Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 36: BERADU BODOH

B E R A D U

B O D O H

"Tadi udah bagus, sih. Nanti dihapalin lagi teksnya, ya. Latian terakhir, nih."

Pendingin ruangan dengan suhu delapan belas derajat selsius tak kuasa membendung keringat yang bergerumul. Tetesannya berselancar perlahan dari dahi hingga jatuh ke karpet bermotif etnik. Aku mengelapnya kasar dengan lengan kemeja, menunggu aba-aba Nina selanjutnya. Dari semua pemain drama Snow White, Nina seolah paling semangat berperan ganda. Hilir berganti dari ibu tiri jahat menjadi sutradara yang banyak maunya.

"Mau ngulang lagi?" tanya Udin.

Aku mendengar erangan kompak pemain lain. Padahal, bukan mereka yang punya naskah paling panjang. Pun bukan pula mereka yang harus siap sedia dari adegan awal sampai akhir. Ambisi Nina yang diamini oleh seluruh anggota kelompok merupakan akibat dari janji Pak Satria untuk mentraktir kelompok terbaik di salah satu restoran all you can eat ternama.

"Enggak, ah! Makan dulu, yuk!

"Iya ayo makan! Gue laper banget."

Mendengar kata makan, perutku bergejolak. Bukan karena lapar, justru sebaliknya. Membayangkan makanan membuatku mual. Ditambah lagi, kepalaku belum berhenti berteriak, menuntut haknya untuk diistirahatkan. Semua merupakan buntut dari kegiatan bersih-bersih warna kulit yang menghabiskan dua pertiga malamku. Kemudian, kafein dan rasa penasaran seakan bersekongkol untuk menjerumuskanku ke bagian terlarang dari Deep Web. Belum selesai membaca mengenai Societas Visionaria, alarm di ponselku sudah berbunyi, menandakan waktu untuk mandi.

"Mau pesen apa?"

Meski bukan rekor terlamaku, hari ini mungkin edisi begadangku yang paling melelahkan. Terlalu banyak energi yang dikeluarkan dalam tiga puluh enam jam terakhir. Jam di dinding rumah Nicholas baru menunjuk angka lima, tapi tubuhku rasanya sudah terbang melayang entah ke negeri mana.

"McD?"

"Bosen, ah."

"Yoshinoya?"

"PHD aja."

Dan terus begitu percakapan mereka sampai jatuh di pilihan awal. Aku menekan dorongan untuk menguap, efeknya malah jadi terbatuk-batuk. Begitu sibuknya pemain Snow White memilih menu di aplikasi ojek daring, tak satupun menyadari suara batukku yang mirip pasien penyakit kronis. Hanya Salsha yang menoleh ke arahku.

"Kenapa, Va?"

"Nah, I'm good. Aku ke kamar mandi dulu, ya."

Kubuka salah satu tas ransel yang tersusun di sofa ruang tamu Nicholas. Tanganku menjelajah di antara tumpukan buku, mengambil ponsel dan beberapa barang yang kuperlukan. Lantas kumasukkan barang-barang tersebut ke dalam kantong rok abu-abu yang belum kuganti dari tadi pagi. Sambil mengikat rambut, aku berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di dalam, perutku kembali berulah. Aku bergegas membuka tutup kloset, mengeluarkan sisa-sisa cairan kafein dengan paksa. Refleks ekspulsi dari lambungku baru berhenti ketika akhirnya aku memuntahkan cairan bening kekuningan yang pahit.

Setelah selesai, aku berkumur dan memperhatikan refleksiku lewat cermin. Rasa lelah yang melandaku tertutupi oleh taburan bedak dan bahan kimia lain yang melapisi wajah. Garis hitam dan kantong mataku juga tak kasat mata. Hanya senyumku yang terlihat sedikit berbeda. Kurang ikhlas, tidak mirip senyum pasta gigi yang umumnya kuberikan kepada semua orang.

Aku menggosok mataku dengan kasar, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang ada. Kubuka kembali ponselku, memastikan baterainya cukup. Sesudah satu tarikan napas dalam, aku keluar dari kamar mandi dan berjalan ke belakang. Tak lama, kakiku mulai menjajaki tangga memutar dari besi yang terletak di bagian belakang rumah Nicholas. Aku berjinjit, berhati-hati agar tak menimbulkan suara sepercikpun.

Ruang kerja ayah Nicholas ada di ujung yang lain dari rumah. Denahnya sudah kubedah kemarin. Harusnya aku punya cukup waktu sebelum mereka menyadari kepergianku. Toh perhatian mereka semua juga sudah teralihkan oleh rasa lapar dan makanan diskonan.

Sesampainya di depan pintu, aku pun mengeluarkan kunci yang kupakai di gedung perusahaan kemarin. Pintu terbuka nyaris tanpa suara. Mataku dengan cepat menyusuri jejeran rak berisi buku dan map serta sebuah meja hitam berisi tumpukan kertas. Satu hal yang paling kusuka dari rumah Nicholas yang ini: tidak banyak CCTV di dalam rumah. Kamera pengawas terbatas pada ruang tamu, garasi dan dapur.

Aku menutup pintu dan memulai pencarianku akan sebuah simbol dengan satu mata di tengahnya. Meski lelah, mataku terbuka lebar, diambil alih oleh pacuan adrenali yang memaksaku untuk berlomba dengan waktu. Tanganku bergerak secepat yang kubisa, menyortir dokumen demi dokumen sambil berusaha untuk mengabaikan bunyi nyaring di ruangan. Orang tua Nicholas pergi berbisnis entah di kota apa, seharusnya tak akan ada yang menggangguku.

"Va, kamu mau pesen apa? Tadi aku nyari kamu di kamar mandi nggak ketemu. Kamu nyasar?"

Tanganku berhenti. Suhu tubuhku seakan turun drastis, mendekati dinginnya bunga es di dalam kulkas. Perlahan, kugerakkan kepalaku ke arah pintu. Nicholas berdiri sambil bersandar, kedua tangannya tersembunyi di balik kantong celana.

Aku mengembalikan map yang tengah kupegang ke tempatnya. Kedua alisku terangkat. "Don't play dumb. You're not dumb. We both know it."

Cowok itu tertawa sebelum mengunci pintu.

"Look who's actually dumb here."

Tanganku mengepal kuat, begitu kuatnya hingga bisa merasakan tajamnya kuku menusuk dan melukai telapak tangan. Genggamanku semakin keras ketika Nicholas berjalan dengan santai melaluiku dan duduk di atas kursi kerja orang tuanya. Senyumnya begitu pongah, memancing kepalan tangan kananku untuk mampir ke wajah tampannya.

"What do you want?" tanyaku, mengamati gerak-geriknya dengan teliti.

Aku mempertahankan ekspresiku, menyembunyikan kekalutan yang bergejolak di dada. Otakku berpikir cepat. Senjata yang dapat diandalkan hanya kemampuan bela diri. Mataku memindai ruangan persegi yang dipenuhi berkas dan bingkai kaca. Ada tiga jalan keluar, satu pintu yang dikunci tadi, dua jendela di bagian atas dinding.

"Oh? Are you sure you're not asking my question?" Cowok itu duduk bersandar pada bantalan hitam di kursi. Satu kakinya terangkat ke atas. "We only have five minutes before everyone starts looking for Snow White and the prince charming. Friendly reminder."

Aku menggertakkan gigi. Cowok ini jelas berasumsi bahwa dia adalah pemenang di antara kami berdua.

"Kamu siapa?"

"Abraham Nicholas Djokomono. Bukannya kamu udah tau, Sari?"

Ah, kamu mau main Nicholas? Boleh, aku tidak takut. Kita lihat siapa pemenangnya hari ini.

"Surprise me," tantangku, melipat kedua tanganku di dada. Kutempelkan punggungku ke dinding, mengimitasi postur santai cowok itu.

Mendengar tantangan tersebut, senyum Nicholas semakin lebar.

"Saritem Widyastuti. Berlin, 25 Januari 1998. Anak dari pasangan Dahlia dan Hans Bauersfeld. Satu adik perempuan, satu laki-laki. Mengenyam pendidikan di sekolah swasta di Jakarta sampai kelas 6 SD. Juara olimpiade nasional. Datamu hilang sejak saat itu, asumsiku kamu masuk ke sebuah kedinasan yang dilindungi pemerintah? Cuma ada satu kedinasan yang menerima anak semuda itu."

Bibirku membalas senyumannya. Kepalaku mengangguk beberapa kali. Sejujurnya, aku tidak kaget. Dari beberapa tersangka pengirim bunga, Nicholas memang kandidat yang paling kuat. Irama jantungku yang berantakan dan rasa nyeri luar biasa pada lambung cenderung mengindikasikan perasaan panik dan tertekan, bukan karena terkejut.

"Not bad. Kamu tau dari mana?" tanyaku lagi, meski sudah memiliki beberapa jawaban di kepala.

"Has it ever crossed your mind that my family has private investigator? Sejak kamu minta liat transaksi Ken, aku kirim fotomu ke PI. Awalnya biasa aja. Gratcheva Alexandra, Arizona, WNA."

"Aaah, I see. Terus gimana?"

Aku berusaha menyusun strategi. Bahaya utama yang kuhadapi bukan ruangan ini. Aku sadar Nicholas tidak mungkin melakukan apapun selama teman-teman kami masih menunggu di bawah. Dan dengan saksi sebanyak itu, aku ragu dia terpikir untuk mencelakaiku. Yang aku khawatirkan adalah reaksinya setelah semua kru drama Snow White bubar. Terutama kemungkinan langkah yang akan ia ambil terkait organisasi yang baru saja aku dan Ganesha temukan.

"Ada satu berita di koran lama, masuk ke website sekolahmu. Cewek, namanya Saritem Widyastuti. Wajahnya mirip dan umurnya sama kayak Gratcheva. Aku minta PI-ku buat cari tentang Saritem. Cuma itu yang dia dapet."

Aku kembali ber-ooh ria. Menurut adikku, foto yang Nicholas deskripsikan masih terpajang di bingkai sekolah. Sebenarnya tidak masalah, karena toh agak jarang juga yang mau mencoba melacakku ke gedung sekolah dasar. Tapi foto di situs sekolah, itu aku baru dengar. Kalau pulang ke Nusantara nanti, aku harus lapor mengenai hal ini. Bahkan mungkin aku perlu berterima kasih kepada Nicholas karena sudah mengingatkanku akan celah perlindungan terhadap privasiku.

"Kamu yang kirim bunga?" Lagi-lagi aku bertanya. Kini lebih karena penasaran, bukan untuk konfirmasi. Aku tahu yang kulihat di ponsel Nina adalah bukti yang cukup kuat. Cewek itu sebatas pion bagi kedua orang tuanya, tidak ada sangkut pautnya denganku, perusahaan Pak Adhi, maupun Societas Visionaria. Berkas yang ia curi pun hanya berisi transaksi keuangan ilegal antara perusahaan ayahnya dan ayah Nicholas.

"Bukan."

Aku menggelengkan kepala, masih dengan senyum yang sama.

"You're lying."

"Mungkin."

Kedua alisku terangkat, tertantang. Senyum cowok itu sudah hilang. Ia berdiri dan berjalan menghampiriku. Kakinya baru berhenti saat berhasil menyisakan jarak lima senti di antara wajah kami. Matanya menatapku tajam, menjelajahi setiap inci mukaku. Aku kembali menjaga rasa, mengusahakan agar setiap anggota tubuhku tak bereaksi. Dua emosi yang haram ditunjukkan di hadapan musuh adalah takut dan bingung, hal yang sejatinya agak sulit untuk ditahan di kondisi seperti ini.

Nicholas tak kunjung bersuara. Malah suara napasnya yang seakan semakin kencang.

"Apa mau kamu?" tanyaku pada akhirnya, menebas keheningan.

"That was you, wasn't it? Pak Sjafei bilang penyusupnya laki-laki. Tapi aku liat rekaman CCTV. Ada satu perempuan bawa ransel hitam ketangkep di CCTV lantai 60. Enggak ada tamu yang bawa ransel."

Aku balas menatapnya, mencari kebenaran. Aku tahu ada sesuatu di sana yang membuatku menurunkan pertahanan pada minggu-minggu pertama. Cowok ini sama liciknya dengan ayahnya. Atau justru bisa lebih, mengingat kemampuan yang dimilikinya di usia yang begitu belia.

"You didn't tell anyone, Novellus. Why?"

Aku mencoba menganalisis ekspresinya. Hampir tidak ada apa-apa di sana. Sangat kontras dengan Nicholas yang biasa aku lihat setiap hari.

"Kamu siapa?" Ia bertanya ulang.

"Kamu udah tau siapa aku."

Cowok itu melangkah lebih dekat, menginvasi jarak aman di antara kami. Aku mengepalkan tanganku lebih kuat, mengingat-ingat semua teknik bela diri yang pernah diajarkan kepadaku.

"What are you?" bisik Nicholas dengan penekanan pada setiap kata.

"Stop playing around. You obviously know who I am and what I am up to. What do you want from me?"

"Nothing that you can give me."

Mendengar itu, aku tak kuasa menahan kedutan pada ujung-ujung bibir. Kedutan itu perlahan berubah menjadi senyuman. Kecil, tapi cukup untuk mengubah air muka Nicholas menjadi penuh rasa ingin tahu.

"Ah, iyakah? Dari pengamatanku, KPK sama BNN udah lama pengen main ke rumah kalian. Karenina tau?"

Ekspresi cowok itu menggelap. Bibirnya membentuk segaris tipis. Alisnya bertaut, saling beradu satu sama lain.

"Jangan bawa-bawa Karen."

"Karen bakal sedih kalo orang tuanya pergi?"

Tawa hambar keluar dari mulutnya. "Why would she? My parents are never home."

"Kalo kokonya pergi?"

"You cannot arrest me."

Cowok itu tertawa sekali lagi. Masih pongah rupanya.

"Aku punya cukup bukti buat nyeret minor kayak kamu ke penjara, Nik. Kapan terakhir kali kamu pake narkoba?"

Nicholas berjalan mundur, baru berhenti ketika menduduki satu-satunya meja di ruangan. Jejak-jejak kesombongan perlahan pudar, digantikan kebulatan tekad. Aku bersorak dalam hati, sepenuhnya paham bahwa Karenina adalah satu garis yang tak akan ia lewati.

"What do you want?"

"Imunitas. Aku bisa kasih kamu dan Karenina perlindungan dari hukum. Cukup kasih berkasnya ke aku."

Aku mengambil ponselku dari kantong, berpura-pura mengecek jam di layarnya. "Udah lima menit, nih. Jadi gimana, Sayang?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro