Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 38: PUTRI PALING CANTIK

P U T R I

P A L I N G

C A N T I K

Gelap. Sumber penerangan berupa secercah cahaya hanya bisa mengintip dari tirai yang dibuka sebagian. Tak seperti biasanya, cahaya ponsel ikut padam. Atmosfer di ruangan kecil ini begitu tegang, masing-masing pemain serius memerhatikan drama yang sedang berlangsung. Mengamati, menunggu, dan mengawasi.

"Slave in the magic mirror come from the farthest space through wind and darkness, I summon thee." Kulihat Udin menekan tombol di laptop. Suara angin terdengar kencang dari pengeras suara. Rifky berjalan naik ke panggung, sebuah properti berbentuk oval tergantung di lehernya.

"Speak!" perintah Nina.

"What wouldst thou know, my queen?" jawab Rifky dari balik gabus oval raksasa.

"Magic mirror on the wall, who is the fairest one of all?"

Adegan ikonis ini kesukaanku. Sejak kelompokku memutuskan untuk memerankan Snow White, aku sangat bersemangat untuk berperan sebagai ratu. Jahat, punya obsesi yang tidak sehat, banyak akal dan boleh tertawa histeris psikopatik khas antagonis di cerita dongeng. Semua komponen yang menurutku hebat. Sayangnya, semua anggota kecuali aku dan Nina sepakat bahwa Nina terlalu hitam untuk memainkan Snow White. Sehingga peran itu dilungsurkan padaku. Tadinya aku mau mengusulkan perubahan nama menjadi Snow Black, tapi mengurungkan niat karena terdengar menghina. Akibatnya aku harus menerima keputusan mutlak untuk berperan sebagai putri kerajaan yang cantik, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung.

Karakteristik yang aku banget. Kurang seru, tidak seperti sedang akting.

"Fames is thy beauty, Majesty. But hold," Rifky berhenti dan menarik napas, memberikan efek dramatis, "a lovely maid I see. Rags cannot hide her gentle grace. Alas, she is more fair than thee."

"Alas for her! Reveal her name," perintah Nina, suaranya meninggi.

"Lips red as the rose. Hair black as ebony. Skin white as snow."

Nina menggeram, kesal."Snow White!"

Mataku mengikuti interaksi Nina dengan properti cermin gabus yang kami buat. Suasana kondusif, penonton hening dan tampak terpaku. Tiada suara bisik tetangga, hanya sesekali tawa menggema bersamaan. Lampu-lampu di atas kursi berundak sengaja dimatikan. Harus kuakui, untuk ukuran sekolah negeri, drama hari ini cukup menjanjikan. Pak Satria meminjamkan auditorium sekolah khusus untuk ujian hari ini.

"Sssh!" Aku menoleh, merasakan tekanan di bahu kanan. Ternyata Sasa. Saatnya aku masuk ke panggung, kodenya dengan kepala. Aku mengangguk, ikut mengkode dengan kepala. Selama lima adegan ke depan, aku dan gaun putihku yang harus mengisi panggung.

"Magic mirror on the wall, who now is the fairest one of all?" tanya Nina lagi, persis setelah adeganku pembunuhanku dan Udin menyerahkan kresek hitam berisi jantung palsu.

"Over the seven jewelled hills, beyond the seventh fall, in the cottage of the seven dwarfs, dwells Snow White, fairest one of all."

"Snow White lies dead in the forest! The huntsman has brought me proof." Sang Ratu mengangkat plastiknya lebih tinggi, kini tepat di depan wajahnya. "Behold, her heart." Ia kemudian tertawa puas. Aku tak kuasa menahan senyumku. Jelas-jelas cewek ini menikmati peran sebagai ratu gila yang senang membunuh anak tirinya.

"Snow white still lives, the fairest in the land. 'Tis the heart of a pig you hold in your hand," jawab Rifky dengan santai.

Nina berteriak. Cewek itu lantas mengintip isi plastik yang digenggamnya. "The heart of pig?! Then I have been tricked!"

Adegan kembali berganti. Aku bertukar posisi dengan Nina. Para kurcaci mengikuti tak lama kemudian. Secara garis besar, aku terkesan dengan kemampuan kelompokku. Mereka dengan berani memilih naskah dengan susunan Bahasa Inggris kuno. Kata kamu diubah menjadi thy, thou, thee dan bukan you. Susunan kata terbalik. Kalau menghapalkan drama menggunakan Bahasa Inggris saja sudah susah, yang ini lebih susah lagi.

"So beautiful even in death, that the dwarfs could not find it in their hearts to bury her, they fashioned a coffin of glass and gold and kept eternal vigil at her side. The Prince, who had searched far and wide, heard of the maiden who slept in the glass coffin." Suara Udin si narator. Layar proyektor menampilkan bagian dalam rumah kurcaci.

Akhirnya sampai juga kami di penghujung cerita. Kembali ke adegan ikonis berikutnya, kali ini giliran Snow White dan pangeran tampannya. Aku menutup mata, menunggu di atas meja berlapis kain putih, berpura-pura mati. Adegan ini, meski terkenal, sebaliknya adalah adegan yang paling aku benci. Klise dan tidak mendidik. Pangeran tampan bagaikan dewa yang bisa menghilangkan semua permasalahan. Satu ciuman dari orang yang tak dikenal bisa menyelamatkan seluruh negeri. Itu pangeran apa dukun? Kalau dukun, harusnya sekalian disembur saja, tidak usahlah pakai cium-cium segala.

"Uhuy!" Berdasarkan riuhnya sorak-sorai yang tiba-tiba muncul dari sisi penonton, kutebak wajah Nicholas kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.

"Nyosor terus awas nabrak!"

"Cieee Nicho!

Mataku terbuka lebar saat merasakan sesuatu yang hangat menempel di kening. Aku menatap nanar sosok yang tersenyum di atasku.

"The game is on, Sar," bisiknya.

Teriakan di sampingku semakin ramai, sejalan dengan amarah yang semakin membakar tubuhku. Tanganku mengepal. Nicholas kurang ajar. Ia melanggar privasiku dan kesepakatan kami. Dari awal, semua sepakat bahwa tidak perlu ada adegan cium betulan antara Snow White dan pangeran.

"NOOOOOO!" teriak Nina. Tidak perlu menoleh, aku tahu bahwa cewek itu sedang menjambak rambutnya dan berpura-pura pingsan.

Nicholas menawarkan tangannya padaku. Dengan berat hati, aku pun menerima tangannya dan beranjak duduk. Meski yang ingin kulakukan sebenarnya adalah melayangkan tangan itu ke pipinya. Dengan keras. Biar ramai sekalian.

Lagu Some Day My Prince Will Come mengiringi tarian kami. Aku berdansa dengan Nicholas, berdoa dalam hati agar lagu sial ini lekas selesai. Pandanganku terpaku pada kancing kemejanya, setengah mati menahan diri untuk tidak melihat wajah cowok itu. Ketika lagu penutup akhirnya selesai, aku langsung melepaskan diri. Penonton bertepuk tangan dengan meriah. Beberapa berdiri, termasuk Ganesha. Aku memberikan senyum terbaikku, melirik aba-aba Nina untuk membungkuk bersamaan. Setelah selesai, kami pun berjalan kembali ke belakang panggung. Sasa dan Udin tertawa, sementara teman kelompokku yang lain mengobrol dengan seru.

"You agreed not to kiss me, you prick," desisku saat mendapatkan Nicholas berjalan di sampingku.

Cowok membalas tatapan garangku dengan mengedikkan bahu. "Sorry. I got carried away. Nice play, by the way."

::: o :::

Aku memijat pelipisku. Jam dinding terus berdetak, satu-satunya suara yang menyertai meditasi yang kulakukan sejak sore hari tadi.  Iya, iya. Ngelamun. Bukan meditasi.

Aku gelisah. Besok Ganesha pulang. Kudengar, alibi yang akan dipilih adalah beasiswa. Ganesha harus terbang ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah. Pihak SMAN 116 Jakarta rupanya tidak akan keberatan karena mereka yang meminta Pak Satria untuk mengisi kursi kosong. Plus, sudah ada surat perjanjian yang menyatakan masa kontrak tiga bulan, bukan enam bulan.

Tebakanku, surat perjanjian itu sudah ditandatangani sejak tiga bulan yang lalu meski nyatanya baru dibuat kemarin. Tebakanku juga, berita kepindahan Pak Satria tidak akan menggemparkan siswa-siswi di SMAN 116. Belum.

Di tengah kegelisahanku, layar ponselku berbunyi. Hanya ada satu orang yang mau repot-repot memblokir nomornya sendiri. Tak apa, yang penting tepat waktu, hanya lewat satu menit.

"Pariraksaka?" sapaku.

"Kapan kamu mau kirim berkasnya?" tanya suara yang familiar.

Aku mengernyit. Nada suara di ujung sana layaknya predator yang tengah mengintai mangsa. Tenang, namun siap menerkam. Pada kondisi normal, nada semacam ini dipadu dengan suara bariton khas dari sosok sehebat penelepon pasti membuatku meringkuk ketakutan. Tetapi hari ini bukan hari normalku. Sebelum konfrontasi di rumah Nicholas, rencana untuk menawarkan perlindungan ke cowok itu dan adiknya sudah merupakan prioritas utama. Sekali lagi, aku bukan idiot. Amat ceroboh apabila aku membiarkan orang sejenis Nicholas menjadi musuh. Lagi pula, tidak ada salahnya menebarkan pertolongan kepada penguasa. Utang budi adalah investasi yang mahal. Aku juga yakin, mengawasi Nicholas akan lebih aman daripada membiarkannya menyusun rencana di dalam penjara.

"Saya udah janji," balasku, mencoba peruntunganku yang semakin tipis.

"For God's sake, Sari! It is not our place to give them such promises. We cannot-"

"You can. You just don't want to," potongku.

Suara itu berhenti. Aku menggigit bibir. Mataku menyapu sekeliling, mencari penyusup yang bersembunyi. Siapa tahu mereka sedang memantauku, siap sedia membungkus dan membawaku pulang. Hanya butuh satu aba-aba dari Leon, tamatlah sudah riwayatku. Aku memelototi tirai abu-abu yang melapisi jendela, mencari tanda-tanda kehidupan.

"You're not gonna drop this, are you?"

Aku diam. Jawabanku tidak akan berarti banyak. Mataku kembali melacak tanda-tanda penyusup. Setelah yakin negatif, aku berdiri dan berjalan ke kamar. Tampaknya komplotan itu terbatas di khayalanku. Yang nyata hanya suara Leon dan suasana mencekam yang kurasakan sebagai akibat negosiasi alot dari kemarin malam. Ralat, bukan alot. Menyeramkan. Membuat guruku yang itu marah sama saja seperti mengundang malaikat pencabut nyawa main ke rumah. Jangankan membayangkan ekspresi Leon, membayangkan wajah tampannya pun aku tidak berani

"Fine. Send me the files. I'll see what I can do," pungkasnya.

Aku mengangguk dengan antusias. "I will send it right away. Thank you, sir."

"Sympathy will be the death of you," tegurnya sebelum mematikan telepon.

::: o :::

Dua hari kemudian.

Sepertinya pagi ini matahari sedang bersemangat melaksanakan tugasnya. Keringat mengalir deras dari kedua pelipisku. Kakiku berdiri dengan tertib mengikuti barisan. Telingaku tak henti-hentinya mendengarkan komentar-komentar usil warga SMAN 116 Jakarta. Namun dari sekian banyak obrolan simpang siur di antara manusia berseragam putih-abu, tentu saja yang paling menarik adalah obrolan mengenai orang tua Nicholas.

Rupanya media massa Indonesia akhir pekan kemarin cukup heboh memberitakan pasangan taipan bisnis yang diduga melanggar berlapis-lapis pasal 111, 112, 113, 127, 129 mengenai narkotika. Aku pun tak sanggup melarang kakiku untuk mengejar sosok Nicholas sesaat setelah upacara selesai. Sebab, ramainya berita penangkapan itu secara tidak langsung merupakan perbuatanku.

"You okay, Nic?" Aku menepuk bahunya. Cowok itu menengok ke arahku sekilas sebelum kembali memusatkan pandangannya ke kerumunan siswa yang tengah membubarkan diri di depan. Kami berjalan beriringan. Bagi orang yang tidak mendengarkan percakapanku dengan Nicholas di ruang kerja ayahnya, interaksi kami terlihat seperti dua teman akrab. Untuk geng cewek tukang gosip, mungkin mereka mengira kami sedang menguji nasib dalam sayembara pencarian jodoh.

"Never been better." Kuamati sudut mulut Nicholas bergerak naik membentuk senyuman, lalu turun hampir sama cepatnya. Dasar pembohong.

Kakiku mengikuti derap langkah lebar Nicholas. Cowok itu masih memandang ke depan, sesekali melemparkan senyum kepada siswa yang cukup berani untuk menangkap tatapannya. Benar-benar topeng yang luar biasa. Orang tuanya ditahan polisi dan menjadi bahan perbincangan satu sekolah, tapi cowok itu masih terlihat percaya diri seperti biasanya.

"How is Ken?" Aku memelankan suaraku. Kerumunan di sekeliling kami mulai bubar.

Bukannya mengambil tangga yang naik ke atas, Nicholas justru menjejakan kakinya melalui tangga kecil menuju kantin belakang. Penasaran, aku pun mengikutinya duduk di salah satu meja panjang kantin. Lima menit yang kuhabiskan di kursi ini akan membuatku secara resmi terlambat menghadiri kelas Geografi.

"He's good. He deserves it, you know?"

Keranu sudah absen dari hari Rabu. Cowok itu bahkan sudah tidak ada di sekolah sebelum aku pergi menyusup ke perusahaan Djokomono. Menurut kabar yang beredar di sekolah, cowok itu izin pergi keluar negeri untuk acara keluarga. Sedangkan menurut kabar yang kudapat hasil meretas ponsel Nicholas, cowok itu tengah menghadapi sidang di pengadilan.

"Deserve what exactly?" Alisku bertaut.

Nicholas kembali tersenyum. Kali ini tampak geli. "Don't play dumb. You're not dumb. We both know it."

"Excuse me?" Suaraku meninggi tanpa sadar.

Nicholas masih menatapku dengan senyum sombongnya. "You were there. You listened to his crying," jelasnya, mengembalikan ingatanku mengenai percakapan mereka di gudang.

Aku menahan sumpah serapah yang mendadak memenuhi kepala. Tanganku terkepal. Mataku secara otomatis menyapu deretan meja dan toko di sekeliling kami, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan. Bahkan, rasa terkejut itu memblokir tanggapanku terhadap pernyataan jahat yang ia lontarkan mengenai sahabatnya sendiri.

"Kok bisa?" bisikku.

"Bukan cuma kamu yang punya alat canggih."

Mataku membulat. "Di mana?"

"Sepatu. Dari mulai seminggu sebelum bunga mawar pertama. Emang menurut kamu aku dapet alamat apartemenmu dari mana?"

Aku belum pernah merasakan desakan sekuat ini untuk menghapus senyum angkuh seseorang dengan tanganku sendiri. "Ada berapa banyak pelacak?"

Sepanjang aku hidup, belum pernah aku merasa sedungu ini. Tentu saja ada di sepatu. Aku selalu memakai sepatu hitam yang sama ke sekolah. Dan sepatu itu belum pernah aku cuci. Ada begitu banyak kesempatan bagi cowok itu untuk menyelipkan alat pelacak ke dalam. Dugaanku, Nicholas memasukkan alatnya saat kami sedang latihan drama di rumahnya, tempat di mana ia bisa berkeliaran tanpa menimbulkan kecurigaan. Ternyata aku terlalu meremehkan kemampuan cowok itu. Lagi dan lagi. Kesalahan yang jelas tidak akan kulakukan seandainya dari awal Nusantara memberikan informasi yang cukup mengenai Societas Visionaria.

"Satu aja, kok. Aku mau lihat respons kamu, seberapa lama kamu sadar. Taunya kamu enggak pernah sadar. Kamu yakin kan kamu enggak bego?" Sebelum mulutku sempat merespon, tanganku sudah melayang ke wajah Nicholas. Bunyinya terdengar nyaring di tengah lengangnya kantin. Keras dan memuaskan, meski telapakku terasa panas dan berwarna semerah pipi cowok itu.

"That's for kissing me without consent."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro