BAB 4: PERBURUAN PASAR BARU
Batinku bergolak. Haruskah aku ikut mengejar laki-laki itu? Atau malah laki-laki itu bagian dari jebakan? Mataku memindai sekeliling, mencari keberadaan teman-teman yang lain. Tanya tidak terlihat. Yang lain pun juga sudah menghilang.
Akhirnya kuputuskan untuk mengejar. Kakiku mengambil ancang-ancang. Massa yang mengejar lelaki tadi semakin jauh, meski teriakan mereka masih terdengar. Aku berlari untuk kedua kalinya, menjauhi gapura Pasar Baru di belakangku. Jantungku berdegup penuh antisipasi. Naluriku tidak sepenuhnya yakin dengan keputusan ini, tapi sudah terlalu banyak temanku yang masuk ke pasar dan tidak satupun terlihat mengejar lelaki itu. Instingku mengatakan bahwa lelaki mencurigakan itu merupakan petunjuk pertama.
Kupercepat lariku menuju tempat awal Leon memarkirkan van kami tadi. Massa yang awalnya berlari kini bergerombol. Asumsiku mereka sudah menangkap lelaki itu. Aku memperlambat lariku. Dari jarak beberapa meter, mataku menangkap seragam satpam di kerumunan. Sosok itu berbicara dengan woki-toki di tangan. Aku memicingkan mata, memastikan lokasi laki-laki berkaos hitam itu di tengah kerumunan. Tak ada tanda massa sedang menghakiminya.
Barulah, ketika satpam dengan woki-toki tadi berbalik, aku sadar bahwa di tengah kerumunan tersebut tidak ada manusia. Orang yang diteriaki maling tadi hilang, digantikan dengan tas merah mencolok. Aku memperlambat langkahku.
"Iya, maksudnya apa sih maling tas terus dibalikin lagi?"
Keningku berkerut. Jadi itu alasan laki-laki tadi tidak kelihatan.
"Iya. Nggak jelas banget. Kamu baca tulisannya nggak?"
Dorongan untuk menghampiri satpam pembawa tas merah begitu besar. Tetapi tentu saja tak mungkin. Melakukan itu sama saja bunuh diri.
"Oh yang di tas itu? Iya baca. Serem banget isinya cuma tulisan 'Allahuakbar' gitu."
Kerutan di keningku semakin dalam. Segera aku mundur dan menghilang dari kerumunan. Saatnya menyela diskusi di telingaku. Beberapa saat yang lalu, rekan-rekan misiku mendadak heboh karena seorang bocah dengan kaos bertuliskan Nusantara. Namun mereka belum juga mendapat hasil.
"Cabe Merah masuk. Anomali kasus. Ada maling bawa tas lalu tas dilempar ke pengejar. Maling kabur. Bisa dekati gapura masuk dan ibu yang berteriak minta tolong tadi? Juga awasi satpam dengan tas merah, lihat isinya. Ada tulisan berisi seruan agama. Curiga terorisme."
"Cabe Hijau ke gapura. Ganti," balas Tanya.
"Melon melihat target dengan tas."
"Terong berada di dekat korban. Korban duduk di depan toko sambil meminum teh."
"Oke. Cabe Merah mendekati lokasi. Ganti."
Aku mematikan mikrofonku dan mulai berlari. Suara pembicaraan yang intens lewat earpiece menenggelamkan suara derap kakiku.
::: o :::
"Melon masuk. Saya akan konfirmasi dugaan awal Cabe Merah. Ada seruan agama dan tulisan arab di bawahnya. Perbuatan tersangka. Kesimpulan belum dapat dibuat. Target dan korban masih berinteraksi, ganti." Aku segera menyadari maksud target di sini adalah satpam tadi.
Rupanya benar ulah maling tadi. Kemungkinan terbesar, anomali kasus tadi mengarah ke terorisme. Aku hampir bisa membayangkan skenario operasi yang sudah dibuat Leon. Tapi rasanya aneh, tidak mungkin dia membuat skenario yang semudah itu ditebak. Radikalisasi atas nama agama, perang ideologi, genosida dan sebagainya bukan barang baru. Semua termasuk problematika yang sudah mengakar kuat di dunia intelijen.
"Cabe Merah masuk, bisa dengar percakapannya? Ganti."
"Terong bisa. Tunggu tiga menit, ganti."
"Bit masuk. Gimana kalau semua berpencar? Saya rasa akan ada petunjuk lagi, ganti."
"Setuju, ganti."
"Terong masuk. Korban memberikan selembar uang serta kertas kepada target sebagai tanda terima kasih. Massa yang berkerumun di antara keduanya sudah bubar. Korban ingin target melapor polisi. Target menunggu perkembangan situasi, ganti."
Kakiku berjalan tanpa tujuan, menyusuri satu demi satu toko baju dan sepatu. Belum ada petunjuk tambahan setelah maling tadi dan aku masih berharap-harap cemas mengenai petunjuk berikutnya.
Selain berbicara untuk mendiskualifikasi teman-teman yang lain lewat earpiece — akibat melanggar aturan yang Leon sebutkan di awal: no talking with stranger, no making a scene, no staying in one place for more than half an hour — guruku belum bersuara sama sekali. Aku selalu menahan napas tiap suara Leon ditransmisikan lewat earpiece, khawatir mulutnya akan mengucapkan kalimat, "Sari, kamu keluar!"
"Gandum masuk. Ada bendera Nusantara di samping kotak amal masjid. Akan saya inspeksi."
Tak lama kemudian, Gandum kembali bersuara. "Sa temukan surat di dalam. Isinya tiga huruf arab: alif, qaf, dan ra. Kemungkinan kode."
Kakiku tak lagi berjalan tanpa arah. Kini aku melangkah cepat ke arah masjid yang terletak di luar pasar, persisnya di bagian belakang. "Cabe Merah masuk. Ada kitab muslim di dekat surat?" tanyaku sambil melangkah lebar-lebar.
"Banyak kali di lokasi, kenapa? Sa kira masih ada petunjuk tambahan di suratnya. Sa masih coba cari lebih lagi. Tapi ini macam petunjuk asli, ada lambang Saptacatrawingsat di dalam," balas Raka alias Gandum.
Saptacatrawingsat adalah nama angkatanku, secara harfiah berarti angkatan empat puluh tujuh. Sama seperti tahun lalu, petunjuk misi dari sekolah hanya berlaku jika ada lambang masing-masing angkatan yang sedang menjalankan operasi.
"Cabe Merah masuk. Saya menuju lokasi, ganti."
Kakiku melangkah mantap. Perhatianku jatuh pada hamparan hijau di bawah putih gading. Melapisi lantai, menutupi kilat keramik di bawah cahaya lampu. Butuh beberapa saat untuk menemukan sosok Raka. Cowok itu berdiri di belakang salah satu pilar. Rambut jabriknya mencuat ke segala arah mata angin. Dengan celana panjang hitam terkatung dan kaos biru tua, cowok itu membaur hampir sempurna seandainya masjid ini penuh jamaah.
Aku berjalan sampai kami berjarak kurang dari satu meter sebelum menyapa. "Kode satu, Gandum. Arah selatan," bisikku, lebih kepada mikrofon daripada figur yang berdiri di dekatku.
Kode satu adalah kode yang dipakai di sekolah ketika ada kawan mendekat. Tapi tidak termasuk bala bantuan. Kode tiga lah yang digunakan untuk mengabarkan bala bantuan.
Laki-laki asal Sumba itu berbalik badan. Di balik kacamata minus jadi-jadian, cowok itu tampak tenang. "Halo, Cabe."
Menjadi siswa di sekolah mata-mata tidak membuatku buta akan istilah terkini yang digunakan masyarakat Indonesia. Sekolahku punya kelas bahasa yang memberikan sesi khusus untuk istilah populer dan viral yang dirasa cukup penting untuk diketahui. Makanya, aku masih sempat mendengar tentang cabe-cabean dan terong-terongan meski aksesku terhadap internet terbatas ─ penggunaan internet di sekolah terlarang, hanya diberikan pada pelajaran meretas dan pembuatan situs.
Kini, setelah ramainya istilah cabai, aku sedikit menyesal dengan pilihan nama samaranku. Awalnya tanaman itu kupilih karena mewakili kehebatan sejati. Cukup dengan menelan satu atau dua biji, manusia akan terluka lidahnya, kepedesan, bahkan sampai menangis. Kalau nasib kurang mujur, luka di lidah akan merambat sampai ke usus, mengakibatkan fenomena yang diberi nama diare.
Awalnya aku dan Tanya sama-sama memilih cabai demi lelucon pribadi, semacam kode untuk spesies bersaudara. Sayang, sekarang leluconnya sudah tidak lucu. Kami kini bagaikan kembar perempuan genit-nakal yang suka berboncengan naik motor bertiga.
"Kodenya kegampangan enggak sih menurutmu? Aneh."
Raka mengangguk. "Iqra. Baca. Sa temukan enam kitab agama Islam di lemari. Tadi sa lihat halaman dari awal. Satu kertas sa temukan di di tiap surat Al Alaq. Nih, coba kau lihat sendiri." Raka menyodorkan enam carik kertas. Kuperhatikan ada cap Saptacatrawingsat di tiap ujung kanan atas.
Bola mataku bergerak-gerak mengamati isi kertas satu demi satu. Kertas yang diberikan Raka ternyata adalah sobekan koran. Setiap kertas berisi potongan dari paragraf. Ada tinta stabilo di dua huruf dan atau angka secara acak pada tiap kertas, total ada dua belas karakter yang ditandai stabilo yaitu; l, 1, a, 7, b, d, r, 2, e, t, h, l.
"Udah kepikiran gimana cara bacanya?"
"Belum eh. Tapi sa perhatikan pola stabilo mirip, satu di atas, satu di bawah. Mungkin kitong bisa mulai dari sana, eh?
Kuamati lagi kertas-kertas itu. Benar yang Raka bilang. Ada pola stabilo. Sekarang tinggal bagaimana urutan membacanya.
a b r l e h
7 d 2 l t
Pilihan huruf acak di kertas membuat keningku berkerut. Mataku kembali memeriksa sekeliling. Pasti ada petunjuk lain. "Udah coba baca tiap paragrafnya? Ada tanggalnya enggak?" tanyaku pada Raka.
"Nampaknya acak, Be. Sa baca tadi isinya kesehatan, politik, selebritis. Sa kira isinya tak penting."
Aku pun mencoba membaca satu demi satu sobekan kertas yang menurut Raka isinya tidak penting. Setelah membaca beberapa kali, aku dengan berat menyetujui pendapat Raka. Paragraf tidak saling bersambung, mengesankan susunan yang dipilih acak. Apapun yang kucari di sini, sudah pasti berdasarkan standar yang ditetapkan Leon: tidak mudah.
Aku mencoba lagi. Kali ini memperhatikan huruf-huruf penyusunnya. Di awal, aku punya huruf a, b, J, o, A, m. Sedangkan di akhir terdapat huruf n, t, R, s, (.), n. Susunan huruf di awal belum terlihat seperti pesan rahasia. Namun susunan huruf yang di akhir, entah mengapa terlihat akrab.
"Gandum, coba liat huruf terakhir dari tiap paragraf. Gimana menurutmu?"
Aku menyodorkan enam carik kertas ke Raka.
"Hmm. N, n, r, s, t, titik?" Raka menautkan kedua alisnya.
"Sebentar, n-n-r-s-t kedengeran familiar, ya?" Aku bertanya balik.
"Mungkin . . . n-s-n-t-r? Kau lihat ada titik di sana, kan? N-S-N-T-R."
Oh, aku paham.
"Nusantara?" Senyumku merekah begitu menyadari maksud Raka.
"Ya. Mari kita susun dari huruf belakang."
Aku membantu Raka memegangi tiga kertas terakhir. Kami menjejerkan potongan-potongan koran itu di tangan kami.
h e r b a l
l t 2 d 7 1
n s n t r .
"Lantai 2 D71?"
"Mungkin."
"Tapi maksud herbal apa? Nusantara?" Aku kembali bertanya.
"Belum tau. Ko mau ke sana? Atau kitong lapor dulu?"
Aku menekan tombol mikrofon yang terpasang di telingaku.
"Cabe Merah masuk. Menemukan kode di dalam kitab muslim. Herbal Lt. 2 D71 Nusantara, titik. Ganti."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro