Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 31: PROYEKSI PENDIDIKAN INDONESIA

P R O Y E K S I

P E N D I D I K A N

I N D O N E S I A

Getaran menggelitik di dada membuatku refleks mengeluarkan ponsel dari saku. Mataku membaca layar. Sebuah pesan dari nomor yang diblokir. Alisku bertaut. Dalam kebingungan, aku melirik ke depan, tepat di mana Ganesha duduk di balik meja. Cowok itu mengangguk sekilas, nyaris tak kentara.

< blocked number: Jangan kaget >

Aneh.

Sepersekian detik kemudian, sebelum aku sempat bertanya-tanya, suara keras muncul dari alat pengeras suara yang dipajang di dinding sekolah. Kepalaku menoleh cepat.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang adik-adik, saya Edi Rahmayadi selaku wakil kepala sekolah bidang akademik, mengumumkan bahwa kegiatan belajar mengajar hari ini dihentikan sementara karena ada kepentingan mendesak. Semua guru diharapkan hadir di ruang guru dan adik-adik dipersilakan untuk pulang. Terima kasih. Sampai bertemu besok di sekolah."

Sontak suasana kelas menjadi riuh. Tak satupun penghuni kelas menunjukan keheranan, malahan mereka terjebak di dalam gelembung euforia yang meriah, siap menari-nari kegirangan. Geng cowok-cowok memenangkan predikat paling ribut, mereka langsung bernyanyi lagu viral terkini, "Untung datang namboru Panjaitan, Martarombo kami di jalan, diajaknya aku ke rumah diaa ... makan daging anjing dengan sayur kol!"

"Sayur kool! Sayur kool! Makan daging anjing dengan sayur kool!"

"Okay I think that's all for today. Sampai ketemu di pentas drama minggu depan semuanya. Saya pamit, ya. Hati-hati di jalan. Have a good day," potong Pak Satria di tengah nyanyian sayur kol.

Aku tidak menunggu guruku keluar kelas, sebaliknya kakiku sudah mendorong kursi ke belakang, mengabaikan tas dan semua peralatan menulis yang tergeletak di meja. Setelah meminta izin sambil lalu kepada Sasa, teman sebangkuku yang setia, aku pun melesat pergi keluar, menyusuri tangga setengah berlari. Ruang kepala sekolah, itulah tujuanku.

Sambil mengatur napas, aku berjinjit dan mengintip sebisanya. Seharusnya ruangan itu hanya diisi satu orang dengan seragam cokelat muda. Tapi yang kudapati justru tiga orang: hanya satu yang berseragam cokelat, sisanya mengenakan warna abu-abu. Dari balik jendela, tampak jelas lambang polda di lengan salah satu dari mereka. Dan bukannya kepala sekolah, yang mengenakan seragam cokelat hanyalah Pak Edi Rahmayadi, wakil kepala sekolah bidang akademik yang baru saja memberikan pengumuman lewat pengeras suara.

Apakah artinya Ganesha berhasil?

Tak ingin membuang waktu, aku segera berbalik, kali ini tidak berlari. Kelas sudah kosong, barang-barangku masih terhampar di meja. Di samping tumpukan barang itu, sesosok cowok berdiri sambil memainkan ponselnya.

"Yuk, Va, pulang," ajak Nicholas. Aku menahan kecewa. Bukan cowok itu yang ingin aku ajak bicara sekarang.

Kesempatan berbicara dengan cowok yang berbeda baru datang saat aku sampai di apartemen Lebak Bulus. Warna langit sudah menggelap, meski kecantikannya belum sirna. Jingga diselingi semburat ungu. Awan tipis melayang beriringan, ditemani burung yang terbang membentuk formasi, siap pulang ke rumah mereka masing-masing.

Sungguh sebuah keajaiban tidak sedang melihat Ganesha duduk di sofa apartemenku di detik pertama membuka pintu. Cowok itu, kabarnya, baru akan mampir satu jam lagi. Satu jam yang akan membunuhku dengan rasa penasaran. Bahkan rutinitas berselancar di bagian internet terlarang tidak bisa mengusir rasa gelisah yang terus merongrong. Ketika akhirnya pintu apartemen dibuka, aku nyaris tersandung kabel karena terlalu bersemangat menyambut musuh lamaku.

"Jadi itu maksudmu semalem? Kamu berhasil? Berarti sekarang kamu pulang?"

Ganesha melepas sepatunya, meletakkan jaket di gantungan, lalu duduk di tempat biasa biasa. Aku menggigit bibir, tak sabar mendengar jawaban yang telah dinanti terlalu lama.

"Kalau sesuai persyaratan yang ada di berkasku, harusnya aku udah boleh pulang. Kepala sekolah ditangkap. Tersangka utama staf khusus Pak Asien. Beberapa nama udah kuajuin untuk masuk proses penyidikan."

Ganesha tampak letih. Cowok itu beberapa kali mengusap wajahnya. Tebakanku, ia baru saja selesai menelepon Leon serta mengirimkan ratusan laporan dan memenuhi protokol standar Nusantara.

"Wow."

"Katanya besok Pak Asien mau dateng, pidato gitu."

Aku hanya mengangguk, tidak tahu lagi harus berkomentar apa.

"Jadi ...," ujar cowok itu.

"Jadi?"

"Maaf ya kalau aku banyak salah."

Hatiku mencelos. Meski kami tak selalu bersama, dan tentunya tidak selalu sepaham, kehadiran Ganesha lumayan mengobati kerinduanku akan sekolah, terutama teman-teman di sana. Sekarang ia bisa pulang, dipuja dan dihormati sesampainya di sekolah. Hanya dalam durasi tiga bulan, cowok itu berhasil dengan gemilang, begitu kontras dengan perkembanganku.

"Kok maaf? Harusnya aku yang minta maaf karena bersikap kekanak-kanakan dari pertama kenal sama kamu. Hebat, loh. Kamu selesai dalam waktu tiga bulan. Selamat, ya," ucapku dengan senyum kecil, walau hati kecilku terus menyatakan keberatan. Iri, dengki, sirik, apapun namanya, adalah perasaan rendahan, dan aku merasa hina karena bisa-bisanya merasakan itu di waktu seperti ini.

Cowok itu tersenyum kepadaku. Senyum langka yang baru kulihat satu kali sebelumnya. Bukan senyum usil atau senyum persuasif. Bukan juga senyum iklan pasta gigi yang selalu ia berikan di depan orang asing. "Enggak perlu minta maaf. Aku seneng kok kerja sama kamu."

"Ya, ya. Aku titip salam buat Tanya kalau kamu udah sampe Nusantara."

"Cuman Tanya?"

"Emang siapa lagi?"

"Ayam di sana nggak kamu salamin juga?"

"Boleh, deh. Yang anak ayam aja. Aku masih sebel sama induknya," jawabku, mengingat-ingat kejadian kurang beruntung bersama Stella.

"Pohon tauge di kamar mau disalamin juga?"

"Aku nggak pelihara tauge di kamar. Kamu salamin yang di dapur aja." Kali ini Ganesha tertawa lepas, serenyah ketika ia membabatku habis-habisan di lomba mengendarai kuda. Setelah itu ia menggelengkan kepala, tanda bahwa aku baru saja melontarkan kalimat yang menurutnya konyol.

Walau aku tak bisa mengabaikan perasaan iri terhadap keberhasilan kawan seperjuanganku, aku janji rasa tak terpuji ini akan kujadikan pecut untuk mendorongku menuju kesuksesan yang sama. Lihat saja, Nes.

::: o :::

Senin pagi merupakan momok abadi bagi anak sekolah. Senin si monster jahat, sesosok penjahat kawakan yang tidak pantas diberi maaf. Aku sendiri, kurang paham apa yang salah dengan hari Senin. Toh sama saja. Kerjaanku Sabtu dan Minggu ya melengkapi berkas dan laporan, kalau sedang beruntung paling jadi penyusup, mengintai di lokasi atau acara tertentu. Akhir minggu jelas bukan hari libur. Senin ya Senin, sama saja seperti Selasa dan hari-hari lainnya.

Mungkin, yang agak berbeda untuk hari ini adalah upacaranya. Seharusnya pagi, tapi karena ada perintah khusus dari pusat, waktu upacara kami dipindah jadi sebelum jam istirahat pertama. Kata Ganesha, ini ada hubungannya dengan jadwal super sibuk seorang menteri, yang rumornya tidak bisa melewatkan upacara pagi di kantor.

"Kenapa sih Pak Asien sampe dateng ke sini?"

"Jangan-jangan ada hubungannya sama pengumuman Pak Edi sekolah kemaren?"

"Loh kamu belom denger Pak Edi bakal gantiin kepala sekolah?"

"Kok bisa, sih? Aku dari kemaren tanya guru-guru nggak ada yang mau jawab."

"Kepala sekolah ketauan selingkuh, kali! Makanya diberhentiin."

"Bukannya kalo PNS ketahuan kawin lagi cuma bakal dimutasi atau diturunin jabatannya, ya? Bukan diberhentiin."

"Ya mungkin dia selingkuh sama istrinya Pak Asien!"

"Gile lu, Ndro!"

Aku menahan tawa. Kabar tak benar selalu menyebar bagaikan ilalang dimakan api. Hanya butuh beberapa detik, semua orang jadi punya berbagai versi. Bukan cuma itu, penyebar gosip berikutnya selalu bertingkah seolah ialah yang paling tahu kebenarannya. Komentar selingkuh barusan jelas tak bertanggungjawab, namun bukan fenomena baru. Kekuatan manusia dan mulut sembarangannya memang sama sekali tak bisa dianggap sepele.

Stella pernah cerita, karena ia baru terdaftar sebagai murid Nusantara di tahun kedua, temanku itu terpaksa menghilang dari sekolah asalnya tanpa kabar. Nah, kekosongan mengenai kabarnya tentu memicu berbagai kabar burung: mulai dari sakit, ada keluarga meninggal, hingga kebobolan karena kemasukan burung. Versinya juga lucu-lucu, semakin didiamkan, semakin jauh dari fakta yang sesungguhnya.

"Va, tungguin, dong!" panggil Nina.

Aku menoleh, menghentikan langkahku yang sudah setengah jalan menuju lantai satu.

"Males banget deh upacara jam segini," keluh cewek itu.

"Nicho mana?"

"Paling ke masjid sama yang lain."

Keningku berkerut. "Isn't he ...?"

"Oh. Emang dia nggak solat. Tapi masjid paling aman kalo mau lompat pager."

"I see." Aku agak kecewa. Tadinya aku berharap bisa melihat reaksi mereka saat tahu sumber kunci jawaban UN sudah lenyap.

Di lapangan, ketua kelas sudah mengkoordinir anggota masing-masing. Aku pun bergabung dengan deretan siswa XI IIS. Jauh di Nusantara, kami tidak punya upacara seperti ini: siswanya berbaris sembarangan, tangan diletakkan di mana saja sesuka hati, lencang depan tak pernah lurus, dan lagu nasional dinyanyikan tidak padu.

Di Nusantara, upacara bendera dan apel pagi sebelas dua belas dengan prosedur di militer: barisan harus lurus; semua harus diam, bahkan bersin saja dosa; berdiri tegak artinya tidak miring dan tidak goyang-goyang, walau harus siap kesemutan. Suara lagu nasional harus satu padu, keras, nyaring, dan merdu. Posisi hormat dihayati, meski harus rela tangan gemetaran karena terlalu lama diangkat. Capek memang, tapi esensinya dapat.

Yang paling kurindukan adalah kesempatan membawa baki. Aku ingat persis betapa sulitnya menyamakan irama dan ketinggian kaki untuk jalan di tempat, lebih susah lagi saat maju jalan. Kedengarannya biasa saja, tetapi kepala sekolahku ─ bukan Pak Edi, bukan juga gubernur maupun ketua PSSI ─ selalu bilang kalau esensi baris berbaris adalah kepeduliaan dan kekompakan. Kami, yang berasal dari ragam budaya dan suku bangsa, adalah satu. Tak ada yang bisa seenaknya sendiri, apatis, apalagi merasa yang paling benar. Kalau masih seenaknya sendiri, pasti kami disuruh mengulang, terus dan terus hingga gerakan kami seirama.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!"

Suara pembina seketika menciptakan kegaduhan di antara peserta upacara. Mereka menjawab salam, lalu berbicara dengan satu sama lain. Sebenarnya semua berbisik-bisik, tapi karena secara bersamaan, suaranya pun terdengar ramai. Tanpa melihat ke depan, aku tahu persis siapa yang berdiri di balik podium.

Pertama kali aku mendengar suara itu adalah saat ia menyapa di kantor Leon. Dulu, aku hanya mengangguk, lebih khawatir pria itu akan menyadari bekas cabai di gigiku, atau seragamku yang sempat terbalik, atau muka kalutku. Pagi ini, tidak ada lagi kebodohan yang sama, yang muncul adalah senyum tipis. Bangga. Pasti Ganesha di sana juga tak bisa menahan senyumnya.

"Yang terhormat, Bapak Edi Rahmayadi S.Pd, M.Pd, selaku Pelaksana Tugas Kepala Sekolah SMAN 116 Jakarta." Kini bisik-bisik berubah jadi ungkapan siswa-siswi yang terperanjat.

"Ssssh!" bisik salah seorang siswa, berupaya dan langsung gagal, untuk meredam kekacauan.

"Yang terhormat, Ibu Munaroh S.Pd selaku Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Yang saya sayangi, seluruh jajaran guru-guru SMAN 116 Jakarta."

Kakiku gatal. Ingin rasanya aku pindah ke depan untuk melihat lebih jelas ekspresi Pak Asien di podium.

"Dan yang saya banggakan, seluruh siswa SMAN 116 Jakarta. Selamat pagi!"

"Pagi!" jawab sebagian besar siswa.

"Senang sekali pagi hari ini saya bisa hadir di antara adik-adik semua di SMAN 116 Jakarta, tepat dua bulan sebelum ujian nasional. Mungkin adik-adik bingung, 'Kenapa kok upacara jam sembilan pagi? Kan sudah panas, Pak.'"

Menyahuti perkataan Pak Asien, salah satu teman sekelasku mengipasi dirinya dengan kipas kecil.

"Untuk itu, saya minta maaf. Nah, daripada kita berlama-lama berkeringat di bawah sinar mentari, saya akan persingkat sesi saya." Pak Asien berdeham.

"Adik-adik tahu tidak, ada berapa landasan yang menjadi komponen proyeksi pendidikan abad ke-21?

"Lima, Pak!" celetuk seseorang dari barisan.

"Ada tiga, ya. Tanpa tiga ini, pendidikan kita sama saja nol. Tidak ada artinya. Sia-sia saja adik-adik belajar dua belas tahun, enam belas tahun, dua puluh tahun. Saya akan jelaskan kenapa.

"Pertama-tama ada karakter. Akhlak. Ini diakui dunia, bukan kita saja. Karakter itu ada dua, karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral contohnya iman, takwa, jujur, rendah hati. Karakter kinerja contohnya kerja keras, ulet, tangguh, tak mudah menyerah, tuntas. Kita kan tidak ingin jujur tapi malas? Atau kerja keras tapi culas? Betul tidak adik-adik?"

Senyumku melebar. Menteri yang satu ini memang paling handal merangkai kata-kata. Cerdas sekali memikat audiens, sesuai rekam jejak akademisnya yang dipenuhi prestasi dan beasiswa.

"Yang kedua adalah kompetensi. Ada empat kompetensi. Pertama, berpikir kritis. Kedua, kreatif. Ketiga, komunikatif. Keempat, kolaboratif. Lalu landasan ketiga, literasi. Keterbukaan wawasan. Di zaman sekarang ini, literasi punya tiga komponen utama. Literasi budaya, literasi teknologi, dan literasi keuangan."

Aku menikmati momen sekali seumur hidup, paling tidak selama aku menjadi Gratcheva: kapan lagi upacara bendera hari Senin di sekolah negeri sehening ini? Bahkan mengheningkan cipta pun tidak begini. Tidak ada satupun yang berbicara, semua menyimak, jangkrik dan burung ikut membisu. Dibuat geli aku oleh perilaku mereka; boleh lah berlagak hebat, superior, serba tahu di media sosial. Boleh saja mereka kritik sesuka udel, sembarangan, tidak bijak dalam mengetik. Namun, ketika dihadapkan penguasa sebenarnya? Lenyap sudah semua arogansi. Yang ada rasa takut, kagum, dan dorongan untuk menyenangkan hati penguasa. Manusia, oh, manusia.

"Di Indonesia ini, minat baca kita tinggi tapi daya baca kita rendah. Apa indikatornya? Coba adik-adik saya tanya, adik-adik tahan berapa lama baca LINE, baca Instagram, baca Whatsapp? Tapi seberapa tahan kalian membaca buku? Bisa berjam-jam kan baca sosial media? Itu berarti minatnya ada. Tapi begitu lihat tulisan panjang, dilewatin. Begitu berat sedikit, mundur. Artinya minatnya ada, tapi dayanya rendah."

Suara kecil di benakku menyuarakan keberatan. Masih ada siswa dengan daya baca tinggi, Pak! Di Nusantara, tugas menganalisis buku dan menerjemahkan buku dalam bahasa tertentu ada minimal satu setiap bulan.

"Nah, tiga landasan ini penting, adik-adik. Tanpa tiga hal ini, akan sulit bagi kalian untuk bertahan di zaman modern. Zaman yang begitu cepat, begitu instan. Dulu, kalau ditanya mau jadi apa, mungkin masih ada yang jawab jadi tukang pos, atau mau meneruskan usaha keluarga jaga wartel. Sekarang? Masih adakah profesi itu? Siapa yang mau kirim pos? Masih ada yang mau nelpon lewat wartel?"

Sekilas, aku melihat Nina menggelengkan kepalanya.

"Harusnya sekolah sekarang jangan tanya lagi, 'Mau jadi apa?' Harusnya sekolah menanyakan, 'Nanti kalau besar mau membuat apa?' Gelisahlah dengan masa depan, adik-adik. Jangan cepat puas. Jangan pernah lupa tiga komponen itu."

Lapangan sekolah masih bisu, menunggu.

"Dulu, saya pernah menemukan tulisan ini, ketika berkunjung di salah satu universitas di Afrika Selatan. Saya suka sekali sama pesannya, semoga adik-adik juga suka. Saya coba bacakan, ya," tambah Pak Asien.

"Untuk menghancurkan sebuah bangsa, tidak perlu dengan bom, roket, dan senjata berat, tapi cukup dengan mempermudah murid curang dalam ujian dan longgar dalam disiplin belajar."

Aku mencuri pandang ke sekeliling, penasaran, apakah pesannya tersampaikan? Dengan pengangkatan Pak Edi dan kehadiran Pak Asien, apakah mereka paham apa yang terjadi?

"Adik-adik, orang akan banyak yang mati di tangan para dokter yang lulus karena curang. Rumah dan gedung akan banyak yang ambruk di tangan para arsitek yang lulus karena curang. Perusahaan akan banyak yang bangkrut di tangan para akuntan yang lulus karena curang. Keadilan akan hilang di tangan hakim yang lulus karena curang. Kebodohan dan kekasaran akan menjadi karakter bagi anak bangsa di tangan para guru dan pendidik yang lulus karena curang.

"Jadi adik-adik, saya harap kalian semua tidak jadi orang yang curang. Kalian adalah penerus bangsa, harapan Indonesia satu-satunya. Saya percaya, kalian semua akan jadi orang-orang hebat. Kalian semua pasti bisa membanggakan Indonesia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro