tidak diperkenankan adanya komunikasi sampai waktu yang telah ditentukan. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu mau bilang apa. Terlalu banyak pertanyaan yang terpendam. Dulu, ketika kami masih menjalankan ritual pulang bersama dari sekolah, aku tak pernah berusaha mencari jawaban lewat mulutnya. Tak ada alasan untuk mulai sekarang.

Lucunya, setelah malam bersama Inspektur Heru dan Ibu Yohana, rumor mengenai kedekatanku dan Nicholas semakin liar. Orang sering memergoki kami berbisik-bisik, sibuk sendiri seolah dunia milik kami berdua. Seandainya saja mereka tahu apa yang kami diskusikan.

Rasa hormatku perlahan tumbuh. Cowok itu ternyata bisa bersikap sangat kooperatif. Hubungan kami berubah profesional. Perjalanan pulang ke apartemen digunakan untuk memaparkan pencapaian Nicholas dari tugas-tugas yang diberikan aliansi BIN dan BNN. Cowok itu selalu melapor, tanpa harus kucecar dan kupaksa-paksa. Ia meringankan bebanku dalam kontrol berkala yang dilakukan lembaga pemerintah, di mana mereka akan bertanya secara acak padaku atau Nicholas mengenai perkembangan cowok itu — aspek vital yang membuat BIN memintaku untuk menjadi jaminan. Sebagai gantinya, aku pun membantu sesuai kapasitasku, mengajarinya beberapa trik yang kudapat dari Nusantara.

Ketika nilai Ujian Nasional Paket C akhirnya keluar, aku tidak merasa ada beban yang hilang. Malahan, aku merasa senang karena akhirnya cowok itu terbebas dari kewajibannya padaku.

Gema langkahku terdengar di sepanjang lorong kosong. Pintu-pintu hitam dengan kunci elektronik khusus berkedap-kedip. Aku berhenti di salah satu pintu. Kepalan tanganku beradu dengan kayu, bergerak dengan pola, beberapa senti di bawah plang emas bertuliskan SPIONASE 1.

"Tutup matamu, Sari," perintah Leon.

Aku menurut. Tak lama, kurasakan sehelai kain dipasang memutari kepalaku, menutupi mata dan diikat kuat di bagian belakang.

Dalam gelap, aku berjalan tertatih-tatih. Leon membiarkanku memegang lengannya. Tak bisa kubayangkan reaksi Sari yang dulu ketika mendapat kesempatan bergelendotan di lengan Leon yang berotot. Bisa-bisa terkena serangan jantung atau mencret di celana. Meski kadar fangirl-ku sudah turun, berdiri sedekat ini sambil mencium aroma tubuhnya yang maskulin tetap membuat jantungku jumpalitan layaknya penari akrobatik.

Kami berjalan lurus, kemudian Leon menarikku untuk berbelok. Terus seperti itu. Lurus, berbelok, memutar. Guruku berkali-kali berhenti jika ada tangga di depan, mengingatkanku untuk berhati-hati. Aku menggigit bibir, berusaha berkonsentrasi. Dalam hati, aku menghitung banyaknya langkah yang telah kuambil.

Berjalan dalam gelap dan berjalan tanpa mata merupakan dua hal yang berbeda. Meski gelap, refleksku masih lebih baik ketika mataku terbuka. Sedangkan sekarang, refleksku nyaris mati. Kalau bukan karena lengan Leon, aku pasti sudah berpelukan mesra dengan tiang terdekat dan menghasilkan keturunan berupa bukit kemerahan di kening.

"Kamu tau kamu di mana?" tanya Leon.

Alisku bertaut, tak yakin apakah Leon sedang mengetesku atau meledekku.

"Nusantara?"

Tentu saja, guru spionase itu tidak menanggapi jawaban bodohku. Ia hanya memintaku untuk berhati-hati dengan tangga di depan. Setelah perjalanan yang terasa seperti berjam-jam, kami akhirnya berhenti. Leon melepaskan tanganku dari lengannya. Dugaanku, kami berada di bawah tanah. Di suatu tempat yang dirahasiakan dari siswa Sekolah Khusus Nusantara.

Telingaku menangkap suara robotik wanita, kemungkinan dari pengaman elektronik. Aku menunggu, mendengarkan bunyi yang muncul saat Leon menyentuh kode-kode pada di mesin. Kemudian suara kode hilang, digantikan dengan suara pintu otomatis yang terbuka. Kakiku melangkah ke depan, mengikuti sentakan tangan Leon. Setelah beberapa langkah, kami berhenti lagi. Guruku mengulangi ritualnya dengan mesin. Barulah setelah langkahku yang ke-409, ia menarikku untuk belok ke kanan.

Lantas kami berhenti lagi. Leon melepaskan tanganku. Tanganku mendadak dingin, kosong. Guruku menarik simpul di bagian belakang kepala, tanpa sengaja ikut menjambak beberapa helai rambutku. Bibirku terkulum, menahan nyeri. Sepersekian detik kemudian, ikatan hitam di kepalaku akhirnya terlepas. Mataku mengedip cepat, menyesuaikan cahaya yang terang benderang.

Di hadapanku, kaca transparan berbentuk persegi panjang memisahkan Nicholas denganku dan Leon. Kutebak, kaca yang memisahkan kami terlihat berbeda dari dalam, seperti konsep ruangan interogasi di kantor polisi ─ pengamat di luar bisa dengan leluasa memantau tahanan di dalam, sementara si tahanan sama sekali tidak bisa melihat pemandangan di luar.

Dari tempatku berdiri, terlihat ruangan itu terdiri dari semacam dinding putih khusus dengan pola kotak-kotak menonjol. Nicholas duduk menghadap papan tulis putih yang penuh dengan coretan. Ada gambar dan panah ke beberapa kata. Namun dari sekian kata acak yang dituliskan cowok itu, hanya satu yang tampak menonjol.

Nama Garin di tengah, ditulis dengan kapital.

"Tiga puluh menit, Sari. Semua percakapan kalian direkam, jangan lupa. Saya akan mengawasi dari sini," jelas guruku. Jarinya kembali mengetik kode di dinding. Mataku terpaku pada Nicholas. Ketika pintu bergeser, cowok itu langsung berdiri. Tatapan liarnya ditujukan ke arahku, seolah ia bisa melihatku dari balik kaca hitam.

Aku berjalan masuk, meninggalkan Leon yang berdiri di hadapan kunci elektronik, bersiap menutup ulang semua pintu. Langkahku berat, penuh antisipasi. Mata Nicholas sama sekali berbeda, bak seekor burung Hering menunggui mangsanya yang sekarat. Ekspresi yang cowok itu tunjukan begitu asing, seperti orang yang sudah disiksa dan dikhianati dunia, padahal aku baru saja menghabiskan satu semester penuh bersamanya.

"Mereka nggak akan pernah ngelepas gue ya abis ini?" Ucapan pertama dari mulut Nicholas. Bukan sapaan, bukan ledekan.

Awalnya cowok itu memicing, mencari-cari di antara silaunya lampu. Saat tatapannya bertemu denganku, wajahnya berubah tenang. Nicholas kembali duduk, kali ini membelakangi papan tulis.

"Maksudnya?"

Aku memilih duduk di seberang cowok itu. Di dalam ruang kecil persegi ini, semua berwarna putih. Dua kursi, satu papan tulis, kipas putih di dinding, sebuah kasur dengan seprai putih, dan pintu kecil putih yang kuduga mengarah ke kamar mandi. Selain dua pintu tadi, tidak celah sama sekali. Tidak jendela, tidak juga pipa ventilasi. Pantas saja Nicholas tampak berbeda. Aku juga lama-kelamaan akan kehilangan kewarasanku kalau terlalu lama dikurung di ruangan ini

Ruangan ini jelas bukan didesain untuk menyambut teman. Jujur, aku sendiri baru pertama kalinya melihat penjara milik Sekolah Khusus Nusantara. Mendengarnya saja pun baru kemarin.

"Orang-orang lo. Gue bakal selalu dianggep ancaman." Sebagai penekanan, cowok itu mengitari pandangannya ke sekeliling.

Aku mengangkat bahu. "Emangnya kamu bukan musuh?"

Setelah lulus SMA secara diam-diam, Nicholas perlu menyelesaikan tugas khusus dari BIN sebelum bisa bergabung dengan Badan Intelijen Negara. Jika bergabung pun, ia masih akan meneruskan studi di SMAN 116 Jakarta. Setelah absennya Ken selama dua minggu, hilangnya Pak Satria karena harus kuliah di luar negeri, hingga kemungkinan berita kepindahanku semester depan, rumor yang beredar akan semakin tidak terkontrol apabila Nicholas juga ikut pergi. Makanya, durasi tugas kami juga maksimal dua bulan, meminimalisir durasi bolos Nicholas dari sekolahnya.

"Gue cuma mau ngejaga Karen dari bisnis kotor orang tua gue. Gue mau dia punya kesempatan buat punya cita-cita. Enggak kayak gue dan kakak gue."

"Karenina pasti bangga sama kokonya," balasku spontan, terbayang sosok Karenina yang cantik dan mungil dengan lesung pipitnya.

Nicholas tertawa miris. "Lo sendiri?"

Mataku menerawang. Pertanyaan yang sama sudah kuulang berkali-kali. Jawabannya selalu konsisten.

"Aku nggak suka sama kamu. Tapi aku juga berhutang terima kasih. Dari awal, kamu bisa ngelaporin aku ke orang tuamu atau organisasi itu. Tapi kamu diem aja. Kamu juga berusaha kooperatif dua bulan terakhir."

"Kata siapa gue diem aja?"

"Kamu licik dan oportunistik. Tapi kalo kamu lapor, aku nggak bakal ada di sini."

Cowok itu tiba-tiba berdiri. Tangannya menggenggam sebuah spidol. Barang itu melayang di udara, lalu berhenti di permukaan papan tulis.

"Mereka bakal dateng, Sar. Gue emang nggak bilang. Tapi lama-lama bokap gue pasti sadar. Mereka bakal dateng dan mereka bakal tau lo."

Aku memperhatikan cowok itu menuliskan nama lengkapku. Kusilangkan sebelah kakiku ke atas, mengawasi gerak-geriknya. Dilingkarinya namaku dengan garis berbentuk oval. Tak jauh dari situ, sebuah nama organisasi muncul dari goresan tinta spidol di tangannya. Lalu, cowok itu membuat panah yang menempel ke lingkaran berisi namaku. Nama Saritem Widyastuti rusak, ditimpa dengan lambang X besar

"Kalo kamu bukan Nicholas, aku pasti bakal ngira kalo kamu ngasih peringatan buat ngebantu aku." Aku menggelengkan kepala.

Nicholas kembali tertawa. "Sayangnya gue Nicholas, ya? Makanya mereka mau gue gabung."

"Kamu kenapa mau gabung?"

Ah, akhirnya lolos juga pertanyaan perdana dari sekian banyak. Ini salah satu pertanyaan yang paling sering muncul sejak sebulan lalu. Mungkin tebakanku salah. Mungkin lelaki itu akan kembali mengeluarkan tipu dayanya. Mungkin, ruangan putih bersih ini akan mampu meruntuhkan tembok yang dibangun cowok itu di sekeliling kepalanya.

Mungkin, hari ini Nicholas bisa menjawab jujur.

Ia melepaskan spidolnya. Benda silinder itu jatuh, menggelinding hingga menabrak dinding. Masih menghadap papan tulis, telunjuk Nicholas kini mengikuti garis-garis di tengah papan, menyusuri lima huruf besar hingga semuanya terhapus sempurna. Huruf-huruf itu membentuk satu nama.

Garin.

"Yah, iseng-iseng berhadiah. Siapa tau gue ketemu orang yang bunuh kakak gue."

Aku ingat persis, nama Yohanes Garindra Djokomono ada di berkas Operasi Percobaan. Dulu aku tidak memperhatikan, baru sadar saat terjebak di ruangan rahasia Societas Visionaria. Malamnya aku langsung mencari semua berkas legal dan ilegal mengenai anak sulung pasangan Djokomono. Kelahiran 1992, ia merupakan yang tertua dari tiga bersaudara, dan tercepat meninggal di usia 23 tahun. Sebagai salah satu anggota dinasti Djokomono, kasus ini pun sempat ramai di media massa. Dalam berita dikatakan, Garin ditemukan bersimbah darah di kamarnya yang terkunci. Sebuah pisau menancap di lehernya, membuat lelaki itu kehilangan nyawa dengan cepat. Di pisau hanya ada sidik jari Garin.

Alibi keluarga sempurna, orang tuanya tidak di Indonesia karena sedang ada rapat di luar negeri, kedua adiknya berada di sekolah, masing-masing terkonfirmasi oleh guru mereka. Kasusnya tidak janggal, tapi juga tidak masuk akal. Sosok Garin sedang di puncak kesuksesan di kampusnya; nilai sempurna, ketua organisasi, rekam jejak magang di perusahaan multinasional, pacar secantik Nina, semua dia punya. Mengapa juga harus bunuh diri?

Tapi polisi tidak menemukan petunjuk lain. Semua jalan buntu. Akhirnya lelaki itu dinyatakan bunuh diri.

"Bukannya bunuh diri?"

Nicholas berdiri. Bukannya duduk di kursi, ia malah berjalan menghampiriku. Cowok itu berjongkok hingga mata kami berada dalam satu garis.

"Yakin? Lo beneran calon agen intelijen,kan?" tantangnya dengan senyum tipis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro